Serial Pendekar Bayangan Sukma: 12 Undangan Berdarah


12 Undangan Berdarah
1

Udara berhembus dingin. Sisa-sisa air hujan yang turun semalam bersatu dengan embun-embun pagi. Suasana Perguruan Topeng Hitam seperti biasanya, setiap pagi murid-muridnya selalu berlatih ilmu silat.

Ciri khas dari Perguruan Topeng Hitam adalah semua murid-muridnya mengenakan pakaian hitamhitam dengan sepasang pedang. Mereka semua juga mengenakan topeng berwarna hitam.

Dulu Perguruan Topeng Hitam dipimpin oleh seorang jago pedang yang bernama Paksi Uludara. Namun setelah dia tewas di tangan Nindia alias Dewi Cantik Penyebar Maut, sebelum ajalnya Paksi Uludara berpesan kepada Madewa Gumilang atau Pendekar Bayangan Sukma untuk memimpin Perguruan Topeng Hitam. (Baca: Dewi Cantik Penyebar Maut).

Dan di bawah pimpinan Madewa Gumilang, nama Perguruan Topeng Hitam terus menjulang. Disegani  oleh kawan maupun lawan. Di samping pimpinan mereka seorang pendekar sakti yang juga sering dijuluki Pendekar Budiman atau Manusia Dewa, juga sikap dan prilaku murid-murid Perguruan Topeng Hitam begitu sopan dan bersahabat.

Dan pagi ini, Madewa pun tengah mengajarkan jurus-jurus pedang yang baru pada murid-muridnya. Sepanjang dia memegang pimpinan di Perguruan Topeng Hitam, belum sekali pun dia menurunkan jurus-jurus Ular Saktinya, Pukulan Tombak Menghalau Badai, Pukulan Angin Salju maupun Pukulan Bayangan Sukma, senjata andalannya. Bahkan boleh dikatakan, tak satu pun ilmu silat yang dimilikinya diturunkan kepada murid-muridnya.

Madewa Gumilang hanya menurunkan jurus-jurus pedang yang dimilikinya. Semua itu dilakukan untuk menjaga tradisi Perguruan Topeng Hitam sewaktu dipimpin oleh Paksi Uludara, yaitu mereka hanya mengandalkan sepasang pedang.

Di samping Madewa Gumilang, istrinya Ratih Ningrum pun juga ikut mengajar bila suaminya tidak ada di Perguruan Topeng Hitam, yang sekaligus menjadi rumah mereka.

Ratih Ningrum pun seorang wanita yang tak kalah hebatnya dengan suaminya. Dia pernah belajar pada tiga orang guru yang memberinya kepandaian ilmu silat yang berbeda. (Baca: Dendam Orang-orang Gagah). Kini dia telah berusia 35 tahun, hanya terpaut tiga tahun dengan suaminya. Namun sisa-sisa kecantikannya masih jelas terlihat.

Tiba-tiba seorang penunggang kuda masuk ke Perguruan Topeng Hitam. Penunggang itu mengenakan sebuah topeng pula, namun berwarna biru. Dia pun memiliki sebuah pedang di punggungnya. Orang itu berperawakan gagah dan tinggi. Bila melihat postur tubuhnya, dia adalah seorang laki-laki.

Dan dengan ringannya orang itu melompat dari kudanya. Madewa mengangkat tangannya, agar latihan dihentikan dulu. Serentak para muridnya berdiri dalam posisi istirahat. Namun tidak dengan tangan ke belakang, melainkan dengan pedang yang menyelempang di dada.

Orang bertopeng biru itu menjura.

"Salam hormat buat Ketua Perguruan Topeng Hitam, Madewa Gumilang "

Madewa tersenyum. Jubah putih yang dikenakannya berkibar dihembus angin pagi.

"Salam hormat kembali untukmu, Saudara," kata Madewa dengan suara yang berwibawa dan tersenyum arif dan bijaksana. "Ada angin apa gerangan yang membawa Saudara ke mari?"

"Saudara ketua... saya bernama Pati Mukti, utusan dari Resi Widia Soka. "

"Resi Widia Soka?" tanya Madewa heran. Rasanya dia belum pernah mendengar nama itu.

"Benar, Ketua... Resi Widia Soka seorang sakti yang baru turun gunung. Kini dia telah mendirikan sebuah Perguruan silat, Partai Rajawali Sakti "

"Hmm... kabar yang bagus sekali. Lalu apa hanya kabar itu yang hendak kau sampaikan kepadaku, Pati Mukti?"

"Sudah tentu tidak, Ketua " sahut Pati Mukti. Lalu

mengambil sesuatu dari selipan angkinnya yang berwarna merah. Dia menyerahkannya pada Madewa Gumilang.

"Apa gerangan ini?"

"Sebenarnya begini, Ketua... Saya diutus oleh Resi Widia Soka, untuk mengundang Saudara Ketua menghadiri peresmian Partai Rajawali Sakti Ketua Resi Wi-

dia Soka begitu amat mengharapkan kehadiran Saudara Ketua.... Dan untuk lebih jelasnya, saya harap Saudara Ketua sudi untuk membaca surat yang saya berikan tadi "

Madewa pun membuka selembar surat itu. Sebagian besar isinya memang mengundangnya untuk hadir dalam peresmian Partai Rajawali Sakti pimpinan Resi Widia Soka. Dan sebagian lagi, Resi Widia Soka begitu menyanjungnya sebagai orang sakti yang berjuluk Pendekar Bayangan Sukma.

Sudah tentu Madewa Gumilang tidak mau mengecewakan Resi Widia Soka yang telah mengundangnya.

Dia pun berkata, "Baiklah... katakan kepada Resi Widia Soka... saat purnama pertama bulan ini, aku akan datang memenuhi undangannya "

Pati Mukti menjura kembali. "Terima kasih, Ketua.... Saya amit mundur "

Madewa mengangguk. Lalu dengan gerakan yang ringan kembali, Pati Mukti melompat ke kudanya. Dan menggebraknya pergi dari situ.

Madewa berbalik pada para muridnya, "Kalian teruskan jurus baru yang aku ajarkan tadi," katanya. Lalu dia masuk ke ruang utama Perguruan Topeng Hitam. Madewa menemui istrinya yang nampak sedang termenung. Ratih Ningrum langsung menjura begitu men-

dengar deheman suaminya. "Oh, Kanda "

"Dinda Ratih... kenapa kau termenung?" tanya Madewa Gumilang sambil duduk di dekat istrinya.

Ratih Ningrum mendesah.

"Aku rindu pada anak dan anak menantuku, Kanda. " desisnya.

"Hmm... Pranata Kumala dan Ambarwati? Yah     aku

pun rindu pada mereka. Namun sebagai pasangan suami istri baru, aku memang mendukung rencana mereka untuk mencari pengalaman, Dinda     Nanti bila me-

reka merasakan pengalaman yang mereka cari sudah cukup, tentunya mereka akan kembali kepada kita. Atau pulang ke rumah mereka di Laut Selatan "

Yang dikatakan Madewa Gumilang memang benar. Putranya Pranata Kumala, memang sedang mencari pengalaman dengan petualangan bersama istrinya, Ambarwati. (Baca: Sepasang Manusia Srigala). Dan Madewa pun sering bertemu pula dengan mereka, namun mereka selalu menolak bila diajak pulang (Baca: Datuk Sesat Bukit Kubur, Pertarungan Para Pendekar, Iblis Berbaju Hijau). Dan dalam pencariannya pun Madewa kadang tidak berjumpa dengan keduanya (Baca: Racun Kelabang Putih, Pertarungan di Gunung Tengkorak). Namun Madewa yakin, suatu saat putra dan anak menantunya pasti akan kembali, karena dia pun teringat masa mudanya dulu yang selalu bertualang bersama Ratih Ningrum.

"Aku rindu sekali pada mereka, Kanda " kata Ratih

Ningrum lagi.

Madewa tersenyum. "Dinda... aku baru saja menerima undangan dari Resi Widia Soka untuk menghadiri peresmian Perguruan silatnya Partai Rajawali Sakti. Nah, mengapa tidak kau ikut serta saja denganku, barangkali saja kita bisa berjumpa dengan Pranata Kumala dan Ambarwati "

"Benarkah itu, Kanda?" tanya Ratih Ningrum dengan mata berbinar.

"Mengapa tidak?"

"Di mana tempatnya, Kanda?"

"Menurut undangan yang aku terima, bertempat di Lembah Setan saat purnama bulan ini muncul "

"Kita pergi, Kanda?" ulang Ratih Ningrum dengan mata berbinar. Dalam angannya dia sudah akan bertemu dengan putranya dan anak menantunya.

"Tentu, Dinda.... Tentu kita akan pergi...." kata Madewa sambil memeluk istrinya.

2

Undangan dari Resi Widia Soka yang hendak meresmikan Partai Rajawali Sakti, beredar ke tangan jago-jago di rimba persilatan. Seperti halnya Madewa Gumilang, mereka pun bertanya-tanya siapa adanya Resi Widia Soka itu.

Karena mereka seakan baru mengenal nama itu. Dan mereka tidak tahu kalau di rimba persilatan ada seorang jago yang bernama Resi Widia Soka.

Pada masa itu, di rimba persilatan ada pula sebuah Perguruan silat yang bernama Perguruan Naga Selatan. Perguruan Naga Selatan dipimpin oleh seorang yang bernama Praja Sewu. Praja Sewu seorang yang jago akan ilmu kanuragan. Dia seorang laki-laki yang gagah perkasa. Wajahnya ditumbuhi oleh cambang dan janggut yang lebat. Dan berkesan menyeramkan. Di dadanya yang selalu terbuka ada tato bergambar naga sedang bertarung.

Praja Sewu dikenal sebagai laki-laki yang berotak licik. Dia sering pula menyuruh anak buahnya untuk merampok atau pun membegal pengirim-pengirim barang.

Dan ketika seorang utusan dari Partai Rajawali Sakti datang, Praja Sewu terbahak-bahak.

"Hahaha... siapa pula itu Resi Widia Soka, hah?!" katanya dengan suara mengejek.

Pati Mukti yang bertugas mengantarkan undangan itu merah padam wajahnya di balik topeng birunya. Memang banyak orang-orang yang bertanya siapa halnya Resi Widia Soka, namun tidak bernada congkak dan sombong yang seperti dilontarkan oleh Praja Sewu.

Dia menekan marahnya dan berkata dengan sabar, "Resi Widia Soka adalah guruku, Ketua Praja Sewu. Dia seorang jago yang baru turun gunung dan mendirikan Perguruan silat yang diberi nama Partai Rajawali Sak  ti "

"Hahaha Partai Rajawali Sakti? Apa pula itu? Apa-

kah dia benar-benar orang sakti sehingga berani mendirikan Perguruan silat, hah?!"

"Perguruan silat yang didirikannya memang belum menandakan dia seorang yang sakti. Maka tadi saya hanya mengatakan dia seorang yang jago, tidak sakti. "

"Hahaha... muridnya sendiri mengatakan dia bukan seorang yang sakti. Apalagi aku, hah? Praja Sewu yang bergelar Naga Selatan!" Praja Sewu terbahak-bahak.

Pati Mukti semakin merah padam wajahnya. "Ketua Praja Sewu... saya datang hanya menyampaikan amanat dari ketua. Setelah semua saya lakukan, saya mohon diri. Tidak perduli Ketua Praja Sewu mau memenuhinya atau tidak " setelah berkata begitu, Pati

Mukti melompat ke kudanya.

"Tunggu!" terdengar seruan Praja Sewu, lalu bangkit dari duduknya. "Kau sudah masuk ke Perguruan Naga Selatan, dan tidak semudah itu untuk keluar dari lingkungan sini!"

Pati Mukti berbalik. Kesabarannya pun ada batasnya. Dia amat jengkel melihat sikap Praja Sewu yang demikian mengesalkan. Sombong, congkak. Dan angkuh.

"Ketua Naga Selatan sebelumnya saya amat mena-

ruh hormat kepada Saudara Ketua.... Namun sikap Saudara Ketua Praja Sewu... tidak mencerminkan seorang ke tua "

Praja Sewu melengak mendengar kata-kata yang cukup jelas dan keras itu. Tetapi dia menutupinya dengan tertawa.

"Hahaha... Pati Mukti nyalimu sungguh besar. Dan

itu merupakan modal bagimu untuk datang ke Perguruan Naga Selatan "

"Dan aku pun memiliki modal yang lain, Praja Sewu!" geram Pati Mukti gemas dan memanggil dengan tidak menyebutkan kata ketua lebih dulu. Karena dia terlalu amat jengkel melihat sikap Praja Sewu yang menurutnya tidak pantas menjadi seorang ketua Perguruan silat.

Kali ini wajah Praja Sewu yang memerah. Dia menggeram, "Bangsat! Kau berani menantangku, hah?!"

"Melihat sikapmu yang sombong seperti itu, aku jadi berkeinginan untuk mencoba sendiri ketua Perguruan Naga Selatan!" kata Pati Mukti dengan suara angker.

Tetapi kata-katanya itu disambut dengan tawa Praja Sewu.

"Hahaha... kau tidak tahu dalamnya samudra dan tingginya langit! Ingat, Pati Mukti... kau sedang berhadapan dengan siapa?"

"Aku sedang berhadapan dengan naga sombong!" sahut Pati Mukti makin jengkel.

Dan kata-katanya itu membangkitkan kemarahan Praja Sewu. Dia berkata kepada anak buahnya.

"Tangkap dia! Dan siksa sampai mati!"

Dua orang laki-laki yang berdiri di kanan kirinya, langsung bersalto dua kali ke depan. Dan hinggap dengan ringannya di tanah.

Pati Mukti mendengus. "Hhh! Rupanya kau tak sanggup melawan aku, sehingga kau menyuruh anak buahmu, Praja Sewu!"

"Anjing buduk!" geram Praja Sewu. "Tangkap dia!

Cepaaaattt!"

Dua orang anak buahnya pun bergerak dengan cepat. Keduanya melancarkan pukulan lurus ke wajah Praja Sewu yang masih berada di atas kudanya.

Pati Mukti pun tidak mau dirinya dijadikan sasaran empuk kedua tinju itu, dengan sekali sentak dia bersalto dan hinggap di tanah. Kini berhadapan dengan dua orang anak buah Praja Sewu itu.

Dua orang itu menggeram karena serangan mereka bisa dielakkan dengan mudah oleh Pati Mukti. Keduanya pun serentak menyerang lagi.

Pati Mukti pun mengimbanginya. Sebagai seorang utusan dari sebuah Perguruan silat, atau yang ditugaskan langsung oleh pimpinannya, sudah tentu Pati Mukti bukanlah seorang laki-laki yang kosong belaka. Dia pun sudah dipersiapkan dan mempersiapkan diri menghadapi segala kemungkinan. Lebih-lebih bila menghadapi hal seperti ini.

Dan di samping itu, karena kejengkelannya akan sikap sombong Praja Sewu, membuat Pati Mukti bergerak cepat dan tidak tanggung-tanggung lagi.

Dia pun berkelebat ke sana ke mari dengan cepat, tangkas dan berbahaya. Melewati jurus kelima, dia nampak sudah berada di atas angin. Gerakangerakannya amat berbahaya.

Tiba-tiba dia memekik. Des!

Sebuah pukulannya mengenai dada salah seorang penyerangnya hingga tersungkur muntah darah. Melihat hal itu kawannya menggeram murka.

Sambil memekik keras dia menerjang dengan ganas dan membabi buta. Malah berkesan orang itu menyerang tidak memakai teknik yang dimilikinya. Hanya menggunakan kecepatan dan gerak refleknya.

Hal ini menguntungkan Pati Mukti.

"Hahaha... Praja Sewu... orang-orang seperti ini yang kau andalkan!" ejeknya saat melancarkan satu serangan pada lawannya.

Dan... Des!

Pukulannya pun mengenai sasarannya. Disusul dengan satu tendangan memutar sambil meloncat. Membuat lawannya kembali terkena serangannya.

Dan terhuyung muntah darah. Lalu tidak bangunbangun lagi. Nyawanya sudah melayang bersamaan dia muntah darah tadi.

Pati Mukti bersalto dua kali dan berhadapan dengan Praja Sewu.

"Hahaha... rupanya Perguruan Naga Selatan cuma nama besarnya saja!" ejeknya.

Praja Sewu menjadi geram.

Dia pun memekik sambil bersalto dan melancarkan serangannya.

Pati Mukti memapakinya. Des!

Dua pukulan itu berbenturan. Pati Mukti terhuyung beberapa tombak. Dia merasakan tangannya seakan menghantam batu keras. Dan dia pun dapat merasakan betapa besar tenaga dalam yang dimiliki Praja Sewu. Sementara Praja Sewu berdiri tegak tak kurang suatu apapun.

"Hahaha... kini nyatalah siapa yang lebih kuat, Pati Mukti! Dan kau telah membunuh salah seorang anak buahku! Kini terimalah kematianmu, Pati Mukti!" seru Praja Sewu.

Dan mulai menyerang lagi. Pati Mukti pun kembali mengimbanginya. Dia tidak berani untuk bentrok adu tenaga karena dia yakin tenaganya pasti kalah oleh tenaga Praja Sewu.

Maka dia pun memperlihatkan kelincahannya menghadapi jurus-jurus naga selatan milik Praja Sewu. Jurus yang mantap, kuat dan cepat.

Sedangkan Pati Mukti mati-matian mempertahankan diri. Dia sudah agak kewalahan. Merasakan angin pukulan yang dilontarkan Praja Sewu sudah membuatnya merinding, apalagi bila dia terkena oleh pukulan atau tendangannya.

"Hahaha... mengapa bisa mu hanya berlari saja, Pati Mukti?!" ejek Praja Sewu.

"Kau pun belum bisa memukul ku, Praja Sewu!" balas Pati Mukti dan sekuat tenaga berusaha menghindari dan membalas.

"Aku ingin melihat sampai di mana tenaga dan kekuatan yang kau miliki!"

"Hhh! Bilang saja kau tak mampu memukul ku!" "Bangsat! Baik, akan kita buktikan kata-katamu itu!"

geram Praja Sewu dan menyerang lebih hebat lagi. Membuat Pati Mukti harus bersusah payah menghindar dan membalas. Namun serangan-serangan yang dilancarkan Praja Sewu alis Naga Selatan, begitu hebat dari tadi. Membuat Pati Mukti menjadi terdesak hebat.

Dia tersudut. Dan gerakannya seakan telah dikunci oleh Praja Sewu. Ke mana dia bergerak, di situ pula Praja Sewu berada.

Dalam keadaan sulit untuk melepaskan diri, Pati Mukti nekat untuk mencoba menerobos kepungan gerakan Praja Sewu.

Tiba-tiba dia bersalto, mencoba melarikan diri dengan bersalto. Namun tanpa disangka olehnya, Praja Sewu dengan lincah dan tanpa diduga, bergerak cepat ke atas pula. Menyongsong tubuh Pati Mukti yang sedang melenting di udara.

Pati Mukti terkejut. Dia tidak menyangka Praja Sewu bisa berbuat seperti itu. Kini sadarlah Pati Mukti kalau kecepatannya kalah oleh Praja Sewu.

Dan tanpa ampun lagi satu jotosan dari Praja Sewu mengenai perutnya. Pati Mukti yang melayang di atas, lalu ambruk dengan muntah darah.

"Hahaha... hanya begitu saja kemampuan yang kau perlihatkan, Pati Mukti! Ciiih! Kemampuan seperti itu hanya layak kau perlihatkan pada pertunjukkan tukang-tukang obat!" ejek Praja Sewu sambil berkacak pinggang.

Pati Mukti mengangkat kepalanya pelan-pelan. Dia merasakan pusing yang luar biasa. Dan perutnya merasakan mual yang teramat sangat.

Pelan-pelan terdengar suara dari mulutnya sambil meringis kesakitan, "Hhhh! Aku belum... kalah, Praja Sewu "

"Hahaha... kalau begitu bangkitlah. Kita buktikan kembali ucapanmu itu "

Sambil menahan rasa sakitnya, Pati Mukti pun bangkit. Dia mengelap darah yang keluar dari mulutnya dengan punggung tangan kirinya.

Dan tiga-tiba, "Sreeet!" pedangnya sudah berada di tangan kanannya.

Praja Sewu terbahak kembali. "Biarpun kau menggunakan pedang pusaka sekali pun, kau tak akan mampu untuk mengalahkan aku, Pati Mukti "

"Kita buktikan dulu, Praja Sewu...." desis Pati Mukti dengan suara gagah."Aku siap menyabung nyawa denganmu! Kalau bisa... aku ingin menyumpal mulutnya dengan pedangku ini "

"Kalau bisa? Hahaha hei!"

Praja Sewu berkelit ke kiri karena pedang Pati Mukti sudah menyambar ke arah dadanya.

"Hahaha keluarkan semua ilmu pedangmu, Manu-

sia Bertopeng Biru!"

Pati Mukti pun bergerak dengan cepat. Pedangnya berkelebat seakan mempunyai mata mengikuti ke mana larinya Praja Sewu.

Praja Sewu sedikit merasakan kesulitan. Namun tiba-tiba saja dia menggeram hebat. Tepat saat itu pedang Pati Mukti bergerak ke arah ulu hatinya.

Des!

Pedang itu pun tepat mengenai sasarannya. Namun satu keanehan terjadi. Karena padang itu tak mampu menusuk kulit perut Praja Sewu.

Praja Sewu terbahak.

"Hahaha... inilah ilmu kebal Naga Berkulit Seribu, Pati Mukti!"

Pati Mukti menjadi penasaran. Dia menambah tenaga dalamnya. Dan sekali lagi bergerak menusukkan pedangnya ke perut Praja Sewu yang hanya terbahak tanpa berusaha untuk menangkis dan menghindar.

Dan lagi-lagi pedang itu tak mampu menembus kulit Praja Sewu. Seakan pedang itu mengenai tembak yang cukup tebal. "Kau ngeri melihat kehebatan ilmu kebal ku, bukan?" ejek Praja Sewu.

"Iblis busuk! Kau tak pantas menjadi seorang ketua Perguruan!" maki Pati Mukti. "Kau pantasnya menjadi bajingan yang sadis!"

"Hahaha... dan kau akan melihat bajingan ini menjadi sadis! Nah, bersiaplah untuk menerima ajalmu, Pati Mukti!"

Pati Mukti yang merasa sudah tidak mampu lagi untuk menghadapi Praja Sewu, langsung melenting ke kudanya begitu Praja Sewu menyerang. Dan menggebrak lari kudanya dengan cepat. Dia tidak ingin ajal menjemputnya sebelum tugas yang ada di pundaknya selesai.

Praja Sewu yang tidak menyangka Pati Mukti akan melompat ke kudanya dan melarikan diri, hanya bisa memaki-maki panjang lebar.

"Hhh! Awas kau, Pati Mukti! Suatu saat, kau harus mampus di tanganku!" geramnya. Lalu melanjutkan, "Hhh! Aku jadi ingin tahu siapa sesungguhnya Resi Widia Soka itu! Baik, purnama nanti, aku akan aku menghadiri undangan ini!"

***

3

Lembah Setan siang hari.

Nampak lembah yang mengerikan itu, ramai oleh orang-orang yang sedang membuat sebuah panggung besar. Orang-orang yang bekerja itu adalah muridmurid dari Partai Rajawali Sakti. Di halaman depan sebuah bangunan besar, terdapat bendera lambang Partai Rajawali Sakti yang bergambar seekor rajawali sedang murka. Di antara sibuknya orang-orang yang bekerja itu, nampak satu sosok berdiri gagah dengan kedua tangan bersedekap. Sosok itu mengenakan pakaian berwarna biru dengan topeng berwarna biru pula. Sama halnya yang dikenakan oleh Pati Mukti.

Hanya bedanya sosok itu memakai jubah berwarna merah. Dia adalah Resi Widia Soka. Dan sampai saat ini, tak seorang pun yang mengetahui rupa wajahnya. Juga para murid-muridnya.

Di balik topeng biru yang menutupi wajahnya Resi Widia Soka tersenyum melihat panggung besar yang telah selesai itu. Dia maksudkan, panggung itu untuk uji tanding antara jago-jago yang diundangnya.

Resi Widia Soka memang hendak meresmikan Perguruan silat Partai Rajawali Sakti. Semata untuk meminta restu pada para undangannya yang terdiri dari jago-jago rimba persilatan.

Tiba-tiba masuk seekor kuda dengan berlari kencang. Di atas punggung kuda itu tergolek satu sosok yang nampak amat lemah.

Dia adalah Pati Mukti yang sehari semalam memacu kudanya untuk sampai di Lembah Setan.

Resi Widia Soka dengan sigap bersalto menghentikan lari kudanya. Dan mengangkat tubuh Pati Mukti yang terluka.

Dia membawanya masuk ke bangunan besar itu. Dan membaringkan tubuh Pati Mukti. Dibukanya topeng dan pakaian biru Pati Mukti. Nampaklah seraut wajah yang cukup tampan milik Pati Mukti. Kalau dikira-kira, dia berusia sekitar 24 tahun. Wajahnya bersih kelimis.

Dan Resi Widia Soka dapat melihat perut Pati Mukti yang terluka.

Sekali melihat, dia bisa menduga jenis pukulan apa yang mengenai muridnya ini. Satu pukulan yang cukup berbahaya yang mengandung tenaga dalam yang besar. Dengan sigap Resi Widia Soka menotok beberapa ja-

lan darah Pati Mukti. Dan mengalirkan tenaga dalamnya melalui kedua telapak tangan Pati Mukti.

Tiba-tiba Pati Mukti muntah darah. Terasa dada dan perutnya sakit sekali.

Darah yang keluar dari mulutnya agak berwarna hijau, menandakan pukulan yang dilepaskan Praja Sewu mengandung racun.

Dan tiba-tiba dia pingsan kembali. Resi Widia Soka kembali menotok beberapa jalan darah Pati Mukti dan membiarkan sampai dia siuman.

Malamnya, Pati Mukti yang sudah sadar pun menceritakan apa yang telah dialaminya.

"Hmm... Praja Sewu...." kata Resi Widia Soka. "Biarlah... kita tidak perlu memperpanjang masalah ini. Bila dia ingin datang memenuhi undangan kita, kita terima dengan senang. "

"Tapi, Guru... dia telah menghina Partai Rajawali Sakti "

"Biarlah, Pati Mukti.... Sabarlah "

"Aku tidak puas sebelum membalas semua  ini, Guru. "

"Pati Mukti... sebenarnya aku pun geram dengan sikap dari Praja Sewu atau si Naga Selatan terhadapmu. Namun yang perlu diingat, undangan kita bukanlah untuk membuat huru-hara atau pun keributan sesama. Undangan ini kita lakukan, untuk meminta restu dari orang-orang rimba persilatan dengan berdirinya Partai Rajawali Sakti "

"Aku mengerti maksud, Guru. Tetapi aku menden-

dam pada Praja Sewu. "

"Pati Mukti... bersabarlah dalam hal ini     Dan ingat-

lah     kita hanya meminta restu dari orang-orang rimba

persilatan.  Bukan untuk  menyebarkan  bibit permusuhan dan kesombongan. "

Pelan-pelan Pati Mukti menundukkan kepalanya. Dia merasa malu dengan sikapnya tadi terhadap gurunya. Gurunya begitu bijaksana sekali.

Lalu dia pun mohon diri untuk kembali ke kamarnya.

Namun benarkah apa yang dikatakan Resi Widia Soka tadi? Bahwa dia mengundang orang-orang rimba persilatan semata-mata hanya meminta restu dari mereka akan berdirinya Partai Rajawali Sakti?

Dan siapakah Resi Widia Soka yang mendadak saja muncul di rimba persilatan tanpa seorang pun pernah mengenalnya? Termasuk Madewa Gumilang?

***

4

Dua puluh tahun yang lalu, di sebuah desa yang cukup terpencil hiduplah sepasang suami istri yang baru saja dikarunia anak pertama. Keluarga itu amat rukun dan bahagia.

Si suami bernama Malengka Seto sedangkan istrinya bernama Nyai Asih. Sejak dikaruniai anak, Malengka Seto semakin rajin untuk mencari penghasilan. Apalagi dia teramat mengasihi istri dan anaknya. Kalau pagi, Malengka Seto bertani dan bila sore menjelang malam dia berdagang di kota.

Ketika putranya Banyu Wiro berusia tujuh tahun, datanglah satu kejadian yang mengerikan.

Malam itu Malengka Seto belum kembali dari berdagang di kota. Tiba-tiba tiga orang penunggang kuda mendekati tempat tinggalnya.

"Agaknya kita bisa bermalam di sini, Kakang " terdengar suara seseorang yang berwajah agak menyeramkan. Ketiga orang itu memakai ikat kepala berwarna merah. Dan di pinggang masing-masing terdapat sebuah golok besar.

Mereka menamakan diri Tiga Golok Maut.

Yang dipanggil Kakang tadi seorang laki-laki bertubuh besar. Dengan bulu dada yang lebat di dadanya. Dia bernama Murka Tungga.

"Hmm... lumayan agaknya tempat ini. Bisa menghilangkan dinginnya malam untuk sementara. Coba kau periksa tempat itu, Moro!"

Yang diperintah itu pun turun dari kudanya.

Sementara di dalam rumah, Nyai Asih yang sedang menunggu kedatangan suaminya, menjadi ketakutan ketika dia mengintip dari jendelanya melihat tiga orang laki-laki berwajah seram yang mendatangi rumahnya.

"Oh, mengapa suamiku sampai saat ini belum pulang juga?" desisnya khawatir. Sementara Banyu Wiro sudah sejak tadi terlelap karena tak bisa menahan kantuk untuk menunggu ayahnya.

Nyai Asih semakin ketakutan ketika melihat salah seorang dari penunggang kuda itu turun dan berjalan ke arah pintu depan.

Dadanya makin berdebar hebat ketika terdengar suara ketukan pintu.

"Tok! Tok! Tok!"

Suara itu baginya bagaikan sebuah ledakan yang cukup keras.

"Tak ada yang menyahut, Kakang!" kata Moro. "Hmm...." desis Murka Tungga."Berarti tak ada

penghuninya!"

"Tapi terkunci, Kakang!"

"Moro... apa kau sudah tidak mampu untuk mendobraknya!"

Moro tertawa. Lalu dengan sekali pukul, pintu yang terkunci itu hancur berantakan. "Periksa!"

Moro pun masuk. Dia dapat melihat Nyai Asih yang terduduk di pojokan karena ketakutan.

"Hei, Kakang!" serunya. "Rupanya ada ayam bulat di sini!"

"Benarkah, Moro?!" sahut Murka Tungga dengan suara yang gembira. Di malam yang dingin ini memang sangat mengasyikkan bila ada tubuh hangat yang bisa digelutinya.

"Benar, Kakang! Ayam ini begitu montoknya!"

Murka Tungga berkata pada yang masih duduk di kudanya. "Asena, periksa apakah kata-kata Moro itu benar!"

Asena pun turun dari kudanya dan masuk ke dalam. Dia berdiri di sisi Moro. Dan melihat Nyai Asih yang duduk ketakutan.

Dia pun berseru, "Benar, Kakang! Ayam ini nampaknya masih ranum!"

Murka Tungga pun melompat dari kudanya. Dan masuk ke dalam. Dalam pandangannya pun kini terlihat satu sosok tubuh yang meringkuk ketakutan.

"Hahaha... siapakah kau, Manis?" tanyanya dengan suara kasar.

Nyai Asih makin ketakutan.

"Hahaha... kami orang baik-baik, Manis, Ayo... bicaralah "

Dengan suara ketakutan dan terbata-bata, Nyai Asih berucap, "Saya... Nyai Asih... Tuan "

"Nyai Asih? Hahaha... namamu bagus sekali, Nyai....

Kenalkan, aku Murka Tungga. Dan ini kedua anak buahku, Moro dan Asena. Kami lebih dikenal dengan nama Tiga Golok Maut "

"I... iya, Tuan "

"Hmm... Nyai Asih... agaknya kau ditakdirkan oleh dewata untuk menemani kami sepanjang malam ini....

Pasti kau bersedia, bukan?"

"Oh!" Wajah Nyai Asih semakin pucat. Sekujur tubuhnya berkeringat karena ketakutan yang teramat sangat.

"Kenapa kau menjadi ketakutan, Manis? Kami tidak akan berbuat apa-apa. Tapi... bila kau tidak menurut dan mematuhi semua keinginan kami... hahaha den-

gan terpaksa kami akan menyiksamu... Nyai "

"Oh, jangan Tuan... jangan... saya sudah bersuami dan punya anak "

"Hahaha... biarpun kau punya suami dan punya anak, tetapi nampaknya tubuhmu masih hangat untuk menemani kami di malam yang dingin ini "

"Oh, jangan Tuan... jangan...." Nyai Asih beringsut namun di belakangnya tampak. Dan dia tidak bisa berbuat apa-apa lagi selain memohon agar ketiga orang itu tidak berbuat apa-apa terhadap dirinya.

Namun bagi Murka Tungga dan kedua anak buahnya, ini adalah satu kesempatan yang baik sekali. Sudah tentu mereka tidak akan melewatkan kesempatan ini.

Murka Tungga tertawa.

"Mengapa jangan, Nyai? Bukankah kau pun bisa turut bersenang-senang dengan kami?"

Nyai Asih makin ketakutan. "Jangan... jangan lakukan itu padaku.... Sebentar lagi suamiku datang Jan-

gan, Tuan... Jangan "

Tetapi ketiga orang itu tetap tidak perduli. Ini adalah satu kenikmatan yang hendak mereka cari. Dan secara kebetulan apa yang mereka inginkan ada di hadapan mereka kini.

Murka Tungga perlahan-lahan mendekat. Wajahnya menyeringai buas dengan sepasang mata yang seakan ingin menelan hidup-hidup. Nyai Asih menahan nafas dengan tegang. Ketakutannya memuncak ketika tangannya dipegang oleh Murka Tungga. Dia berusaha untuk membebaskan diri, namun tenaga Murka Tungga jauh lebih besar dari tenaganya.

Tiba-tiba terdengar bentakan, "Orang-orang jahat!

Lepaskan ibu!"

Murka Tungga menoleh. Dan melihat seorang bocah berusia 7 tahun berdiri di ambang pintu sebuah kamar.

Bocah itu adalah Banyu Wiro yang terbangun ketika mendengar suara ribut-ribut.

"Hahaha... bocah berani! Diamlah di tempat itu, jangan kau ganggu keasyikan kami dengan ibumu " kata

Murka Tungga yang melihat hanya seorang bocah yang membentaknya.

"Lepaskan Ibu!" kata Banyu Wiro gagah berani. Dia pun perlahan-lahan mendekati.

"Haha... kau belum tahu betapa nikmatnya sorga dunia, Bocah.... Ibumu sendiri tentunya suka dengan kesenangan ini! Maka minggirlah, ibumu sendiri yang meminta!"

"Kau menyakiti Ibu!" bentak bocah itu tak mengenal takut. Dia makin mendekat.

Nyai Asih menjadi bertambah cemas. Dia kuatir putranya akan kenapa-napa.

"Banyu... minggirlah.   " desisnya pilu karena dia  sa-

dar akan bahaya yang sebentar lagi datang padanya. "Tidak!  Orang  itu  kasar,  Ibu! Ibu disakiti  olehnya!"

seru Banyu Wiro tetap dengan suara gagah. Dan dia makin mendekat.

Diam-diam Murka Tungga kagum dengan keberanian bocah ini. Namun dia tidak mau keasyikannya terganggu. Dia bermaksud hendak memberi perintah pada Moro untuk menghabisi saja bocah sialan itu.

Namun mendadak saja, Banyu Wiro dengan kepolosan dan kenekatan seorang bocah, melompat menerjang Murka Tungga. Walaupun serangan itu tidak menyakitkan, namun cukup membuat Murka Tungga kaget luar biasa.

"Bocah setan!" bentaknya sambil membanting tubuh Banyu Wiro.

Dan tanpa ampun lagi tubuh bocah itu terhempas cukup keras di lantai. Dan pingsan seketika.

"Bunuh saja!" geram Murka Tungga marah.

Moro pun bergerak. Tangannya terangkat, siap menghabisi nyawa Banyu Wiro.

Namun bertepatan saat itu, mendadak pintu digebrak dari luar. Masuklah Malengka Seto. Tadi dia ketika baru tiba, heran melihat ada tiga ekor kuda di depan rumahnya. Dan dari keheranannya berubah menjadi terkejut ketika melihat pintu depan rumahnya jebol. Apalagi ketika didengarnya suara jeritan istrinya.

Bergegas Malengka Seto masuk ke dalam. Dan teramat terkejut melihat tiga orang laki-laki berwajah seram sedang berdiri di hadapan istrinya yang meringkuk ketakutan. Dan dia semakin geram begitu melihat putranya pingsan dengan mulut mengeluarkan darah.

"Siapa kalian?!" bentaknya.

Ketiga orang itu berbalik. Moro tidak jadi mengayunkan tangannya.

"Hmm... rupanya kau suami wanita ini, bukan?" desis Murka Tungga.

"Ya! Dan kalian siapa? Jangan coba-coba mengganggu istri dan anakku?!" seru laki-laki itu dengan gagah. Dan Malengka Seto dapat membaca apa yang terjadi di rumahnya. Tentunya ketiga orang ini adalah manusiamanusia durjana yang kerjanya hanya membuat onar dan menyengsarakan orang lain.

"Hmm... kami adalah Tiga Golok Maut!" kata Murka Tungga. "Cepat kau berlutut dan biarkan kami menikmati hangatnya tubuh istrimu!" "Biadab! Kalian hanya membuat onar saja di rumahku ini! Cepat kalian pergi dari sini sebelum aku menjadi marah!" seru Malengka Seto dengan berani. Dia tidak perduli akan dirinya. Baginya keselamatan istri dan anaknya yang terutama.

Tetapi kata-katanya hanya disambut tawa oleh ketiga orang itu.

"Hahaha... dia mengancam, Kakang...." kata Asena terbahak.

"Layanilah dia, Asena! Kasih dia pelajaran yang cukup berarti! Setelah itu bunuh dia!"

Asena pun melangkah. Malengka Seto pun bersiap. Dia merasa tak ada jalan lagi untuk menghadapi ketiga orang itu selain melawan.

Tiba-tiba Asena menerjang.

Malengka Seto pun melayaninya. Ternyata dia pun memiliki ilmu silat yang lumayan. Serangan Asena yang tadi menganggapnya enteng dapat dielakkannya.

Melihat serangannya luput, Asena pun menggeram marah. Dia menggebrak hebat.

Meskipun Malengka Seto memiliki sedikit kepandaian, namun menghadapi Asena dia jauh berada di bawah laki-laki seram itu. Sebentar saja dia sudah terpukul jatuh.

"Hahaha... kau berani menjual lagak rupanya!" tawa Asena.

Malengka Seto menggeram marah. Namun tubuhnya terasa sakit sekali. Dan tak mampu untuk digerakkan.

Murka Tungga terbahak.

"Hahaha.... Nah, kau lihatlah betapa montoknya tubuh istrimu ini!" kata Murka Tungga dan tangannya bergerak cepat merobek baju bagian dada dari Nyai Asih yang menjerit tertahan.

"Breeek!"

Baju itu pun robek dan nampaklah sepasang buah dada yang putih mulus. Murka Tungga terbahak. "Hahaha... benar dugaanku. Tubuhmu masih mon-

tok, Nyai " katanya sambil membelai dada itu.

Nyai Asih meronta. Namun Murka Tungga dengan cepat menotok urat kakunya (Editor: kaku atau kaki?) sehingga wanita itu sulit untuk bergerak.

Malengka Seto menggeram luar biasa marahnya. Dia mencoba bangkit. Namun kaki Moro telah menendangnya hingga dia ambruk kembali.

"Jangan... jangan ganggu istriku...." desisnya terbata-bata.

"Hahaha... kau perhatikanlah betapa baiknya kami mengajak istrimu bersenang-senang...." kata Murka Tungga sambil membuka pakaiannya.

Dan di hadapan Malengka Seto, Murka Tungga dengan buas memperkosa Nyai Asih. Lalu disusul dengan Asena. Kemudian Moro.

Malengka Seto menahan rasa sakit hati, kecewa, sedih dan marahnya. Dia merasa kecil sebagai laki-laki di mana istrinya diperkosa orang dia tak berdaya.

Dan dia tak sanggup menyaksikan adegan yang mengerikan itu. Belum lagi jeritan istrinya yang terdengar amat menyayat hatinya.

Diiringi dengan tawa terbahak-bahak dari Tiga Golok Maut.

Malengka Seto merasa kiamat sudah tiba. Dan tibatiba dia seperti mendapat tenaga baru. Dengan ganasnya dia menyerang Murka Tungga. Namun dia bukannya lawan dari Murka Tungga.

Dengan sekali mengayunkan tangannya Murka Tungga menghajar Malengka Seto hingga terhuyung ke belakang dan ambruk kembali. Lalu nyawanya pun melayang.

Malengka Seto mati dengan sejuta dendam yang membara. Nyai Asih sendiri pun merasakan sekujur tubuhnya sakit. Tercabik-cabik bagaikan disayat oleh sembilu. Hatinya pun pecah berkeping-keping. Dia hanya bisa menahan air matanya menyaksikan dan menghadapi semua ini.

Seumur hidupnya Nyai Asih tidak pernah berpikir akan mendapatkan musibah yang teramat mengerikan. Dan tak pernah terpikir pula olehnya, kalau dia akan menyaksikan kematian suaminya secara mengenaskan di depan matanya sendiri.

Sementara itu ketiga orang durjana itu masih tertawa-tawa.

Mereka pun melakukan perbuatan keji itu kembali terhadap Nyai Asih.

"Hahaha... alangkah sedapnya tubuhmu, Nyai " de-

sis Murka Tungga setelah selesai untuk kedua kalinya. Lalu menyusul Asena dan Moro.

Setelah itu ketiganya terbahak-bahak. Mereka lalu mengobrak-abrik seisi rumah itu. Mengambili barangbarang dan uang yang dimiliki Nyai Asih.

Setelah itu pun mereka meninggalkan tempat itu. Meninggalkan Nyai Asih yang menderita kesakitan, yang teramat menyesal mengapa dia tidak mati saja di saat kejadian mengerikan itu menimpanya.

Dia hanya bisa menangis tersedu-sedu.

Lalu hati-hati dihampirinya suaminya. Murka Tungga sudah membebaskannya dari totokannya. Dia tidak membunuh Nyai Asih maupun Banyu Wiro. Karena menurutnya kedua orang itu tidak akan bisa berbuat apaapa.

Nyai Asih menangis di depan mayat suaminya. "Huhuhu.... Kakang... mengapa kejadian ini menim-

pa kita. Mengapa, Kakang?" tangisnya pilu. Dan sekujur tubuhnya terasa sakit sekali. Teramat sakit.

"Dosa apa yang telah kita lakukan, Kakang sehingga Dewata marah kepada kita?" tangisnya menjadi-jadi. Dibelainya wajah suaminya sambil berlinang air mata.

Bajunya yang sudah tidak karuan, tidak diperdulikannya lagi. Tangisnya makin menjadi-jadi. Kepedihannya terasa menyayat hati.

Lalu dia pun menghampiri putranya yang masih dalam keadaan pingsan. Dipangkunya bocah yang berusia tujuh tahun yang berani itu.

"Banyu...."   panggilnya   pilu.   "Maafkan   bu, Nak....

Maafkan  pula ayahmu... yang...  oh, yang tak mampu...

untuk menjaga mu lebih lama lagi, Nak... maafkan ibu...

maafkan  kedua orang tuamu ini,  Nak....  Oh, Dewata...

bimbinglah anakku ini.... Dan ku mohon pada-Mu bi-

la dia dewasa nanti... tunjukkanlah padanya siapa orang-orang yang telah berbuat jahat kepada kami ini...

Ku  mohon  pada-Mu,  Dewata yang agung. Biarkanlah

dia membalas dendam semua ini.... Biarkanlah " Lalu

dengan hati-hati dia menurunkan kepala putranya dari pangkuannya. Lalu sambil menahan rasa sakit di sekujur tubuhnya, Nyai Asih merangkak mengambil pisau yang tergeletak di lantai. Terjatuh dari sebuah meja yang telah di obrak-abrik oleh orang-orang jahat itu.

"Suamiku... aku akan menyusulmu, Kakang.   "  Lalu

dia menatap kembali putranya, "Maafkan ibu, Banyu.   "

Dan dihunjamkannya pisau itu ke dadanya. Darah menyembur deras. Dan ambruklah Nyai Asih dengan pisau yang menancap di dada.

Nyawanya melayang dari tubuhnya. Malam semakin larut dan dingin.

*** 5

Pagi telah menjelang. Matahari bersinar dengan cerah menerangi seantero jagat raya. Dari kejauhan nampak seorang kakek bertongkat tengah berjalan tertatihtatih. Nampak sekali sepertinya dia tengah  keletihan dan teramat lelah.

Begitu dilihatnya sebuah rumah kecil, dia agak tersenyum.

"Ah... barangkali saja penghuninya mau menyediakan aku sedikit minum dan makan untuk mengganjal perutku yang kosong ini " desis kakek itu.

Dan dibawanya langkahnya ke rumah yang dilihatnya tadi, rumah yang tak lain milik Malengka Seto.

Namun kakek itu menjadi amat terkejut, melihat keadaan rumah itu. Pintu depannya hancur berantakan. Dan nampak pula barang-barang di dalam rumah itu berantakan juga.

Dengan hati-hati kakek itu masuk ke dalam rumah. Kali ini keterkejutannya menjadi lebih besar ketika melihat tiga sosok tubuh tergolek.

"Oh, Jagat Batara Agung! Apa gerangan yang telah terjadi di sini?" desisnya seraya memeriksa sosok yang laki-laki. Dia tak merasakan denyut nadi di pergelangan tangan laki-laki itu.

Agaknya layar kehidupan sudah tertutup untuknya. Lalu dihampirinya sosok wanita yang terlentang dengan pisau menancap di dada. Pakaian wanita itu tak karuan adanya.

Secara pasti laki-laki tua itu dapat menduga apa yang telah terjadi di rumah ini. Tentunya ada beberapa orang jahat yang membunuh mereka dan memperkosa yang wanita.

Tiba-tiba telinganya mendengar suara terbata-bata bernada kesakitan, "Oghhh... aaakhh "

Kakek itu melirik. Dia melihat bocah kecil yang tergolek tadi menggeliatkan tubuhnya.

"Oh, rupanya kau hanya pingsan, Nak!" desis kakek itu.

Banyu Wiro yang memang cuma pingsan adanya, membuka matanya perlahan-lahan. Kepalanya dirasakan pusing. Dan fokus matanya yang gelap tadi mengerjap-ngerjap karena cahaya matahari.

Ingatannya berputar akan kejadian semalam. Dia melihat betapa ibunya hendak disakiti oleh tiga orang jahat itu. Dan Banyu Wiro marah besar. Dia ingin menolong ibunya, tapi orang-orang jahat itu telah memukulnya hingga pingsan.

Teringat akan semua itu, matanya mencari-cari. Dan melihat dua sosok yang tergolek lemah. Satu sosok tertancap pisau di dadanya.

"Ibuuuu! Bapaaaaa!" pekiknya seraya memburu. Tak diperdulikannya kepalanya yang pusing menyengat. Ditahannya.  Banyu Wiro menangis tersedu-sedu.  "Ibu....

Bapa... jangan tinggalkan Banyu... huhuhu.    Banyu hi-

dup  sama  siapa,  Bu,  Pa?  Huhuhu...  Banyu   takut...

Banyu takut. "

"Jangan takut, Nak "

Terdengar suara di sampingnya. Banyu Wiro serentak mengangkat kepalanya. Dia melihat seorang kakek sedang bersimpuh tersenyum padanya.

Dasar anak yang jujur dan berani, Banyu Wiro langsung bertanya, "Siapakah kau, Kakek?"

Kakek itu tersenyum.

"Sebutkanlah dulu namamu, Nak. "

"Namaku Banyu Wiro, Kek. Kakek siapa?"

"Hehehe... orang-orang memanggilku Pengemis Tua Bertongkat Sakti ?"

"Pengemis Tua Bertongkat Sakti?" "Ya... tetapi aku sendiri lupa dengan namaku yang sesungguhnya "

"Lalu bagaimana cara teman-teman Kakek memanggil Kakek?"

"Mereka   memanggilku  dengan  nama Pengemis

Tua... atau kalau tidak Gembel Tua "

"Kakek tidak marah dipanggil dengan kata-kata seperti itu?" tanya Banyu Wiro heran. Baginya bila dia dipanggil dengan sebutan jelek itu, tentu saja dia akan marah.

Kakek  itu  terkekeh.  "Tentu  tidak,  Nak.     Namaku

memang itu. Mengapa harus marah? Orang-orang semua memanggilku dengan sebutan itu. Ah... kau tidak tahu    betapa panggilan itu terasa amat merdu di  telin-

gaku ini "

Banyu Wiro cuma memperhatikan wajah kakek itu. Sepasang mata tuanya nampak teduh menyejukkan. Bibirnya pun selalu tersenyum. Entah kenapa sekali lihat saja Banyu Wiro sudah bersimpati padanya.

Dan ketika Kakek itu bertanya apa yang telah terjadi di rumahnya, Banyu Wiro pun menceritakan semuanya. "Tapi aku tidak tahu bagaimana matinya Bapa, Kek?" kata bocah itu sambil menundukkan kepala. "Kini aku

sendiri, Kakek "

Pengemis Tua Bertongkat Sakti itu tersenyum. Lalu hati-hati disentuhnya bahu bocah itu.

"Banyu... bukankah sekarang ada aku di dekatmu.

Mengapa kau harus mengeluh?"

"Bagaimana tidak, Kakek.... Kakek hanyalah orang lain bagiku. Tentunya setelah ini Kakek akan pergi meninggalkan aku. " kepala bocah itu tertunduk kembali.

Hati Kakek itu jadi terenyuh. Dan simpatinya pun muncul. Melihat sikap polos, jujur dan berani dari Banyu Wiro tadi saja sudah membuatnya simpati.

"Banyu... apakah kau tidak bisa menganggapku sebagai kakekmu sendiri?"

Kepala bocah itu terangkat dan sepasang matanya berkilat-kilat jenaka.

"Tentu saja aku bisa, Kek. Dan Kakek akan menganggapku sebagai cucu Kakek sendiri?"

Pengemis Tua Bertongkat Sakti tersenyum. "Tentu saja, Banyu."

"Oh, Kek! Terima kasih!" seru Banyu Wiro sambil memeluk tubuh Pengemis Tua Bertongkat Sakti.

"Nah, Banyu... kita harus menguburkan dulu mayat kedua orang tuamu. Setelah itu kita pergi mencari makan. Perutku lapar sekali "

Setelah menguburkan mayat kedua orang tua Banyu Wiro, Pengemis Tua Bertongkat Sakti pun segera mengajak bocah itu pergi dari situ. Sekali lagi Banyu Wiro menatap dua buah makam yang masih baru itu.

"Ibu.... Bapa... maafkan Banyu, ya? Banyu pergi sama kakek. Tentunya Ibu dan Bapa pasti senang sama

kakek pengemis ini... dia baik hati, Bu, Pa "

"Ayo, Banyu!"

Banyu Wiro pun bangkit. Lalu mulailah dia ikut bertualang dengan Pengemis Tua Bertongkat Sakti. Mulamula Banyu Wiro malu ketika disuruh mengemis, namun melihat kakek itu dengan tak acuh saja menadahkan tangan, Banyu Wiro pun ikut-ikut melakukannya.

Pernah dia bertanya mengapa kakek tidak bekerja saja atau mencari pekerjaan lain.

Jawab Pengemis Tuan Bertongkat Sakti, "Banyu memang pekerjaan sebagai pengemis itu sepertinya hina. Namun lebih hina lagi bila bekerja sebagai pencopet, maling, atau pun merampok. Jadi dari pada bekerja tidak halal, bukankah lebih baik mencari yang halal?"

"Tapi bukankah kesannya kita pemalas, Kek?" "Benar,  Banyu. Tetapi bila kita tidak  mendapatkan

pekerjaan lain dan tak ada yang mau menggaji kita bagaimana? Lebih baik mengemis bukan daripada melakukan perbuatan yang tidak halal?"

Semula Banyu Wiro tidak mengerti apa yang dimaksud kakek itu, namun ketika suatu hari dia melihat pencopet di pasar, barulah dia tahu makna dari katakata kakek itu.

Dan semakin lama dia semakin kagum dengan kakek yang baik hati itu. Banyu Wiro tidak tahu, kalau Pengemis Tua Bertongkat Sakti adalah seorang jago dari golongan putih. Keahliannya bermain tongkat tuanya teramat hebat dan sakti, dia banyak disegani oleh kawan dan lawan. Dan yang lebih terutama, Pengemis Tua Bertongkat Sakti amat pemurah dan selalu menolong sesamanya. Meskipun dia mencari nafkah dengan jalan mengemis.

Banyu Wiro baru mengetahui kalau kakek itu pandai ilmu silat ketika dia menghajar beberapa orang pemeras di pasar. Tiga pemeras itu dibuat tunggang langgang dengan tongkatnya.

Dan diam-diam Banyu Wiro yang saat itu sudah berusia 10 tahun, ingin pula memiliki kepandaian ilmu silat dari Kakek itu. Apalagi Ketika dia teringat akan kematian kedua orang tuanya. Dan mendadak saja timbul rasa ingin membalas dendam.

Lalu diutarakannya semua keinginannya itu. "Banyu... aku sendiri memang ingin mewariskan se-

mua kepandaianku ini padamu. Dan aku memang menunggu saat yang paling tepat. Baiklah, sambil meneruskan petualangan kita... aku akan mengajarkan semua kepandaianku kepadamu secara bertahap "

Dan sejak saat itu, bila ada kesempatan Pengemis Tua Bertongkat Sakti mengajarkan kepandaiannya kepada Banyu Wiro. Sejak semula Pengemis Tua Bertongkat Sakti dapat menduga kecerdasan dari bocah ini. Dalam selang waktu tujuh tahun, semua kepandaiannya telah dimiliki oleh Banyu Wiro.

Dan ingatan Banyu Wiro pun terus tertuju pada Tiga Golok Maut, yang telah menyebabkan kematian kedua orang tuanya.

Dalam petualangannya bersama Pengemis Tua Bertongkat Sakti, Banyu Wiro selalu di setiap kesempatan bertanya tentang Tiga Golok Maut pada orang-orang yang dijumpainya. Namun sampai sejauh itu tak seorang pun memberi keterangan yang pasti.

Dan yang lebih membuatnya cemas. Pengemis Tua Bertongkat Sakti nampak mulai sakit-sakitan karena sudah tua. Banyu Wiro sendiri telah melarang Pengemis Tua Bertongkat Sakti untuk mengemis lagi. Kini pekerjaan itu diambil alih olehnya. Namun Banyu Wiro pun mencari pekerjaan. Dan didapatinya sebagai tukang cuci piring di sebuah warung makan.

Tetapi pada suatu malam, ketika dia baru pulang bekerja dan membawa sedikit makanan serta obatobatan, dia menemukan tubuh Pengemis Tua Bertongkat Sakti telah terbujur kaku. Bukan main sedihnya Banyu Wiro menyaksikan hal itu.

Dia menahan tangisnya.

Dan menguburkannya keesokan paginya. Dia bersimpuh di makam itu.

"Kakek.... Kakek telah begitu baik padaku. Hampir sepuluh tahun Kakek membimbingku, menjagaku dan merawatku.... Kek... rasanya belum puas aku ganti menjaga dan merawat Kakek...." desisnya dengan air mata berlinang. "Kakek... aku akan meneruskan petualanganku untuk mencari pembunuh ibu dan bapa... doakan Kek... semoga tiga manusia durjana itu kutemui dan aku bisa membalas dendam sakit hati kedua orang tuaku yang mereka bawa ke alam kubur Doakan aku,

Kek "

Lalu hati-hati dia bangkit. Ditatapnya lagi makam itu.

"Kek... aku pergi dulu... Tongkatmu kubawa untuk menjadi temanku selama petualanganku mencari pembunuh kedua orang tuaku.... Aku pergi, Kek... semoga kau bahagia di sisi Tuhan "

Lalu hati-hati Banyu Wiro pun melangkah. Baru dirasakannya sepi yang begitu mendalam tanpa Pengemis Tua Bertongkat Sakti. Biasanya di sampingnya selalu ada dia. Yang kadang memarahinya bila dia bandel, yang kadang menasehatinya bila dia keras kepala. Kakek itu ibarat pengganti orang-tuanya.

Tetapi kini, dia menelusuri hidup dengan kedua langkahnya sendiri. Namun begitu teringat kalau dia hendak mencari pembunuh kedua orang tuanya, kakinya semakin mantap melangkah.

Hingga tibalah dia di Lembah Setan. Lembah yang cukup menyeramkan. Lalu mulailah dia menurunkan beberapa kepandaiannya pada orang-orang di sekitar sana. Dan dia pun mengenakan pakaian berwarna birubiru dengan jubah merah dan topeng yang menutupi wajahnya.

Namanya pun diganti menjadi Resi Widia Soka. Sampai dia pun melaksanakan rencananya untuk mengundang para jago-jago persilatan. Karena Banyu Wiro berpikir sulit untuk mencari Tiga Golok Maut. Barangkali saja tiga manusia durjana itu hadir di antara para tamunya. Dan agar orang-orang itu tidak curiga, dia pun mendirikan Partai Rajawali Sakti, dan bermaksud meresmikannya dengan meminta restu para jago-jago rimba persilatan.

*** 6

Pagi baru saja datang. Udara cerah. Burung-burung di sekitar hutan itu berkicauan dengan merdu. Seakan menanti dan menunggu munculnya sang mentari.

Di gubuk kecil yang terdapat di hutan itu, keluar satu sosok tubuh seorang gadis. Gadis itu merentangkan kedua tangannya. Lalu dia pun melangkah ke sungai untuk mandi. Digosoknya tubuhnya bersih-bersih. Setelah itu dia pun kembali ke gubuk tadi.

Di dalam gubuk itu ternyata masih ada satu sosok lagi yang sedang tidur. Seorang pemuda berwajah tampan. Gadis itu pun membangunkannya.

"Kakang... Kakang... bangun, sudah siang...." katanya sambil mengguncang.

Pemuda itu menggeliatkan tubuhnya. Lalu membuka matanya. Dia tersenyum melihat gadis itu sudah rapi dan bersih.

"Kau sudah mandi, Rayi Ambar?"

"Sudah, Kakang Pranata.... Cepatlah kau mandi dulu. Angin berhembus sejuk dan air sungai pun sejuk sekali, Kakang."

Pemuda yang tak lain Pranata Kumala dan gadis itu istrinya Ambarwati, bangkit dari tidurnya. Lalu dia pun melangkah keluar. Menikmati pemandangan hutan di pagi hari.

Dua ekor kudanya nampak sedang asyik memakan rumput.

Mereka memang Pranata Kumala dan Ambarwati adanya. Sepasang suami istri muda itu memang tengah melakukan petualangan. Mereka adalah putra dan menantu dari Madewa Gumilang dan Ratih Ningrum.

Telah berbulan-bulan mereka melakukan petualangan. Dan banyak mendapat pengalaman yang menarik dari belahan sisi kehidupan.

Pranata Kumala pun pergi mandi. Setelah itu memetik buah-buahan yang terdapat di hutan sana. Lalu keduanya pun menikmati buah-buahan itu sebagai pengganjal perut atau sarapan.

Tiba-tiba terdengar langkah berderap mendekat? gubuk itu.

"Ah... kayaknya gubuk ini layak untuk dipakai tempat beristirahat sebelum kita melanjutkan perjalanan ke Lembah Setan!" terdengar suara keras itu.

Pranata Kumala dan istrinya jadi bersiaga. Mereka dapat menduga di tempat semacam ini sering kali banyak orang-orang yang hendak berbuat jahat.

Dia pun berbisik pada istrinya, "Bersiaplah, Rayi... agaknya ada tamu yang tak diundang datang ke sini "

Ambarwati pun bersiaga.

Lima orang itu makin mendekati gubuk yang mereka lihat. Dan salah seorang berkata, "Kakang lihatlah!

Ada dua ekor kuda di sana!"

"Hmm... berarti gubuk itu ada penghuninya!" kata yang dipanggil kakang yang bernama Jartiko Seda. "Kalian periksa ke sana! Dan bunuh saja siapa yang ada di sana!"

Mendengar kata-kata itu Pranata Kumala segera mengajak istrinya keluar. Menurutnya, gubuk ini terlalu sempit bila terjadi perkelahian. Dan satu-satunya jalan adalah mencari tempat yang agak lega. Maka dia pun muncul bersama istrinya.

"Kakang! Kau lihat itu! Penghuninya ternyata dua orang remaja yang sedang asyik-masyuk!"

"Hahaha... rupanya yang pemudi itu boleh juga untuk menemani kita di pagi hari ini!"

Ambarwati yang panasan segera membentak karena dirinya dijadikan bahan ejekan, "Bangsat hina! Siapa kalian?!" "Hahaha... rupanya galak juga manusia yang  satu ini! Hmm... aku Jartiko Seda amat menyukai gadis galak semacam kau!"

"Mulut ceriwis! Cepat pergi dari sini sebelum aku menjadi marah!"

"Hahaha... hei kalian dengar itu?! Dia marah dan mengusir kita?!" kata-kata Jartiko Seda disambut dengan tawa oleh anak buahnya.

Kelima orang itu terbahak dengan perut terguncang.

Di pinggang masing-masing terdapat sebilah clurit.

Ditertawakan begitu, Ambarwati semakin menjadi jengkel. Dia membentak lagi.

"Hhh! Para tukang rumput dari mana kalian hingga sampai di tempat ini, hah?! Apa kalian sedang mencari kambing-kambing kalian yang terlepas?!"

Wajah kelima orang itu merah padam. Terutama Jartiko Seda.

"Perempuan lancang! Kau akan ku ganyang hiduphidup!" bentaknya dengan sepasang mata melotot marah.

"Atau kau yang kujadikan makanan kambing, Orang jelek!" balas Ambarwati tak mau kalah. Dia memang seorang gadis yang cepat marah dan tersinggung. Panasan.

Melihat keadaan yang semakin tidak enak, Pranata Kumala cepat memotong dan menjura, "Maafkan kelancangan istriku, Ki Sanak " katanya dengan suara yang

terdengar sopan.

"Hhh! Istrimu rupanya? Apa kau tidak kewalahan mempunyai istri brengsek seperti itu?!" seru Jartiko Seda yang merasa laki-laki itu menghormatinya, dilihat dari sikapnya yang menjura.

"Sekali lagi maafkan istriku, Kisanak. Dan pertanyaan Kisanak tadi, sudah tentu kujawab tidak! Aku amat mencintai istriku ini, siapa pun dia adanya dan bagaimana pun dia adanya! Salam kenal dari kami, Kisanak. Namaku Pranata Kumala dan ini istriku, Ambarwati "

Melihat sikap pemuda yang benar-benar sopan dan tidak terasa dibuat-buat, membuat amarah Jartiko Seda pada Ambarwati agak berkurang.

Dia berkata, "Hmmm... namaku Jartiko Seda. Dan ini empat orang anak buahku. Julukan kami adalah, Lima Clurit Berbisa!"

"Sekali lagi... salam kenal dari kami berdua untuk Lima Clurit Berbisa "

"Sikapmu santun sekali, Pranata Kumala. berlainan

sekali dengan istrimu yang cerewet itu...." kata Jartiko Seda sambil melirik Ambarwati.

Yang dilirik mendengus kesal.

"Itu urusanku! Sikapmu yang sok tahu!" Tiba-tiba Jartiko Seda tertawa.

"Jagat Dewa Batara! Rupanya ada pula wanita yang begitu judes dan cerewetnya!"

"Ki Sanak.   " kata Pranata Kumala untuk  memotong

istrinya yang nampak sudah siap lagi untuk meledak. "Sekali lagi maafkan istriku. Hmm... ada apakah ge-

rangan kalian semua berada di sini? Tadi kudengar, kalian hendak pergi ke Lembah Setan? Ada apakah gerangan, itu kiranya bila kami boleh tahu?!"

"Hahaha... mengapa tidak? Kami memang bermaksud pergi ke Lembah Setan, untuk memenuhi undangan dari Resi Widia Soka. "

"Undangan?"

"Ya, saat ini Resi Widia Soka mengundang para jagojago rimba persilatan untuk datang ke Lembah Setan."

"Ada apakah gerangan?"

"Resi Widia Soka hendak meresmikan Perguruan silatnya, Partai Rajawali Sakti."

"Dan dia meminta restu dari semua para jago di rimba persilatan?" "Betul, Pranata."

"Kalau begitu... apakah dia mengundang Madewa Gumilang?" tanya Pranata Kumala yang tiba-tiba berharap bisa bertemu dengan ayahnya.

"Pendekar Bayangan Sukma? Ah, sudah tentu dia diundang."

"Jartiko Seda... apakah aku dan istriku boleh turut hadir di Lembah Setan?"

"Hei, agaknya kau punya urusan dengan Madewa Gumilang? Ada apakah hingga kau merasa perlu bertemu dengan manusia dewa itu?" tanya Jartiko Seda sambil menatap Pranata Kumala lekat-lekat.

"Maafkan aku, Jartiko Seda. Tidak, aku tidak punya urusan apa-apa dengan Madewa Gumilang. Aku... ya, ya... aku hanya ingin mengenal siapakah dia sebenarnya?"

"Kau belum pernah mengenal Pendekar Budiman itu?"

"Sama sekali belum. Itulah sebabnya aku sangat berharap untuk bisa bertemu dengannya."

"Boleh saja kau turut ke Lembah Setan. Lagi pula, biarpun kau ada urusan dengan Madewa Gumilang, itu bukan urusanku. Namun sampai sejauh ini yang kudengar, pendekar itu tetaplah seorang pendekar budiman yang selalu memerangi kejahatan. "

"Terima kasih atas kesediaanmu, Jartiko Seda. "

"Kakang Jartiko!" terdengar suara dari salah seorang anak buahnya.

"Hmm ada apa, Lamtoro?"

"Biasanya... yang diundang oleh seorang pendekar, pasti sedikit banyaknya dia memiliki kepandaian. Hmm... apakah patut kedua orang ini turut hadir, sementara kita tidak tahu kepandaian apa yang dimiliki oleh keduanya " "Lalu maksudmu?"

Lamtoro melirik Pranata Kumala dan Ambarwati. "Aku agak sangsi apakah mereka memiliki kepan-

daian yang patut dibanggakan. "

"Anjing buduk!" terdengar geraman Ambarwati. "Bilang saja kau ingin menguji kami! Bagus, cabut senjatamu! Biar aku yang layani!"

"Hahaha...." Lamtoro terbahak. "Apakah kau tidak takut cidera bila tangan atau kakimu yang mulus itu terlupa?"

"Bangsat! Atau kau yang akan kubuat lumat dan menderita! Cabut senjatamu!" bentak Ambarwati semakin panas.

Lamtoro tertawa. Lalu dia maju selangkah dengan sikap pongah.

Ambarwati pun melangkah dengan gagah.

Pranata Kumala yang bermaksud untuk menghindari uji tanding ini cuma bisa mengangkat bahunya. Dia jelas hafal sekali akan perangai istrinya. Dan bila dia menahan, istrinya bisa kecewa. Maka dibiarkan saja istrinya menerima tantangan Lamtoro.

Bila nanti terjadi hal yang tidak diinginkan, baru dia akan turun tangan.

Di samping itu, Pranata Kumala pun hendak memberi pelajaran pada Lamtoro. Biarlah dia lakukan itu melalui tangan istrinya.

"Benar kau tidak akan menyesal bila kulitmu terluka, Manis?" terdengar suara Lamtoro penuh ejekan yang membuat Ambarwati semakin marah dan jengkel. Dia bertekad untuk mengalahkan Lamtoro.

"Atau kau yang sedang menyesali kenapa berani menantangku, hah?!"

Wajah Lamtoro merah padam. Lalu dia pun tak mau berbasa-basi lagi. Dengan satu teriakan dia pun menerjang dengan pukulan lurus ke muka. Ambarwatipun telah bersiap menghadapi laki-laki itu.

Begitu tangan Lamtoro mengarah padanya. Bersamaan dengan itu pula Ambarwati menggerakkan tangan kanannya ke wajah Lamtoro.

Lamtoro terkejut. Serentak dia menarik tangannya kembali untuk menangkis pukulan dari  Ambarwati. Dan pertahanannya pun langsung terbuka. Pukulan pancingan yang dilepaskan Ambarwati mengena.

Dia pun mengirimkan satu jotosan ke perut Lamtoro yang tidak menyangka sama sekali hal itu.

Des!

Pukulan itu mengenai sasarannya.

Wajah Lamtoro memerah. Karena belum satu jurus dia sudah terkena.

"Setan! Terimalah pembalasanku!" serunya sambil menyerang kembali. Kali ini lebih cepat, gencar dan berbahaya.

Ambarwati sendiri tidak mau dirinya dijadikan sasaran serangan-serangan dari Lamtoro. Dia pun menghindar dan menangkis. Dan membalas pula dengan serangan-serangan yang tak kalah hebatnya.

Dengan ditonton lima pasang mata, keduanya pun berlaga memamerkan kepandaian mereka. Pranata Kumala berdecak kagum melihat istrinya bisa mengimbanginya, bahkan setelah beberapa jurus berlalu, nampak istrinya berada di atas angin.

Dan kembali pukulannya mengenai sasarannya. Des!

Lamtoro terhuyung ke belakang beberapa tindak. Dia tidak menyangka gadis itu dapat bergerak demikian cepatnya.

Dia menggeram marah dan tangannya bergerak ke pinggang, mencabut cluritnya.

Ambarwati mengejek. "Hhh! Rupanya cuma begitu saja kepandaian ilmu tangan kosongmu, Lamtoro! Bah, kau tak ubahnya seperti tikus yang ketakutan menghadapi seekor kucing! Ayo majulah kau dengan cluritmu itu!"

Lamtoro menggeram marah diejek demikian. Maka dia pun menjerit seraya menerjang dengan cluritnya.

Pranata Kumala hanya berseru dengan sikap tenang, "Hati-hati, Rayi!"

Clurit itu berkelebat ke sana ke mari dengan ganas.

Sasarannya bagian-bagian tubuh yang berbahaya.

Ambarwati sendiri menjadi kewalahan menghadapi serangan-serangan clurit itu. Tiba-tiba dia bersalto. Dan bersamaan dengan itu Lamtoro menderu maju dan siap menyabetkan cluritnya ke perut Ambarwati.

Namun satu pertunjukkan permainan ilmu pedang diperlihatkan Ambarwati. Masih bersalto di udara, dia mencabut pedangnya. Dan menangkis sambaran clurit Lamtoro.

Lamtoro yang tidak menyangka gadis itu bisa berbuat hal yang menakjubkan tadi, menjadi terkejut. Clurit di tangannya terlepas.

Tiba-tiba tubuh Ambarwati berputar. Dan kakinya menyambar tubuh Lamtoro hingga ambruk ke bumi.

Ambarwati sendiri hinggap di tanah dengan ringannya. Dan bersamaan dengan kedua kakinya menjejak tanah tiga orang teman Lamtoro serentak mengurungnya.

Melihat hal itu, Pranata Kumala pun tak mau kalah. Dia bersalto dua kali dan hinggap di depan Ambarwati.

Kedua tangannya bersedekap di dada. Dia tersenyum.

"Apakah pertandingan uji coba ini masih akan dilakukan?" tanyanya dengan suara tenang.

Ketika ketiga orang itu hendak membuka mulut terdengar suara dari Jartiko Seda.

"Pertandingan uji coba selesai!" serunya sambil bertepuk tangan. "Aku kagum dengan kepandaian istrimu bermain pedang, Pranata kumala! Biarpun dia cerewet ternyata ilmu kepandaiannya cukup tinggi!"

"Jartiko... bagaimana dengan anak buahmu yang mengurung kami?"

Jartiko Seda mengangkat tangan kanannya. "Biarkan mereka!"

Ketiga anak buahnya menurut. Padahal mereka jengkel karena Lamtoro berhasil dikalahkan oleh gadis yang nampak lemah itu. Yang dikira mereka hanya bisa membentak dan cerewet saja.

"Bagaimana, Jartiko? Syarat yang diajukan  oleh anak buahmu tadi telah kami penuhi? Apakah kami boleh ikut serta ke Lembah Setan? Ataukah masih ada syarat lain yang harus kami penuhi?"

Jartiko Seda tertawa. Dia dapat mengira-ngira kepandaian dari Pranata Kumala. Melihat ketenangannya dan dia bergerak, itu sudah menandakan dia seorang pemuda yang berisi.

Lagipula, untuk apa menjalin permusuhan dengan mereka. Tadi dia hanya jengkel saja melihat ulah Ambarwati yang begitu tidak sedap di matanya.

"Baiklah... kalian boleh ikut kami ke Lembah Setan. Dan ingat, pertandingan uji coba tadi bukanlah merupakan suatu syarat. Tapi sekedar perkenalan antara kami dengan kalian berdua!"

"Perkenalan yang berbahaya!" tersenyum Pranata Kumala.

Jartiko Seda menyuruh Lamtoro untuk meminta maaf pada keduanya. Setelah itu, mereka pun segera berangkat menuju Lembah Setan.

Karena nanti malamlah purnama pertama di bulan ini.

*** 7

Suasana Lembah Setan malam itu begitu ramai sekali. Di setiap penjuru terdapat obor-obor yang cukup banyak menerangi sekitar lembah itu.

Tamu-tamu yang hadir terdiri dari orang-orang jago rimba persilatan. Mereka semua saling tawa dan gembira bersua dengan teman dan sahabat. Permusuhan malam itu seakan tidak nampak. Meskipun masih ada beberapa orang yang secara diam-diam tidak menyukai musuhnya pun hadir di sana.

Pranata Kumala dan istrinya yang hadir bersama Lima Clurit Berbisa pun menikmati suasana di tempat itu. Tamu-tamu sudah dihidangkan makanan dan minuman.

Tiba-tiba meloncat satu sosok tubuh ke atas panggung. Sosok itu berpakaian biru-biru dengan topeng berwarna biru pula.

Dia adalah Pati Mukti.

"Para saudari saudaraku sekalian, malam ini... kita berkumpul di sini, untuk memenuhi undangan dari guru kami, Resi Widia Soka. Di mana dalam kesempatan ini, beliau hendak meminta restu dari saudarasaudara sekalian akan berdirinya Perguruan silat yang beliau beri nama Partai Rajawali Sakti!"

Hadirin bertepuk tangan. Bergemuruh.

Dari tempatnya berdiri, Pati Mukti melihat dua orang berjalan menuju tempat itu.

Lalu dia pun berseru, "Kepada Madewa Gumilang dan istrinya Ratih Ningrum, kami atas nama Partai Rajawali Sakti mengucapkan selamat datang!"

Dua orang yang datang itu memang Madewa Gumilang dan istrinya Ratih Ningrum. Orang-orang serentak berdiri dan menjura hormat pada keduanya. Mereka pun mempersilahkan Madewa dan istrinya untuk duduk di depan, tak begitu jauh dari panggung yang megah itu.

Ambarwati memegang lengan suaminya, "Kakang... ayah dan ibu sudah datang "

"Iya, Rayi... ingin sekali aku mendekati mereka "

Terdengar lagi suara Pati Mukti, "Untuk mempersingkat waktu, kami minta kepada Resi Widia Soka, untuk tampil di atas panggung ini dan memberikan katakata sambutannya!"

Resi Widia Soka yang masih berada di dalam pun keluar dengan langkah gagah. Orang-orang berdiri hendak melihat wajah Resi Widia Soka. Namun mereka menjadi kecewa karena resi itu pun mengenakan topeng berwarna biru. Dia mengenakan jubah berwarna merah. Dan di tangannya ada sebuah tongkat yang nampak sudah tua sekali.

Lalu dia pun naik ke atas panggung.

"Saudara-saudaraku sekalian...." serunya bergema, merobek malam. "Saat purnama telah datang dan kini menghias di kepala kita, kita berkumpul di Lembah Setan! Sebelumnya kuucapkan selamat datang kepada Pendekar Bayangan Sukma, Madewa Gumilang dan istrinya! Juga Ki Prasewari atau si Tangan Siluman. Juga Praja Sewu Ketua Perguruan Naga Selatan! Juga kepada para pendekar yang telah memenuhi undanganku ini! Saya juga minta maaf, bila ada pelayanan kami yang kurang berkenan di hati para pendekar! Tentunya kami tidak akan menyia-nyiakan kesempatan untuk memohon restu dari para pendekar semua! Dan seperti biasanya bila ada yang hendak mendirikan sebuah Perguruan silat, tentunya banyak mengundang tanya dan keingin-tahuan di hati sampai sejauh mana kebisaan dan kelihaian orang-orang yang berada dalam Perguruan silat yang hendak berdiri itu. Nah, kami pun tentunya akan mengalami hal yang sama! Di sini, di mana saya berdiri telah tersedia panggung tinggi dan lebar. Tentunya kita semua mengerti untuk apa panggung ini dibuat dan disediakan! Bila hidangan makan dan minum sudah dicicipi semua, maka saya atas nama ketua Partai Rajawali Sakti, memohon sedikit pelajaran dari beberapa pendekar untuk mengajari kami bagaimana cara bertarung yang baik!" kata Resi Widia Soka alis Banyu Wiro sambil menjura dan kata-katanya yang terakhir disambut dengan suara gemuruh yang gegapgempita.

Saat berdiri di atas panggung itu, mata Banyu Wiro mengejar ke segala penjuru. Matanya mencari orangorang durjana yang telah membunuh kedua orang tuanya. Dia sungguh tidak sabar menanti pelaksanaan semua ini. Namun begitu tidak dilihatnya Tiga Golok Maut yang telah menyebarkan malapetaka, Banyu Wiro mendesah panjang.

Masih lamakah pencariannya terhadap manusiamanusia durjana itu?

Tiba-tiba Praja Sewu berdiri dan melenting dua kali di udara lalu hinggap di atas panggung. Di depan Resi Widia Soka.

Praja Sewu menghadap kepada hadirin.

"Hhh! Aku Praja Sewu atau si Naga Selatan. Berdiri di panggung ini sebagai orang pertama yang ingin menjajaki ilmu kepandaian milik Partai Rajawali Sakti!"

Suaranya disambut dengan tepukan tangan yang cukup keras.

Resi Widia Soka pun tersenyum di balik topeng birunya.

"Praja Sewu... tentu saja kami akan menyambutmu dengan suka hati. Nah, silahkan pilih lawan yang ber-

diri berjejer di sebelah kiri itu!" Praja Sewu melihat ada tujuh orang laki-laki bersedekap di dada dengan memakai pakaian biru-biru dan topeng berwarna biru pula. Hanya angkin yang melilit di pinggang mereka berlainan.

"Silahkan, pilih, Praja Sewu... sebutkan saja warna angkin yang ada di pinggang mereka. "

Praja Sewu menyeringai mengejek.

"Aku tidak akan memilih mereka sebagai lawan!" katanya dengan congkak.

"Hmm lalu siapa lawan yang kau kehendaki, Praja

Sewu...." kata Resi Widia Soka yang mulai tidak suka dengan sikap sombong Praja Sewu. Dia membenarkan bila muridnya Pati Mukti begitu amat mendendam pada Praja Sewu.

Praja Sewu menghadap kepada hadirin kembali. "Para pendekar yang berada di sini,  aku telah mene-

tapkan dan memilih lawanku sendiri. Yaitu    Resi Widia

Soka sendiri!"

Gemparlah hadirin yang berada di sana. Bagi seorang guru ditantang di hadapan banyak orang dan di depan para muridnya, adalah bagian dari hidup dan mati. Dia lebih baik memilih mati daripada dipecundangi.

Madewa Gumilang sendiri mendesah melihat kesombongan dari Praja Sewu.

Di balik topeng birunya, Resi Widia Soka memerah wajahnya. Dia tidak menyangka Praja Sewu akan memilihnya sebagai lawan. Namun tantangan sudah dikumandangkan, berarti mau tidak mau dia harus melayani tantangan dari Praja Sewu.

Resi Widia Soka pun bersiap. Dia menjura di depan Praja Sewu. Suaranya masih tetap bersahabat dan berwibawa.

"Praja Sewu... agaknya ini merupakan suatu penghargaan untukku. Nah, buat apa kita menunggu waktu lagi? Silahkan! Kalangan sudah di buka, dan kita siap untuk berlaga!"

Praja Sewu pun tak mau membuang waktu lagi. Dia segera membuka jurus naganya. Dan langsung menyerang dengan kekuatan penuh. Pikirnya dengan sekali gebrak dia mampu untuk menjatuhkan Resi Widia Soka.

Namun Resi Widia Soka atau Banyu Wiro adalah murid dari Pengemis Tua Bertongkat Sakti. Dia hanya menggeser tubuhnya ke kiri dan balas menyerang dengan kecepatan yang sulit diikuti oleh mata biasa.

Praja Sewu tercekat kaget. Dan memaki-maki dia menangkis serangan balasan itu.

Des!

Dia dapat merasakan betapa besarnya tenaga dalam yang dimiliki oleh Resi Widia Soka. Tangannya terasa agak ngilu dan kesemutan. Hal ini membuat geram.

"Mengapa berhenti, Praja Sewu!" kata Resi Widia Soka tetap dengan suara bersahabat.

"Bangsat! Kau mau menjual lagak di depanku, hah?!" bentaknya seraya menyerang kembali.

Kali ini gerakannya lebih dahsyat dan berbahaya. Namun dengan mudahnya semua serangan itu berhasil dielakkan, bahkan berkali-kali Resi Widia Soka menyerangkan pukulannya.

Des! Des!

Dua pukulan beruntun membuat tubuh Praja Sewu terhuyung. Dan dengan satu tendangan memutar, tubuh itu pun terpental dari atas panggung.

Hadirin bertepuk tangan. Kagum dengan kelincahan dan kehebatan Resi Widia Soka.

Resi itu menjura.

"Maafkan kelancangan saya, para pendekar! Karena bagi yang telah jatuh dari panggung ini barulah dikatakan kalah! Nah, siapa kiranya yang hendak menguji kami, silahkan naik ke panggung!"

"Kami bertiga yang akan memberi pelajaran padamu, Topeng jelek!" terdengar suara bentakan itu bernada berat.

Resi Widia Soka melihat tiga orang laki-laki berwajah seram baru saja datang ke tempat itu. Di pinggang ketiga laki-laki itu terdapat sebilah golok yang besar dan tajam. Mendadak dada Resi Widia Soka berdebar melihatnya.

Salahkah penglihatannya? Tidak, jelas tidak! Mereka adalah Tiga Golok Maut yang telah menyebar malapetaka pada keluarganya. Sampai kapan pun ketiga wajah itu akan terus diingatnya, bahkan takkan pernah terhapus meskipun dia sudah berusaha untuk menghapusnya!

"Akhirnya kalian datang juga untuk mengantarkan nyawa!" Desis Resi Widia Soka dalam hati. Namun sudah tentu dia tidak menampakkan sikap berubah.

"Hmm... agaknya ada tamu lagi yang baru datang. Selamat datang di Lembah Setan ini, Ki Sanak bertiga!" kata Resi Widia Soka sambil menjura hormat, namun di dadanya berdebar rasa tidak sabar dan marah yang membangkitkan dendamnya.

"Hhh!" salah seorang mendengus. "Salam kenal dari kami, Tiga Golok Maut!"

"Benar dugaanku, mereka Tiga Golok Maut yang telah mencabut nyawa ayahku dan memperkosa ibuku. Agaknya Dewata mengizinkan aku untuk membalas dendam."

"Hahaha... salam kenal dari kami pula, Tiga Golok Maut!"

"Tadi kau menantang para hadirin untuk naik ke atas panggung, bukan? Nah, kami akan naik ke sana dan akan menghajar orang-orang Partai Rajawali Sakti taik kucing ini!" seru Murka Tungga dengan sikap yang sombong membuat orang-orang yang hadir menjadi tidak suka padanya.

"Karena kalian bertiga... biarlah anak muridku yang akan melayani kalian bermain-main! Nah, berilah mereka petunjuk yang teramat berharga!" kata Resi Widia Soka sambil mengangkat tangan kanannya.

Dan dari tujuh orang berpakaian biru dan bertopeng biru yang berdiri di sebelah kirinya itu, tiga orang bersalto ke atas panggung dan hinggap di dekat Resi Widia Soka.

Sementara itu Madewa semakin kagum melihat sikap Resi Widia Soka yang tetap bersahabat. Diam-diam Madewa ingin tahu wajah siapa di balik topeng hitam itu. Dan secara diam-diam pula dia mengerahkan ilmu Pandangan Menembus Sukma-nya, ilmu yang bisa melihat ribuan kilometer dan menembus gunung sekali pun.

Madewa melihat seraut wajah tampan yang berada di balik topeng biru itu. Bahkan sekilas tidak nampak sebagai seorang resi yang telah bertapa puluhan tahun. Madewa melihat sepasang mata pemuda yang berada di balik topeng biru itu memancarkan sinar aneh. Madewa menduga mata itu memancarkan dendam yang teramat sangat.

Madewa pun jadi mengira-ngira sebenarnya ada apa di balik undangan ini? Dia pun menjadi bersiaga dan berhati-hati.

Dilihatnya tiga orang laki-laki yang bergolok besar itu melompat dengan gagahnya ke atas panggung. Sikap mereka begitu congkak dan meremehkan.

"Hhh! Resi Widia Soka... agaknya kau punya nyali pula untuk mendirikan Perguruan! Apa kau tidak tahu dalamnya lautan dan tingginya langit, heh?!" seru Murka Tungga dengan sombong.

Resi Widia Soka alias Banyu Wiro yang melihat musuh besarnya berada di hadapannya mencoba untuk menahan diri.

Dia tetap berkata dengan suara yang sabar dan bersahabat, meskipun di hatinya sudah dendam bukan main dan ingin segera menghabisi ketiga manusia ini!

"Tiga Golok Maut... bukannya kami congkak, sombong atau ingin dikenal... tetapi kami mendirikan Perguruan ini... untuk menambah jumlah Perguruan silat yang telah ada "

"Dan kau sudah tahu syaratnya, bukan?"

"Kalian sudah berada atas panggung, apa aku belum tahu?"

"Bagus! Dan kepandaian apa yang akan kau perlihatkan kepada kami?"

"Silahkan uji kemampuan para muridku!"

"Hahaha... kau ngeri melihat kehebatan kami, bukan? Sehingga tiga muridmu yang tidak berdosa itu harus kau korbankan?"

"Aku hanya ingin tahu, apakah kau mampu mengalahkan muridku?"

"Hahaha... semudah membalikkan telapak tangan!

Bagaimana bila kau ku pilih sebagai lawan?!"

Resi Widia Soka alias Banyu Wiro sudah ingin mengangguk kepalanya saja. Namun ditahannya. Dia harus menjaga kehormatan ketiga muridnya yang sudah naik di atas panggung.

Lalu dia berkata, "Kalahkan tiga muridku ini. Bila kalian mampu, aku yang akan melayani kalian dan meminta pelajaran dari kalian!" kata Resi Widia Soka tetap dengan suara yang bersahabat.

"Hahaha... begitu pun baiklah. Nah, turunlah kau dari sini, Resi! Atau kakiku yang akan menyepakmu untuk turun?!"

Bukan main geramnya Banyu Wiro. Dia sudah ingin menghajar saja. Namun ditahannya. Lalu dia pun turun dari atas panggung.

Pertarungan di atas pun dimulai.

***

8

Tiga Golok Maut langsung menggebrak dengan hebat menyerang tiga murid dari Partai Rajawali Sakti. Gerakan mereka hebat dan kejam.

Namun tiga murid yang mereka hadapi adalah tiga murid pilihan dari Partai Rajawali Sakti. Yang tentu saja tidak ingin membuat malu ketua mereka.

Melihat serangan-serangan yang mereka lancarkan gagal. Tiga Golok Maut pun menderu menyerang kembali. Lebih ganas dan dahsyat.

Masing-masing telah mendapatkan lawannya.

Murka Tungga mengeram marah karena lawannya seakan mempermainkannya dengan melompat ke sana ke mari menghindari serangannya. Dia makin menggebrak cepat.

"Bocah tengik! Kubuat lumat kau!" geramnya marah. Begitu pula dengan Moro dan Asena. Kedua lawannya pun seakan memperlihatkan ketrampilan mereka berkelit. Hingga dengan susah payah Moro dan Asena

harus berjuang untuk menjatuhkan keduanya.

Belum lagi ketika lawan-lawannya kemudian membalas. Membuat Tiga Golok Maut sadar akan kehebatan lawan-lawannya.

Tetapi mendadak saja Murka Tungga mencabut goloknya. Dan menyerang dengan golok terhunus. Menghadapi serangan-serangan golok itu, kali ini lawannya agak kewalahan.

Dan tiba-tiba Murka Tungga memekik, goloknya berkelebat dan menyabet dada dari lawannya. Darah menyembur.

Para hadirin terkejut dan memekik. Mereka tidak menyangka Murka Tungga akan berbuat telengas. Padahal ini hanya uji coba antara hadirin dengan Partai Rajawali Sakti.

Begitu pula yang dilakukan Moro dan Asena. Keduanya pun menyabetkan golok mereka ke tubuh lawanlawan mereka.

Pekikan yang menyayat hati terdengar. Darah pertama yang bersimbah di atas panggung itu muncrat membasahi lantai panggung. Sebagian hadirin amat tidak menyukai sikap kejam dari Tiga Golok Maut, karena begitu memandang rendah arti sebuah Perguruan dan sebuah nyawa!

Tiba-tiba melompat satu sosok tubuh tinggi kurus. Sosok itu mengenakan pakaian berwarna putih. Rambutnya diikat ke belakang. Dan wajahnya sudah separuh baya.

Sosok itu berkata dengan nada jengkel pada Tiga Golok Maut.

"Murka Tungga... di mana rasa hatimu begitu kejam menurunkan tangan telengas pada mereka? Bukankah kau tahu... ini hanya uji coba! Bukan untuk bunuh membunuh dan mencari silang sengketa! Kau begitu kejam, Murka Tungga!"

Murka Tungga terbahak.

"Hahaha... Ki Prasewari atau si Tangan Siluman, bila kau tidak menyukai perbuatanku, seharusnya bukan kau yang naik ke panggung sini! Tapi Resi Widia Soka sendiri! Nah mengapa harus kau yang marah, mengapa Resi Widia Soka tidak? Ini menandakan, resi topeng biru itu adalah seorang yang pengecut dan hanya berani dengan mengandalkan tenaga para anak buahnya!"

Di tempatnya, dari balik topengnya wajah Banyu Wiro alias Resi Widia Soka memerah. Namun dia masih berusaha untuk menahan diri. Walau pun dendamnya sudah meletup-letup hebat, namun masih berusaha untuk dikendalikan.

Tetapi dia berdiri.

"Ki Prasewari... ku haturkan rasa hormat dan terima kasihku.... Benar yang dikatakan Murka Tungga tadi. Seharusnya aku yang marah, karena yang mereka bunuh adalah anak buahku. Tapi aku berusaha untuk bersabar, karena aku tak mau undangan ini menjadi undangan berdarah di antara sesama kita. Undangan yang menjadi bibit permulaan dari permusuhan di antara kita!"

"Resi Widia Soka! Bilang saja kau takut! Ayo, tanggalkan topeng jelekmu itu dan hadapi kami!" bentak Murka Tungga mengejek.

Kali ini Banyu Wiro tak bisa mengendalikan marahnya. Dia pun bersalto ke atas panggung.

"Murka Tungga... sebenarnya aku masih memegang paham tamu adalah raja. Tapi kau telah membuatku jengkel. Aku masih berusaha bersabar melihat kau membunuh ketiga anak buahku. "

"Ingat Resi bila kau takut mati, silahkan turun dari

sini!" kata Murka Tungga dengan sikap yang sangat sombong.

Ki Prasewari sendiri sudah teramat geram. Namun karena ketua Partai Rajawali Sakti sendiri sudah turun tangan, maka dia pun meloncat turun.

Dari balik topeng birunya, sepasang mata Banyu Wiro memancarkan sinar dendam yang teramat sangat.

"Murka Tungga... majulah! Kita buktikan, apakah kau pantas menjadi pecundang Partai Rajawali Sakti, atau hanya tiga manusia busuk yang hanya bisa berjual laga!"

Mendengar kata-kata itu, Murka Tungga menggeram marah. Dia pun langsung menyerang dengan hebat. Begitu pula dengan Moro dan Asena. Ketiganya bergabung satu untuk membunuh Resi Widia Soka.

Namun Banyu Wiryo alias Resi Widia Soka adalah murid tunggal dari Pengemis Tua Bertongkat Sakti. Tongkatnya bergerak dengan cepat untuk menangkis serangan-serangan golok yang dilancarkan ketiga manusia itu.

"Hahaha... tongkat penggebuk anjing kau pergunakan untuk melawan kami!" ejek Murka Tungga.

"Ini tongkat untuk menggebuk kalian!"

Suasana uji coba itu kini sudah berubah menjadi arena pertarungan hidup dan mati. Apalagi beberapa pendekar dari golongan hitam yang mulai mabuk, mulai meracau dan mengacau. Hingga para tamu pun menjadi gempar. Tamu yang diganggu oleh tamu yang mabuk, menjadi marah. Hingga terjadilah perkelahian masal yang hebat.

Suara senjata beradu terdengar ramai. Pekikan keras menggema di malam hari.

Darah pun mulai menyembur, membasahi tanah di Lembah Setan.

Di tempatnya Ratih Ningrum berbisik pada suaminya,

"Kanda... agaknya orang-orang ini sudah mulai mabuk. Apakah kita harus diam saja?"

"Tidak, Dinda."

"Lalu mengapa Kanda masih duduk di sini saja?" "Karena tidak ada yang mengganggu kita."

"Jadi Kanda hendak melibatkan diri?"

"Bukan itu maksudku, Dinda. Aku sedang memperhatikan pertarungan antara Resi Widia Soka dengan Tiga Golok Maut. Melihat dari pertarungan itu, kini nampak Resi Widia Soka pun tak kalah kejamnya memainkan tongkat. " "Maksudmu apa, Kanda?"

"Dugaanku... Resi Widia Soka menaruh dendam pada Tiga Golok Maut."

"Berarti ini memang pertarungan maut, Kanda?" "Tepat, Dinda. Tapi aku kagum pada Resi Widia So-

ka... ah, entahlah mana yang sebenarnya... Resi itu tidak mau melibatkan orang-orang yang hadir untuk terlibat pada semua ini. Sehingga dia menunggu saat yang tepat untuk menghadapi Tiga Golok Maut "

"Sekaligus untuk membunuhnya?"

"Benar. Dan... sejak tadi kuperhatikan permainan ilmu tongkatnya. Tiba-tiba saja aku teringat akan permainan tongkat dari si tua pengemis "

"Pengemis Tua Bertongkat Sakti!"

"Tepat, Dinda.... Jurus-jurus yang dimainkan oleh Resi Widia Soka adalah jurus-jurus yang dimiliki oleh Pengemis Tua Bertongkat Sakti!"

"Kalau begitu. ada hubungan apa antara Resi Widia

Soka dengan Pengemis Tua Bertongkat Sakti?"

"Yang pasti... dia adalah muridnya... hei! Awas, Dinda!"

Seru Madewa ketika ada sebilah golok melayang ke arah istrinya. Ratih Ningrum dengan sigap mencabut sepasang pedang kembarnya dan menangkis golok yang melayang tadi.

"Traaaannng!"

Golok itu pun dihantam oleh pedangnya.

Namun mendadak dua sosok tubuh mendekat dan langsung menerjang dengan hebat. Madewa dan istrinya melayani dengan segera.

Namun baru dua jurus berlangsung, dua sosok penyerangnya itu tiba-tiba menjatuhkan diri.

"Ayah! Ibu!" seru keduanya berbarengan.

Madewa dan Ratih Ningrum menghentikan serangannya. Dan tiba-tiba Ratih Ningrum berseru, "Pranata! Ambarwati!"

Penyerang yang tak lain Pranata Kumala dan Ambarwati mengangkat wajahnya. Ratih Ningrum memeluk keduanya dengan hati terharu.

Madewa hanya tersenyum.

Dia melihat jago-jago rimba persilatan sedang bertarung masal. Dan di atas panggung Resi Widia Soka tengah melayani serangan-serangan dari Tiga golok Maut.

Pertarungan mereka begitu hebat, beringas dan berbahaya. Terutama serangan-serangan dari Murka Tungga yang demikian hebat dan bernafsu ingin segera menyelesaikan pertarungan ini.

Namun Resi Widia Soka pun tak kalah hebatnya. Permainan tongkatnya begitu hebat. Menderu. Kadang bergerak bagai baling-baling. Menusuk. Menangkis. Memukul. Dan menotok. Hebat dan cepat.

Penuh tenaga.

"Hari ini kalian harus mampus di tanganku!" geramnya yang diliputi dendam.

"Hhhh! Kau yang akan kulumat, Resi!" seru Murka Tungga.

Dia menyerang lagi Begitu pula dengan Moro dan Asena.

Tiga buah golok tajam bergerak mengurung gerak langkah Resi Widia Soka.

Resi Widia Soka alias Banyu Wiryo pun yang tengah diliputi dendam begitu serangan itu datang kembali, menerjang pula dengan hebat.

"Trok!"

"Trok!"

Berkali-kali tongkatnya beradu dengan golok-golok mereka.

Dan tiba-tiba dia menggerakkan tongkatnya dengan cepat, bagaikan baling-baling. Dan tiba-tiba pula dia menusuk. Des!

Moro yang lengah, termakan tusukan tongkat itu.

Dia terhuyung dengan dada yang teramat sakit.

Melihat hal itu Murka Tungga menjadi marah. Dia menyerang lagi dengan tak kalah hebatnya.

Begitu pula dengan Asena yang geram melihat Moro terkena tusukan tongkat itu.

Namun Banyu Wiryo yang bertekad untuk membalaskan dendam kematian kedua orang tuanya begitu beringas. Dia pun menyerang dengan ganas.

Dan Des! Des!

Tongkatnya menyambar tubuh Murka Tungga dan Asena yang terhuyung kesakitan.

Banyu Wiryo berdiri tegak. Sepasang matanya memancarkan sinar pembunuhan.

"Hhh! Tiga Golok Maut! Selama delapan belas tahun aku menunggu saat-saat seperti ini!" bentaknya. "Masihkah kalian ingat, akan ulah kalian yang telah menyebabkan kematian kedua orangtua ku? Di sebuah rumah kecil di tepi hutan Kalian telah menyiksa ibuku dan memperkosanya! Kalian juga telah membunuh ayahku! Hhh! Kalian pun telah membuat seorang bocah yang berusia tujuh tahun pingsan! Namun bocah itu berhasil diselamatkan oleh seorang kakek yang berjuluk Pengemis Tua Bertongkat Sakti! Dari kakek sakti itulah dia memperoleh pelajaran ilmu silat! Dan dendam yang menyelimuti bocah itu pun makin kuat dan dalam! Hhh! Ketahuilah, Tiga Golok Maut! Kalian tengah berhadapan dengan bocah yang telah kalian buat pingsan! Dan sekarang, bocah itu menuntut balas atas kematian kedua orangtua nya!"

Tangan kiri yang bebas itu, bergerak ke atas. Menarik topeng berwarna biru. Lalu nampaklah seraut wajah tampan di hadapan Tiga Golok Maut.

Tiga Golok Maut terkejut mendengar dan melihatnya. Sudah tentu mereka ingat akan kejadian delapan belas tahun yang lalu. Namun yang tak pernah mereka sangka, bocah yang pingsan itu kini menjadi duri bagi mereka. Dan Murka Tungga amat menyesali sikapnya dulu, mengapa dia tidak bunuh saja bocah itu!

Tetapi sudah tentu sekarang dia hanya tertawa saja. Seolah tidak takut dengan orang yang berdiri di hadapannya.

"Hahaha... rupanya kau bocah yang pingsan itu! Hhh! Punya nyali pula kau untuk menuntut balas kepada kami? Bah! Nyawamu sendiri yang akan melayang di tangan kami!"

"Murka Tungga... dendam itu begitu kuat membelenggu ku! Aku belum puas bila belum membunuh kalian semua! Dan aku yakin, bapa dan ibuku pun tak puas bila aku belum membunuh kalian! Mungkin arwah mereka menjadi penasaran! Nah, kini terimalah kematian kalian di Lembah Setan ini!"

Sesudah berkata begitu Banyu Wiryo pun menderu maju untuk menyerang. Para anak muridnya teramat terkejut melihat wajah guru mereka yang masih muda dan tampan.

Pikir mereka, gurunya sudah berusia setengah baya karena dia memakai gelar resi. Namun sekarang mereka jadi heran karena melihat guru mereka yang jauh dari usia tua.

Tiga Golok Maut pun segera menyambut serangan dari Banyu Wiryo yang menyerang dengan hebat.

Di tempatnya Madewa pun mendesah. "Benar dugaanku... resi itu menaruh dendam pada Tiga Golok Maut. Dan dia seorang yang masih muda. Murid dari Pengemis Tua Bertongkat Sakti "

Di atas panggung, Tiga Golok Maut terdesak hebat. Ke mana pun mereka menghindar, tongkat di tangan Banyu Wiryo terus mengejar.

Tiba-tiba terdengar seruan kesakitan dari mulut Moro. Menyusul pula Asena.

Dan dua tubuh itu pun ambruk. Dengan dada bersimbah darah. Nyawa keduanya pun melayang.

Melihat hal itu Murka Tungga menggeram marah. Dia menerjang. Namun serangannya terasa sia-sia, karena semuanya berhasil dipatahkan oleh Banyu Wiryo. Bahkan kini ganti dia yang terdesak hebat oleh serangan-serangan Banyu Wiryo.

Berkali-kali tubuhnya terkena sasaran tongkat Banyu Wiryo. Hingga satu ketika satu sodokan keras masuk ke perutnya.

Des!

"Heik!" Tubuh Murka Tungga terhuyung ke belakang dengan menahan rasa sakit yang teramat sangat. Dan dia muntah darah.

"Murka Tungga! Kini terimalah ajalmu!" seru Banyu Wiryo. Lalu sambil mengayunkan tongkatnya.

Murka Tungga hanya memejamkan matanya. Karena tak mampu lagi untuk bangun.

Namun tiba-tiba Banyu Wiryo merasakan satu benturan yang cukup kuat menerpa tongkatnya. Dan tubuhnya pun terhuyung ke belakang.

Ketika dia berdiri tegak, di hadapannya telah berdiri satu sosok berjubah putih. Dan tersenyum arif dan bijaksana.

Madewa Gumilang! Dia tadi yang memapaki serangan dari Banyu Wiryo.

"Madewa!" geram Banyu Wiryo. "Minggirlah, jangan ikut campur urusanku!"

"Resi Widia Soka "

"Namaku Banyu Wiro!" "Banyu Wiryo... maafkan kelancanganku ini yang menghalangi seranganmu."

"Nah, kalau begitu minggirlah!"

"Banyu... seorang pendekar pantang membunuh lawannya yang sudah tak berdaya "

"Ini urusanku!"

"Sebagai murid tunggal dari Pengemis Tua Bertongkat Sakti, tentunya amat menjunjung tinggi nilai kesatriaan "

"Madewa... aku teramat menaruh hormat dengan nama besarmu. Dan ku mohon... janganlah kau mengganggu urusanku ini "

"Banyu Wiryo... aku tahu kau sedang diliputi dendam yang teramat menyakitkan. Namun perlu kau ingat, lawanmu sudah dalam keadaan lemah dan tak berdaya. Apakah kau masih tega untuk membunuhnya?"

Banyu Wiryo mendesah. "Madewa... dulu pun ibuku sudah dalam keadaan tak berdaya. Namun mereka memperkosanya hingga dia bunuh diri. Dia pun menempeleng ku hingga pingsan. Bapakku pun di bunuh oleh mereka. Apakah aku harus berbelas kasihan padanya? Tidak, Madewa! Dendam ini begitu kuat melekat di hatiku! Aku harus membunuhnya!"

Banyu Wiryo pun menerjang kembali ke arah Murka Tungga. Namun, lagi-lagi Madewa menahannya.

Kini dia berbalik pada Madewa dengan geram.

"Aku telah bersumpah, barang siapa yang menghalangi perbuatanku, harus kubunuh! Nah, bersiaplah, Madewa!"

"Sadarlah, Banyu Wiryo. Dendam tak akan tuntas bila kau lampiaskan dengan kekejaman!"

"Perduli setan dengan kau, Madewa! Tahan seranganku!" seru Banyu Wiryo seraya menerjang dengan tongkatnya.

Mau tak mau Madewa pun harus melayaninya. Dengan jurus Ular Meloloskan Diri dia terhindar dari serangan yang berbahaya itu.

"Madewa... aku tahu kau pendekar yang sakti. Namun aku pun punya jurus andalan warisan dari guruku! Nah, terimalah Pukulan Menghancurkan Gunung ini!"

Lalu terdengar suara deruan tongkat yang cukup keras. Suaranya bagaikan ribuan tawon yang datang. Menderu dan berbahaya.

Madewa pun mencoba memapakinya dengan jurus Tembok Menghalau Badai yang dipadukan dengan pukulan Angin Salju. Ketika terjadi bentrokan, terdengar suara bagaikan sebuah ledakan.

"DUAAAAR!"

Madewa terhuyung beberapa tindak. Dia merasa satu gempuran yang teramat hebat yang tengah menerpanya. Sementara Banyu Wiryo sendiri masih tetap berdiri tegak tak kurang suatu apa.

"Maafkan aku, Madewa... aku akan tetap membunuhmu bila kau menghalangi niatku ini "

"Sadarlah Banyu... tak ada gunanya kita bertempur. Bukankah kau bisa memaafkan Murka Tungga atas kesalahannya?"

"Tidak sedikit pun! Dendam ini harus kubalas sampai tuntas! Dan aku tak mau kedua orang tuaku menjadi penasaran dan mengutukku."

"Banyu, arwah yang sudah mati tak akan bisa menyatu lagi dengan kehidupan di dunia ini. Jika arwah kedua orang tuamu muncul... itu adalah jelmaan iblis belaka!"

"Diam kau, Madewa! Kau telah menjadi penghalang bagiku, dan kau harus kubunuh!" seru Banyu Wiryo sambil menerjang kembali dengan Pukulan Menghancurkan Gunung.

Madewa masih mencoba untuk menasehati dan meredam kemarahan dari Banyu Wiryo. Namun usahanya gagal dan sia-sia. Madewa pun tak mau dirinya dijadikan sasaran pukulan yang berbahaya itu.

Tak ada jalan lain. Dia pun bersalto ke belakang. Sambil bersalto itu dia merangkum kedua tangannya di dada, hingga mengeluarkan asap berwarna putih.

Itulah Pukulan Bayangan Sukma yang akan dilancarkan oleh Madewa. Sebenarnya Madewa tidak mau mengeluarkan pukulan andalannya. Namun dia pun tak mau bila Banyu Wiryo terus menerus diliputi dendam.

Namun di luar dugaan Madewa, Banyu Wiryo yang tengah menyerangnya tiba-tiba berbalik dan menghantamkan pukulannya ke Murka Tungga yang langsung kelojotan dengan tubuh hancur dan mampus seketika.

Banyu Wiryo tersenyum puas. "Mampuslah kau, Murka Tungga!"

"Banyu... betapa kejamnya kau!" seru Madewa. "Persetan dengan kau, Madewa!" serunya seraya me-

nyerang Madewa kembali. Dan Madewa pun tak mau bertindak tanggung lagi.

Ketika pukulan Banyu Wiryo hampir mengenai sasarannya, bersamaan dengan itu dilepaskannya Pukulan Bayangan Sukmanya.

Kembali terdengar ledakan. Dan tubuh Banyu Wiryo pun hancur, lalu mati.

Madewa mendesah panjang. Baginya Banyu Wiryo memang lebih baik mati daripada hidup penuh dendam dan bisa menimbulkan kekacauan.

Madewa lalu berseru keras, menghentikan pertarungan yang terjadi di Lembah Setan. Para jago itu pun berhenti bertempur. Mereka segan pada Madewa Gumilang. Dan satu persatu pun meninggalkan tempat itu.

Madewa sendiri berjalan mendekati istri, putra dan anak menantunya. Dia mengajak Ratih Ningrum untuk kembali ke Perguruan Topeng Hitam. Ratih Ningrum yang masih rindu pada putra dan anak menantunya, mengajak keduanya kembali.

"Maafkan kami Ibu... kami masih akan meneruskan petualangan kami. Seperti yang dulu ibu lakukan bersama Ayah," kata Kumala. Lalu dia pun mengajak istrinya untuk meninggalkan tempat itu.

Madewa pun mengajak istrinya untuk kembali ke Perguruan Topeng Hitam.

Murid-murid Partai Rajawali Sakti pun segera menguburkan mayat-mayat yang ada di sana. Juga jasad guru mereka.

Pati Mukti pun mengambil alih pimpinan Partai Rajawali Sakti dan memimpin partai itu untuk mengenang guru mereka, Resi Widia Soka alias Banyu Wiryo.

SELESAI



No comments for "Serial Pendekar Bayangan Sukma: 12 Undangan Berdarah"