Serial Pendekar Bayangan Sukma: 11 Pertarungan di Gunung Tengkorak


11 Pertarungan di Gunung Tengkorak

1

Di ujung selatan pulau Jawa, ada sederetan pegunungan. Jumlahnya amat banyak. Dan di antara pegunungan itu, ada sebuah gunung yang teramat sunyi. Yang tak pernah dijamah oleh manusia.

Gunung itu angker dan menyeramkan. Sekilas bila dipandang dari kejauhan, nampak mirip seperti tengkorak. Sehingga orang-orang menamakan gunung itu, Gunung Tengkorak.

Namun sejauh ini, belum ada seorang pun yang terdengar berani tinggal dan menempati gunung itu. Karena mereka yakin akan keangkeran Gunung Tengkorak.

Tetapi ada tiga orang pemuda desa yang tidak percaya akan keangkeran Gunung Tengkorak. Mereka dengan pongah dan sombongnya berkata hendak tinggal di sana

"Kalian sungguh-sungguh?" tanya kepala desa di suatu pagi ketika ketiga pemuda itu tengah bersiap untuk pergi dan tinggal di Gunung Tengkorak

"Jangan kuatir, Ki Lurah," kata yang bertubuh besar dengan kumis melintang. Kalau diperhatikan dengan seksama dia berwajah tampan. Namun bila diperhatikan sekilas nampak seperti pemuda berandalan. Pemuda itu bernama Baskoro, usianya kira-kira

24 tahun. "Kami tidak percaya dengan keangkeran Gunung Tengkorak."

"Jangan terlalu sombong, Baskoro. Kau masih muda. Belum banyak memakan asam garam kehidupan," kata Ki Lurah Sangsoko terus memperingatkan.

"Tetapi kalau asam dan garam dapur, aku sering melakukannya, Ki Lurah!" balas Baskoro dengan nada mengejek, sambil tertawa.

Kata-katanya disambut tawa pula oleh kedua temannya. Suseno dan Randumoko. Suseno bertubuh besar pula, mirip dengan Baskoro. Tetapi ia tidak memiliki kumis setebal Baskoro. Usia Suseno pun kirakira sama dengan Baskoro.

Sedangkan Randumoko seorang pemuda yang bertubuh kurus. Wajahnya tirus cekung dengan kedua mata yang seakan mengantuk. Dari bentuk dagunya yang lancip, menandakan dia seorang laki-laki yang licik. Randumoko berusia lebih tua dua tahun daripada kedua temannya.

Sebenarnya Ki Lurah Sangsoko tidak heran dengan sikap pongah dan sombong ketiga pemuda itu. Mereka memang terkenal sebagai tukang ribut di desa. Kerja mereka hanya berkelahi, mabuk-mabukan dan mencuri kecil-kecilan.

Tentunya dengan kenekatan mereka untuk pergi dan menetap di Gunung Tengkorak, bukannya untuk menyelidiki keadaan Gunung Tengkorak, tetapi agar dibilang jago dan digjaya.

Cuma Ki Lurah Sangsoko amat menyayangkan ketergesaan mereka. Karena sebenarnya Ki Lurah Sangsoko telah mendengar kabar, kalau Gunung Tengkorak didiami oleh setan yang amat jahat!

Ketika dia memberitahu hal itu kepada tiga pemuda tadi, mereka hanya tertawa.

"Biarpun seribu setan jahat akan menghadang dan mengganggu kami, akan kami ganyang mereka!" ujar Baskoro sambil menepuk dada. Di pinggangnya terselip sebatang golok besar.

"Kalau perlu, kami akan menangkapnya," lanjut Suseno.

"Atau... bila setannya setan perempuan, kami akan menidurinya dengan kehangatan yang luar biasa... hahaha!" sambung Randumoko sambil terbahak. Di samping jengkel dan marah yang luar biasa  karena kesombongan ketiga pemuda itu, Ki Lurah Sangsoko juga merasa kasihan. Dia menganggap, ketiganya semata-mata untuk menunjukkan bahwa mereka berani dan jagoan. Tak ada kesan sedikit pun kalau mereka memang benar-benar hendak menyelidiki kea-

daan Gunung Tengkorak.

Begitu pula dengan sebagian penduduk yang hadir di sana. Mereka juga jengkel dan kasihan pada ketiga pemuda itu. Namun sebagian besar diam saja. Karena mereka juga ingin memberi pelajaran kepada ketiganya agar tidak menjadi keras kepala dan sombong.

"Tak sedikit pun kalian ingin mengurungkan niat kalian?" tanya Ki Lurah Sangsoko lagi.

"Tidak, Ki Lurah! Kami bertiga sudah mantap untuk melakukannya!" kata Baskoro mewakili kedua temannya.

"Benar?"

"Ya!" sahut ketiganya bersamaan. "Dengan segala resikonya?"

"Ki Lurah... resiko apa yang akan kami hadapi?" seru Randumoko sambil mendengus mengejek. "Kau masih dipengaruhi oleh ajaran kemustahilan dan peradaban lama! Kami tak akan menemukan resiko apa-apa! Bahkan kami menamakan ini sebuah perjalanan, sedang berpergian, mengerti?"

"Kau tidak mengerti, Randumoko...." balas Ki Lurah tetap dengan kesabaran.

"Apanya yang tidak ku mengerti? Dari desa kita ini, Gunung Tengkorak terlihat dengan jelas. Dan di sana tentunya ada suatu pemandangan yang teramat indah dan bagus. Ini yang aku tidak mengerti, Ki Lurah?"

Merasa tidak ada gunanya untuk menahan kepergian mereka, Ki Lurah Sangsoko hanya mengangguk saja. Agak menyesali karena mereka tidak mau mendengarkan nasehat dan larangannya.

Para orangtua dari ketiga pemuda itu pun tak sanggup untuk menahan dan melarang mereka. Kali ini pun para orangtua ketiga pemuda itu hanya memperhatikan saja sambil berdoa banyak-banyak dalam hati agar tidak terjadi sesuatu yang menimpa putra mereka.

Matahari nampak sudah sepenggalah. Ketiga pemuda itu pun mengangkat perlengkapan mereka  dan berangkat sambil tertawa-tawa.

Ada yang mengagumi keberanian mereka. Ada yang menyesali keberanian mereka.

Ada yang jengkel dengan kesombongan mereka. Dan ada yang merasa kasihan dengan kebera-

nian dan kesombongan mereka.

Tapi tak ada yang bisa mencegah keinginan mereka, yang dilakukan semata-mata biar dikatakan jago dan digjaya.

2

Matahari nampak semakin tinggi. Dan panasnya terasa makin menyengat. Apalagi ketika ketiga pemuda itu sudah merasakan tubuh yang teramat penat dan panasnya terik matahari.

Dari desa mereka, Gunung Tengkorak terlihat sangat dekat. Namun setelah dituju, sudah hampir lima jam mereka bergerak, belum sedikit pun nampak Gunung Tengkorak semakin dekat.

"Kita istirahat saja dulu, Bas," kata Suseno yang sudah merasa kepayahan.

"Baiklah, kita cari tempat yang teduh!" kata Baskoro yang juga sudah lelah.

Tak lama kemudian, ketiganya pun sudah beristirahat dengan membuka bekal mereka masingmasing.

Namun belum sempat mereka mencicipi hidangan apa yang mereka bawa, tiba-tiba di hadapan mereka berdiri seorang dara jelita berbaju kuning. Mata ketiganya terbelalak.

Di samping dara itu teramat cantik, juga pakaiannya yang tembus pandang. Yang memperlihatkan lekuk tubuh yang padat dan montok.

Ketiganya berpandangan. Tersenyum. Dan bergegas berdiri. "Selamat siang, Nona...." sapa ketiganya bersamaan. Merasa ketiganya mengucapkan kata-kata bersamaan mereka jadi saling pandang. Lalu Baskoro yang terlihat bicara, "Ada apa gerangan Nona, hingga Nona sampai di sini?"

Dara jelita itu tersenyum, berkesan genit. Dia melangkah mendekati mereka. Saat melangkah itu seluruh tubuhnya yang tembus pandang bergerak. Membuat ketiganya menelan ludah.

"Tubuh indah luar biasa," desis ketiganya dalam hati.

Ketiganya memang dikenal sebagai berandalan di kampungnya. Ketiganya juga sering mendatangi tempat pelesiran dan kompleks pelacuran. Makanya ketika melihat satu sosok yang terpampang indah di depan mata, ketiganya bergerak bagaikan seekor kucing melihat ikan.

tang. Dan ikannya kali inilah yang kelihatan menan-

Membuat ketiga kucing  itu semakin  buas  dan mendengus-dengus.

"Hihihi... aku? Yah... cuma berjalan-jalan saja. Kalian sendiri sedang apa?" tanya dara berbaju kuning itu.

"Kami?" ulang Baskoro sambil menunjuk dirinya dan diri kedua temannya. Mengingat rencana mereka hendak mendaki dan menetap di Gunung Tengkorak, maka dengan pongahnya dia berkata, "Kami hendak menginap di Gunung Tengkorak."

"Gunung Tengkorak?" Dara itu memekik. Wajahnya seketika pias.

Melihat wajah yang nampak pucat ketakutan itu, Baskoro menjadi semakin pongah. Pikirnya, dara itu tentu akan menaruh rasa kagum atas keberaniannya, Dan dia pun tak mau melepaskan kesempatan yang ada di depan mata ini.

"Benar, kami akan pergi dari menginap di sana," kata Baskoro sambil menunjuk Gunung Tengkorak yang meskipun siang hari tetap kelihatan angker dan menyeramkan.

"Kalian berani sekali," kata Dara berbaju kuning dengan suara kagum.

"Tentu. O iya, namaku Baskoro. Ini kedua temanku, Suseno dan Randumoko. Siapa namamu, Manis?" kata Baskoro yang sudah kelihatan belangnya.

"Namaku... hihihi... namaku Saraswati..." kata dara itu sedikit tersipu. Namun kegenitannya masih nampak.

"Namamu indah sekali, Saraswati..." kata Baskoro memancing. Dia yakin, gadis yang bernama Saraswati ini mudah sekali diajak berkencan. Melihat dari cara berpakaiannya yang tembus pandang, juga sikapnya yang begitu genit.

"Hihihi... kalianlah yang gagah perkasa. Aku senang berkenalan dengan pemuda-pemuda gagah seperti kalian. O iya, siapakah yang mempunyai ide untuk mendaki dan menginap di Gunung Tengkorak?" kata Saraswati sambil mengerling genit.

"Aku!" kata Baskoro sambil menepuk dada dengan sikap congkak.

Memang benar. Usul untuk mendaki dan menginap di Gunung Tengkorak memang datang dari Baskoro. Sedang Suseno dan Randumoko hanya mengikuti saja, karena mereka sebagai teman yang akrab.

Namun di depan gadis manis ini, Suseno dan Randumoko menjadi sedikit kesal karena Baskoro nampak bisa menjual lagak. Berarti mereka tentunya tak akan mendapatkan perhatian dari Saraswati.

Di tempat sepi dan seram ini, tentunya bila ditemani oleh seorang gadis dapat, membuat hangatnya suasana. Randumoko sudah memikirkan satu cara untuk mendapatkan Saraswati.

Sekarang dia membiarkan saja.

Dia melihat wajah Saraswati memandang penuh kekaguman pada Baskoro.

"Kau hebat sekali, Kakang... Kau sungguh gagah berani "

Wajah Baskoro memerah karena bangga. Baginya, gadis ini harus menjadi miliknya. Sedikit pun dia tak akan membagi dengan Suseno dan Randumoko seperti yang biasa mereka lakukan di tempat pelesiran atau pun kompleks pelacuran.

Agaknya Suseno dan Randumoko pun tahu akan niat Baskoro. Mereka tak akan mau membiarkan gadis itu jatuh ke tangan Baskoro.

"Kau sendiri mau ke mana, Ni mas?" tanya Randumoko sambil menatap cantiknya wajah Saraswati. Dadanya berdebar. Hmm... tak akan kubiarkan kau jatuh ke tangan Baskoro, Saraswati.

"Kau? Hihihi... aku tinggal di sekitar sini." "Kau tinggal di sini?"

"Ya."

"Di lembah itu!" sahut Saraswati sambil menunjuk sebuah lembah yang cukup dalam dilihat dari tempat mereka berada.

"Dengan siapa kau tinggal?" "Sendiri."

"Sendiri?!" Kali ini terdengar suara ketiganya serempak dan melihat Saraswati dengan mata membulat. Seorang gadis cantik bertubuh sintal seperti Saraswati tinggal seorang diri di lembah itu? Oh, bukankah ini suatu kesempatan yang tak boleh disia-siakan.

"Ya, aku sendiri. Apa anehnya?"

"Tidak, tidak ada yang aneh," kali ini Baskoro yang kembali mengambil alih pembicaraan, membuat Randumoko melirik jengkel.

"Hihihi... memang tidak ada yang aneh!" terkikik Saraswati.

Tiba-tiba berkesiur angin besar ke arah mereka. Sigap mereka merunduk. Dan kala mereka berdiri dengan posisi sempurna kembali, mereka melihat dua sosok tubuh berdiri di hadapan mereka.

Dua orang itu laki-laki berwajah seram. Wajah keduanya dipenuhi dengan bulu-bulu. Keduanya mengenakan pakaian warna hitam terbuka di dada dengan celana panjang warna hitam pula. Di dada keduanya terlihat ada sebuah kalung tengkorak.

Salah seorang berkata dengan suara angker, "Dewi Baju Kuning... ke mana pun kau lari akan kami kejar! Dan kami tangkap untuk dihadapkan kepada Ketua!"

Ketiga pemuda yang berdiri di dekat Saraswati langsung meliriknya. Karena hanya dialah di sini seorang gadis; Dan dia pun mengenakan baju berwarna kuning seperti yang diserukan oleh laki-laki berwajah seram itu.

Mereka juga terkejut ketika Saraswati berkata, "Bangsapati! Kau memang pengawal Ketua yang teramat patuh! Begitu pula dengan adik seperguruanmu, Bimapati! Kalian berdua adalah pengawal-pengawal yang teramat patuh! Tentunya kalian tak akan melepaskan ku begitu saja! Yah, aku yakin sampai ke mana pun dan kapan pun kalian akan tetap mencariku! Dan mempersembahkan kepalaku kepada Ketua! Bukankah begitu, Bangsapati dan Bimapati?!"

"Kau betul, Dewi!" kata Bangsapati. "Bila kau tidak kembali dan menyerahkan diri, kamilah yang akan membawa pulang... atau pun membunuhmu dan mempersembahkan penggalan kepalamu kepada Ketua! Kau mengerti?!"

"Yah... dan aku pun siap menghadapi kalian lagi!" kata Saraswati yang kini maju setindak.

Ketiga pemuda yang tidak mengerti apa yang sesungguhnya sedang terjadi itu saling berpandangan. Sebenarnya apa yang telah terjadi?

Tetapi dasar ketiganya sudah terpengaruh oleh kecantikan Saraswati atau yang dipanggil Dewi Baju Kuning oleh Bangsapati, langsung maju tiga langkah dan berdiri di depan Saraswati. Seolah mereka melindungi gadis itu.

Baskoro berkata, "Ki sanak... apa sebenarnya yang telah terjadi antara kalian dengan Saraswati? Jelaskan!"

Bangsapati mendengus. "Anak muda... sebaiknya kau dan kedua temanmu menyingkir dari hadapan kami. Dan jangan turut campur dengan urusan kami ini! Kami paling tidak suka bila urusan kami ada yang mencampurinya!"

"Bangsapati...." panggil Baskoro yang mengenal langsung karena Saraswati menyebutkan nama lakilaki itu Bangsapati dan di sebelahnya Bimapati. "Tentunya sebagai laki-laki, kalian pantang mengeroyok seorang wanita bukan? Dan sebagai seorang laki-laki, kalian tentunya akan melindungi seorang wanita yang dalam keadaan kesulitan, bukan? Nah, kami akan melakukan hal seperti itu untuk Saraswati!"

"Anak muda!" geram Bangsapati. "Sekali lagi kukatakan, jangan turut campur dalam urusan ini! Kau akan mendapatkan ganjaran yang teramat menyakitkan, Anak muda!"

"Bangsapati... sedikit pun aku tak akan bergeser dari tempatku berdiri, bila kau belum menjelaskan ada urusan apa kau dengan Saraswati?" seru Baskoro yang di samping ingin dipuji, juga menjadi keheranan karena nampak gadis itu punya urusan yang teramat pelik. Mengingat kata-kata Baskoro tadi, yang bila tidak menyerahkan diri kepada Ketua, maka dia akan membunuhnya.

Entah siapa ketua itu dan berada di mana. "Anak muda!" bentak Bangsapati. "Kau mem-

buatku muak!" Lalu serunya pada Saraswati, "Dewi... cepat kau menyerahkan diri sebelum kesabaran kami habis! Cepat! Hei... kau pun telah membuang kalung tengkorak dari partai kita!"

Saraswati mengangguk. "Yah... karena aku sudah tidak mau lagi ikut dengan partai sesat itu!" "Bangsat! Kau berani menghina partai kita? Partai Tengkorak yang berpusat di Gunung Tengkorak? Saraswati, dosamu sudah tak terampun lagi! Aku pun tak segan-segan untuk membunuhmu! Nah, Dewi Baju Kuning! Bersiaplah untuk menerima kematianmu!" dengus Bangsapati sambil membuka jurusnya untuk menyerang.

Namun lagi-lagi terdengar suara dari Baskoro, "Tahan! Bila kalian ingin membunuhnya, hadapilah kami terlebih dahulu!"

"Dewi... katakan padanya, kalau dia akan siasia menghadapiku!"

Saraswati alias Dewi Baju Kuning pun menghela nafas. Dia kagum dengan keberanian Baskoro meskipun tadi dia berkesan pemuda itu terlalu sombong. Namun sekarang dia merasa kagum. Cuma sayang, keberanian Baskoro itu akan sia-sia belaka.

Malah akan mengundang maut bagi dirinya sendiri.

Sebenarnya, siapakah Saraswati ini?

3

Sebenarnya, dugaan orang-orang terhadap Gunung Tengkorak tak berpenghuni salah besar. Di atas puncak Gunung Tengkorak terdapat sebuah partai yang terdiri dari orang-orang kejam, buas dan sadis. Mereka menamakan diri dengan sebutan Partai Tengkorak.

Partai Tengkorak dipimpin oleh seorang manusia yang sakti mandraguna. Dia bertubuh cebol. Dengan tubuh bulat. Di pergelangan kedua tangannya terdapat gelang yang jumlahnya banyak. Orang cebol itu bernama Tunggul Petaka, dan berjuluk Si Cebol Penyebar Petaka.

Tunggul Petaka seorang yang amat ditakuti  oleh para anak buahnya karena kekejamannya. Tak seorang pun yang berani membantah perintahnya. Bahkan di Partai Tengkorak ada sebuah peraturan yang menyatakan, siapa saja yang sudah masuk ke Partai Tengkorak tak akan bisa melepaskan diri. Bila nekat pula untuk keluar dari Partai Tengkorak, maka matilah taruhannya.

Dan orang-orang yang telah tinggal di sana, tak satu pun yang berani memberontak. Mereka begitu menurut dan patuh pada Tunggul Petaka.

Kerja Partai Tengkorak adalah membunuh, merampok dan memperkosa. Tapi akhir-akhir ini, pimpinan mereka, Tunggal Petaka menghendaki agar di setiap malam Jumat disediakan orok yang baru lahir.

Dan tugas itu jatuh kepada Saraswati alias Dewi Baju Kuning. Semula Saraswati melakukannya dengan enak saja. Tanpa rasa segan, mencoba menentang atau pun marah.

Namun pada suatu malam, ketika dia hendak menculik seorang orok yang baru dilahirkan lagi, ada sebuah kejadian yang membuat hatinya menjadi terenyuh dan ragu-ragu.

Malam itu purnama bersinar terang. Namun mendadak langit berubah hitam. Awan-awan hitam bergerak dihembus angin. Dan langit yang cerah tadi berubah menjadi gelap. Guntur pun terdengar dan hujan pun turun dengan derasnya.

Samar-samar satu sosok bergerak lincah menembus hujan hinggap dari genting ke genting. Gerakannya ringan dan cepat. Sosok itu adalah Saraswati atau Dewi Baju Kuning, yang malam ini harus beroperasi lagi untuk memenuhi keinginan Tunggul Petaka yang sedang memperdalam sebuah ilmu.

Tadi siang Saraswati sudah mencari tahu di mana orang yang hendak melahirkan. Dan kini dia tengah menuju ke rumah orang itu.

"Hmm... agaknya ibu muda itu sudah melahirkan," gumamnya ketika samar-samar dia mendengar suara jerit bayi baru lahir.

Saraswati menjadi bergegas.

Dia kini berada tepat di atas genting rumah ibu muda yang baru melahirkan itu.

Hujan tetap turun dengan deras.

Hati-hati Saraswati membuka sedikit genting. Dan jelas dia melihat ibu muda itu baru melahirkan. Kini bayinya sedang dimandikan oleh seorang dukun yang membantunya. Sementara di pojok sana dia melihat seorang laki-laki muda nampak tengah berdoa dengan wajah gembira menyambut bayinya dan gembira karena istrinya selamat. Karena menurut orang, melahirkan itu adalah antara hidup dan mati bagi seorang wanita. Saraswati tersenyum. "Hmm... bagus, mandikanlah bayi itu dengan cepat, Nyai Dukun. Biar aku dengan mudah membawanya...." desisnya sambil menutup genting itu kembali. Lalu dia bersalto turun.

Ditunggunya sampai dukun yang menolong itu meninggalkan tempat itu. Tak berapa lama, dukun itu pun keluar. Lalu Saraswati mendekati rumah itu dan mengetuk pintu.

Tok! Tok! Tok!

"Siapa?" terdengar suara laki-laki. Pasti suami ibu muda itu.

"Saya... saya kedinginan di luar. Hujan turun dengan deras sekali. Bolehkah saya mampir untuk menumpang berteduh?"

Suami istri muda itu adalah orang-orang yang polos dan jujur. Tentu saja mereka mengizinkan, meskipun keadaan istrinya masih lemah karena baru melahirkan.

Pintu itu pun dibuka

"Silahkan masuk," kata laki-laki itu.

Saraswati masuk. Matanya memandang berkeliling. Dan tiba-tiba saja tangannya bergerak dengan cepat, memukul tengkuk laki-laki itu hingga pingsan seketika.

"Hei!" terpekik ibu muda yang baru melahirkan itu. Kagetnya bukan main. Dan seketika timbul rasa takutnya. Dia hendak memburu suaminya, namun rasa sakit yang ditimbulkan setelah melahirkan, amat menyiksanya dan membuatnya hanya bisa terlentang dengan hati pedih, galau dan takut bercampur satu.

Saraswati menyeringai.

"Tak perlu takut denganku, Ibu muda. Hmm... siapa namamu?"

Ibu muda itu menelan ludahnya. Dalam keadaan seperti ini siapa yang tidak takut? Suaminya dipukul hingga keadaan pingsan. Dan wanita itu menyeringai padanya. Siapa yang tidak takut?

Dipandangnya wanita yang cantik itu dan basah kuyub.

"Saya... Narsih "

"Hmm, bagus. Bagus sekali! Narsih, malam ini, aku datang ke sini cuma ingin meminta sesuatu padamu," kata Saraswati.

"Apa apa yang kau hendaki?"

Saraswati tersenyum. "Bayimu." "Oh! Bayiku! Tidak, tidak... jangan ambil bayiku! Kau tidak boleh mengambilnya!" jerit Narsih panik. Dia hendak menjangkau-jangkau bayinya, namun rasa sakitnya habis melahirkan masih terasa sekali.

Saraswati terkekeh.

"Hehehe... biarpun kau melarangnya... aku tetap tak akan perduli!"

"Jangan... jangan ambil bayiku! Jangan... ku mohon, jangan ambil bayiku!"

"Hehehe "

"Tolong, Dewi tolong jangan ambil bayiku. Ku

mohon padamu, Dewi... Demi tuhan, jangan ambil bayiku. Tolong aku, tolong aku "

"Tenanglah, Narsih. Bayimu akan aman dalam gendongan ku."

"Tidak, biar dia ada padaku! Dia bayiku, Dewi!

Bayiku!!"

"Narsih... kulihat kau miskin sekali. Suamimu juga hanya seorang petani. Bagaimana kau bisa menghidupi bayimu, hah?!"

"Jangan Dewi... dia milikku. Dia darah daging ku... apa pun akan kulakukan untuknya asal perbu-

atan halal. Dia milikku, milikku, Dewi "

"Aku minta padamu, Narsih... kalau tidak, bayimu akan kubunuh!"

"Oh, jangan, jangan bunuh bayiku! Bunuhlah aku lebih dulu, Dewi... Bunuh aku!" rintih Narsih. Dia tak perduli dengan rasa sakitnya yang amat menyengat. Dia lebih memperdulikan bayinya.

Saraswati terkikik sambil mendekati bayi yang sedang terpejam itu. Pulas tertidur.

"Hmm... bayi yang mungil sekali " desisnya.

"Jangan ambil bayiku, jangan, Dewi... aku mohon, aku mohon padamu " "Hehehe... bayi yang montok," desis Saraswati, kali ini dia sangat jujur. Dan entah kenapa tangannya terulur hendak memegang pipi bayi itu.

Terdengar suara Narsih berteriak, "Jangan sentuh bayiku! Jangan sentuh dengan tanganmu yang kotor!"

"Bangsat!" geram Saraswati. Tangannya melayang menampar pipi Narsih. Yang tidak mengaduh atau pun memekik kesakitan. Malah matanya melotot dengan gusar.

"Dewi... kau seorang perempuan... sama seperti aku... Apakah kau tidak pernah merasakan sakitnya mengandung dan melahirkan?" kata Narsih dengan mata berlinang. Pilu.

Dan entah kenapa tiba-tiba Saraswati terdiam.

Melihat wanita itu terdiam dan seperti hendak mendengarkan kata-katanya, Narsih melanjutkan, "Dewi... mengandung dan melahirkan bagi seorang wanita amat menyakitkan sekali. Sekaligus membahagiakan. Karena inilah satu-satunya jalan kesempurnaan bagi dirinya yang berstatus wanita. Melahirkan. Mempunyai anak yang keluar dari rahimnya sendiri. Darah dagingnya sendiri. Bila kau merasakan hal itu... betapa cintanya kau begitu melihat anakmu... Anak yang kau dambakan... Anak yang kau impikan... Begitu pula denganku. Aku amat mencintai bayiku... bayi yang baru saja keluar dari rahim ku. Dan kau sebagai seorang wanita... betapa jahatnya hendak mengambil anakku... mengambil bayiku... Di mana perasaanmu sebagai seorang wanita, Dewi? Di mana? Apakah kau akan memberikan begitu saja seandainya aku hendak mengambil bayimu baik secara halus maupun secara paksa? Tentunya kau akan mempertahankan sekuat tenagamu, bahkan nyawamu sendiri akan rela kau lepaskan untuk mempertahankan bayimu. Begitu pula aku, Dewi... aku akan mempertahankannya meskipun nyawa harus ku korbankan "

Saraswati terdiam. Tiba-tiba dia trenyuh mendengar kata-kata itu. Dan tanpa disadarinya air matanya menetes. Tiba-tiba saja dia berbalik menatap Narsih,

"Narsih... maaf aku!" Hanya itu yang dikatakannya, lalu dia melesat keluar menerobos hujan yang masih deras.

Dia berlari. Berlari dan berlari. Kata-kata Narsih tadi membangkitkan akan satu ingatan di masa lalunya. Dulu dia adalah seorang gadis yang baik dan cantik. Dan betapa senangnya ketika dia dilamar oleh pemuda idamannya. Semuanya bagaikan suatu kehidupan baru yang mempesona.

Namun ketika dia sedang hamil enam bulan, suaminya main serong dengan wanita lain. Dia sedih dan putus asa. Dalam keputusasaannya itu dia meninggalkan rumahnya. Pergi jauh karena malu menanggung semua itu.

Malu pada orang tuanya. Malu pada keluarganya. Dan malu pada para tetangganya. Karena pemuda yang amat dibanggakannya dan dicintainya ternyata hanya pemuda hidung belang.

Dalam mengandung tua itu dia pergi entah ke mana. Berjalan sekehendak hatinya. Dan saat dia melahirkan tanpa pertolongan siapa pun, dia pun merasakan hal yang sama dengan wanita lain setiap melahirkan. Antara hidup dan mati.

Namun begitu anaknya lahir, dia bukannya bahagia. Malah membencinya. Karena anak itu juga darah daging pemuda yang telah membuatnya sakit hati, kecewa dan putus asa. Dengan geram dibunuhnya anak itu. Lalu mayatnya dibuang ke sungai. Saat itulah dia bertemu dengan seorang nenek yang kemudian memungutnya sebagai anak. Dan dari nenek itu pulalah dia memperoleh pelajaran ilmu silat.

Sampai nenek itu meninggal. Lalu dia meninggalkan tempat itu dan secara tidak sengaja dia sampai di Gunung Tengkorak dan terlibat pada Partai Tengkorak.

Saraswati tergugah dari lamunannya. Tubuhnya dibasahi hujan yang makin, lebat.

Dari kejadian itulah dia bermaksud ingin meninggalkan Partai Tengkorak. Untuk kembali ke sana, tak mungkin karena pasti nyawalah taruhannya.

Maka dia memutuskan untuk pergi malam itu

juga.

Sementara Tunggul Petaka yang menunggu ke-

datangan Saraswati sampai esok paginya, menjadi murka karena wanita itu tidak muncul juga.

Lalu dia pun menyuruh Bangsapati dan Bimapati untuk mencarinya.

Berkali-kali keduanya menjumpai Saraswati dan terlibat perkelahian yang hebat. Namun Saraswati selalu berhasil meloloskan diri.

Dia juga selalu menggoda laki-laki ataupun menjeratnya hingga laki-laki itu mau membantunya untuk menghadapi Bangsapati dan Bimapati.

Dan bila laki-laki atau pemuda yang dijerat itu terlibat perkelahian dengan keduanya, kesempatan itu selalu dipergunakannya untuk meloloskan diri.

"Kau harus menyerahkan diri, Dewi!" geram Bangsapati.

"Ke mana pun kau lari pasti akan kami temukan! Kau harus dihukum sesuai hukum yang berlaku di Partai Tengkorak!" lanjut Bimapati.

Saraswati atau pun Dewi Baju Kuning terus melarikan diri. Di samping tidak mau terbunuh oleh kedua orang itu, juga tak mau dihukum di Gunung Tengkorak.

Dia tahu kekejaman Tunggul Petaka.

Hingga bertemulah dia dengan Baskoro, Suseno dan Randumoko. Sesuai dengan rencananya yang selalu menjerat setiap laki-laki untuk menghadapi Bangsapati dan Bimapati.

Benar saja, ketika laki-laki itu seakan ingin berlomba menunjukkan kejantanannya. Bahkan siap mempertaruhkan nyawa untuk membelanya.

Inilah yang diharapkan Saraswati ketika dia bertemu dengan ketiga pemuda itu.

Baginya, tak ada jalan lain buat menghadapi Bangsapati dan Bimapati selain memanfaatkan tenaga orang lain yang telah dijeratnya.

Dan dia pun akan berbuat yang sama seperti yang sudah-sudah dilakukannya. Melarikan diri ketika pemuda atau laki-laki yang dijeratnya sedang bertarung melawan Bangsapati dan Bimapati.

Biasanya dia pun tak memperdulikan nyawa mereka. Karena baginya, jiwa dan keselamatannyalah yang terpenting.

Persetan dengan nyawa orang lain! Karena di samping itu, dia amat dendam dengan laki-laki. Dalam bayangannya semua laki-laki itu sama seperti suaminya dulu.

4

Terdengar suara Bangsapati membentak, "Anak muda... menyingkirlah kalian dari sini! Karena ini bukan urusan kalian!"

"Perdulilah dengan katamu, Bangsapati! Kami tetap akan membela wanita ini!"

Bangsapati terbahak.

"Hahaha... nasibmu sama dengan laki-laki atau pun pemuda lain yang dijeratnya! Hanya dijadikan tameng oleh wanita itu demi nyawanya! Cepat menyingkir dari sini, sebelum kemarahanku beralih kepadamu dan juga kedua temanmu itu!!"

Tetapi tiga pemuda itu tetap terpaku di tempatnya, siap menghadapi kedua manusia seram ini. Kini mereka seakan melupakan tentang keirian di hati masing-masing untuk mencari muka di depan Saraswati.

Mereka kembali bersatu. Dan merasakan kedua manusia yang berdiri di hadapannya ini adalah lawan yang harus mereka basmi.

"Kami akan melayani kemauan kalian berdua!" dengus Baskoro sambil mencabut goloknya.

Begitu pula yang dilakukan Suseno dan Randumoko. Kini ketiganya memegang golok terhunus di tangan kanan. Dan siap bergerak. Melihat hal itu, Bangsapati menjadi makin marah. Sambil menggeram dia menerjang, "Bangsat kalian semua! Kalian membangkitkan marah ku!"

Serangannya cepat dengan diiringi satu tenaga angin yang cukup kuat. Menderu.

Ketiganya yang bersiap pun segera menghindar dengan jalan melompat dan balas menyerang.

Bangsapati bukanlah jago baru muncul, tetapi dia adalah jago kawakan yang telah mengabdi lama pada Tunggul Petaka. Dan kekejamannya hampir sama dengan Tunggul Petaka. Maka dia tidak tanggungtanggung lagi menyerang ketiganya. Tetapi rupanya ketiga pemuda itu pun memiliki ilmu silat yang cukup tinggi. Mereka ternyata dapat mengimbangi Bangsapati.

Melihat hal itu, Bimapati yang hendak menyerang Saraswati menjadi berbalik. Dia datang membantu. Langsung menyerang Baskoro.

Baskoro terkejut. Dia cepat mengibaskan goloknya ke angin yang datang ke arah kepalanya. Bimapati menarik jotosannya dan mengirimkan satu tendangan.

"Des!"

Tendangan yang dilancarkan cepat itu tidak bisa dielakkan Baskoro. Dadanya terhantam tendangan itu.

Cukup sakit. "Bangsat!"

Sambil menggeram panjang, Baskoro menerjang hebat ke arah Bimapati. Goloknya mengayun dengan cepat. Di samping sebuah pukulan yang dilancarkan tangan kirinya, lurus ke wajah Bimapati. Bimapati merasakan tenaga yang kuat tersalur di tangan Baskoro. Dia mengelak ke samping dan membalas dengan sapuan ke kaki Baskoro.

Baskoro cepat melompat. Dan saat melompat dia kembali menukik dengan golok lurus ke wajah Bimapati.

Sedetik Bimapati tidak menunduk, mampuslah dia! Hal itu membuatnya menjadi geram. Dia pun membalas dengan serangan-serangan cepat dan hebat. Sementara itu Saraswati yang hendak kabur  seperti rencananya menjadi ragu. Karena tiba-tiba saja dia melihat Baskoro begitu mati-matian membelanya.

Dan tiba-tiba pula dia merasakan ada sesuatu di hatinya terhadap Baskoro. Mendadak saja dia masuk ke pertarungan antara Baskoro dan Bimapati.

"Hahaha... bagus, Dewi! Mengapa tidak sejak tadi kau bantu dia, hah?!" ejek Bimapati sambil bersalto. Dan begitu kakinya hinggap di tanah, tubuhnya melenting kembali.

Kali ini kedua tangannya terbuka, membentuk cakar macan. Hebat. Sadis dan kejam.

Kelebatan kedua tangannya menimbulkan angin dingin, terasa di kulit.

Baskoro cepat mengayunkan goloknya ketika cakaran itu siap menghujam ke jantungnya.

"Wuuut!!"

Golok itu tak mengenai sasaran karena Bimapati cepat menarik tangannya kembali. Namun tangan yang satunya lagi menyusul ke wajah Baskoro.

Baskoro terkejut.

Kecepatan yang diperlihatkan Bimapati sungguh mengejutkannya. Sangat cepat dan hebat.

Dia merasa sukar untuk menghindar atau pun menangkis. Karena jaraknya dengan Bimapati begitu dekat. Dia menjadi pasrah saja dan cakaran itupun siap menghunjam di wajahnya

Namun mendadak terdengar benturan yang cukup kuat.

"Des!"

Seketika Baskoro membuka matanya ketika dirasakannya angin cakaran Bimapati melenceng. Dia melihat Saraswati sedang bertarung hebat dengan Bimapati.

Merasa jiwanya diselamatkan oleh Saraswati, Baskoro kembali membantu. Dengan ayunan golok, yang cepat dan hebat.

Sementara itu, pertarungan antara Bangsapati dengan Suseno dan Randumoko berlangsung seru. Meskipun Bangsapati dikeroyok berdua, namun lama kelamaan dia nampak berhasil menguasai keadaan.

Dua kali pukulannya mengenai sasaran pada Suseno.

Begitu pula halnya dengan Randumoko. Dadanya dihantam satu pukulan yang cukup kuat. Membuatnya muntah darah. Dia merasa dadanya bagai dihantam sebuah godam besar.

Bangsapati terbahak.

"Hahaha... itulah akibatnya bila berani membangkang perintahku! Dan semua ini bukan salahku... karena kalianlah yang tak mau pergi, padahal aku sudah memperingatkan tadi!"

Randumoko mengusap darah yang mengalir di bibirnya.

"Bangsat busuk! Majulah! Kami akan mengadu jiwa denganmu!" geramnya marah.

Tetapi kegeramannya hanya disambut tawa oleh Bangsapati.

"Hahaha... kalian tidak tahu dalamnya lautan dan tingginya langit! Baik, ke marilah... biar kuhabisi kalian sekaligus!"

Randumoko dan Suseno berpandangan. Lalu mengangguk. Keduanya jelas sudah sepakat untuk mengadu jiwa dengan Bangsapati. Lalu diiringi pekikan yang cukup kuat, keduanya bergerak maju menyerang.

Bersamaan dengan golok yang terhunus.

Tetapi Bangsapati hanya tertawa saja, dia bersalto ke belakang dan melenting kembali begitu kakinya hinggap.

"Des!"

"Des!"

Kedua telapak tangannya masing-masing menghantam punggung Suseno dan Randumoko sehingga mereka tersuruk ke depan.

Bangsapati bersalto dua kali lalu hinggap dengan mulusnya.

"Hahaha... itulah jawaban dari yang kalian minta! Kini... bersiaplah kalian untuk mampus!" geram Bangsapati sambil merangkum kedua tangannya menjadi satu.

Lalu terlihatlah asap berwarna merah keluar dari kedua tangannya.

Terdengar jeritan Saraswati, 'Telapak Darah'!!" "Jangan ribut, Dewi... biarlah kedua temanmu

ini menikmati kematiannya! Hahahaha. "

Saraswati bersalto. Di samping buat menghindari serangan Bimapati juga untuk bergerak ke arah Bangsapati. Dia hinggap di depan Bangsapati.

"Jangan bunuh dia!" serunya gagah.

"Hahaha... biasanya kau membiarkan saja orang-orang yang telah kau jerat mampus di tangan ku atau di tangan Bimapati! Kenapa sekarang kau berubah, Dewi? Apa kau hendak menyerahkan diri? Hahaha. bagus, bagus sekali!"

"Jangan bermimpi aku akan menyerah, Bangsapati!" balas Saraswati geram. "Kaulah yang harus mampus di tanganku hari ini!"

"Hahaha... sejak meninggalkan Partai Tengkorak kau menjadi gila rupanya! Sinting!"

"Kita lihat Bangsapati, kau atau aku yang mampus hari ini!"

"Hahaha " tertawa Bangsapati. Tetapi tiba-tiba

dia bersalto, karena Saraswati udah menderu menyerang.

"Tahan serangan, Bangsapati!"

"Keluarkan semua yang kau miliki, Saraswati!!" seru Bangsapati sambil mulai membalas.

Terlihatlah pertarungan yang hebat antara keduanya. Saraswati sendiri sudah mengeluarkan ilmu simpanannya. Menanggulangi Bara Api. Karena menurutnya, Telapak Darah Bangsapati amat berbahaya sekali.

Bagi yang terkena Sentuhan telapak tangan itu, bisa hangus tubuhnya dan langsung mengeluarkan darah. Bila beradu tenaga dalam dan tenaga dalam lawannya kurang kuat, bisa disedotnya.

Sementara Suseno dan Randumoko tak kuat untuk membantu. Mereka merasakan punggung mereka sakit luar biasa. Bahkan mereka yakin, tulang punggung mereka ada yang patah.

Tiba-tiba terdengar jeritan Baskoro keras. Bahu kirinya telah terhantam cakaran Bimapati.

"Hahaha... ketahuilah, Anak muda... cakaran ku mengandung racun yang mematikan!"

"Bangsat!" Baskoro menggeram marah. "Lebih baik aku mati sekalian daripada sekarat dimakan racun mu, Bimapati!"

Lalu dengan sekuat tenaga dia menyerang lagi. Kali ini sambaran goloknya cepat dan hebat. Setiap kali goloknya berkelebat menimbulkan suara angin yang cukup keras.

"Hahaha... keluarkan semua kepandaianmu, Anak muda!" ejek Bimapati.

"Mampuslah kau, Orang busuk!" maki Baskoro sambil mengayunkan goloknya ke arah Bimapati.

Bimapati cepat merunduk. Dan tangan kanannya bergerak hendak mencakar kemaluan Baskoro.

Baskoro cepat berguling melihat bahaya yang mengancam. Namun Bimapati yang bertekad untuk menyudahi pertarungan itu, memburunya. Cakarancakarannya siap mencabut nyawa Baskoro. Dan Baskoro pun makin terdesak.

Dia terpojok ketika satu tendangan dari Bimapati mengenai sasarannya.

"Mampuslah kau, Pemuda sok tahu!" geram Bimapati dan siap melancarkan serangan cakarannya.

Baskoro memejamkan matanya melihat ajal yang sudah di depan mata.

Namun mendadak terdengar jeritan Bimapati, dan disusul dengan ambruknya tubuhnya. Di belakang tubuhnya menancap dua buah golok.

"Akkkhhh!!"

Jeritannya keras. Darah menyembur dari tubuh bagian belakangnya. Lalu ambruk.

Baskoro membuka matanya. Dia melihat Suseno dan Randumoko sedang tersenyum padanya dan meringis kesakitan. Rupanya dalam keadaan genting itu, keduanya masih sempat menolong Baskoro dengan melemparkan golok mereka secara berbarengan.

Dan tepat mengenai sasarannya.

Mendengar jeritan dan melihat kawannya mati dengan dua buah golok menancap, Bangsapati menggeram marah. Dia menyerang Saraswati secara membabi buta. Saraswati menjadi sedikit kewalahan.

Namun mendadak Bangsapati bersalto, melewati tubuh Saraswati. Dan kedua telapak tangannya terbuka ke arah Suseno dan Randumoko yang hanya menatap pasrah.

Tanpa ampun lagi Telapak Darah Bangsapati mengenai sasarannya.

"Aaaaaakhhh!!" "Aaaaakhhhh!"

Dua buah jeritan keras terdengar. Lalu ambruknya tubuh Suseno dan Randumoko dalam keadaan hangus.

"Mokoooo! Senoooo!!" seru Baskoro pilu dan bergegas menghampiri keduanya yang telah menjadi mayat.

Saraswati sendiri tidak menyangka kalau kedua pemuda itu yang menjadi sasaran Bangsapati. Entah kenapa dia menjadi sedih dan merasa bersalah.

Lalu sambil memekik dia bergerak menyerang Bangsapati.

"Kau harus mampus menyusul Bimapati, Bangsapati!" geramnya.

"Atau kau yang akan mati, Dewi!"

Keduanya kembali terlibat dalam pertarungan hebat. Saraswati sendiri menggempur dengan jurusnya Menggulung Bara Api. Namun sampai sejauh itu belum menemui sasarannya.

Begitu pula halnya dengan Bangsapati yang sejak tadi belum berhasil mendaratkan pukulannya, Telapak Darah!

Hal ini semakin membuatnya geram mengingat matinya adik seperguruannya. Dia bertekad untuk membunuh Saraswati sebagai balasan kematian adik seperguruannya sendiri.

Sedangkan Baskoro bangkit perlahan-lahan. Matanya nyalang melihat Bangsapati. Kedua kawan akrabnya harus mampus di tangan manusia itu. Untuk kali ini Baskoro menyesali kesombongannya dan mengajak kedua kawannya untuk mendatangi Gunung Tengkorak.

Andaikata mereka tidak jadi pergi dan dia tidak punya ide gila itu, tentunya Suseno dan Randumoko belum mati.

Mengingat itu, dendamnya pada Bangsapati menjadi-jadi. Dia bertekad untuk membalas kematian kedua sahabatnya.

Lalu perlahan-lahan diambilnya goloknya yang tergeletak di tanah saat dia menyaksikan mayat Suseno dan Randumoko. Digenggamnya golok itu erat-erat.

Matanya nyalang memperhatikan Bangsapati.

Tiba-tiba dia merasakan sakit yang luar biasa di bahu kirinya. Rupanya racun dari cakaran Bimapati mulai berfungsi.

Mengingat itu, tekad Baskoro semakin bulat untuk membalas kematian kedua sahabatnya. Bahkan dia bertekad untuk mengadu jiwa dengan Bangsapati.

"Bangsapati... kau harus membayar kematian kedua sahabatku ini!!" geramnya murka dan menerjang memasuki pertarungan. Goloknya berkelebat dengan hebat. Cepat dan tangguh.

"Bagus! Majulah kau sekalian! Biar cepat mampus di tanganku dan aku tak membuang waktu lagi?" sahut Bangsapati sambil melompat menghindari sambaran golok Baskoro yang menderu cepat.

"Mampus kau, Bangsapati!" geram Baskoro meneruskan serangannya secara beruntun.

"Hahaha... keluarkan semua kepandaianmu, Anak muda!" tertawa Bangsapati.

Menghadapi serangan Baskoro yang membabi buta, baginya bukanlah suatu hal yang berbahaya. Tetapi serangan yang dilancarkan Saraswatilah yang membuatnya berhati-hati. Namun dengan datangnya serangan-serangan dari Baskoro, bukannya membantu Saraswati, malah mengacaukannya. Dia jadi bingung untuk menyerang Bangsapati, karena Baskoro telah mendahuluinya.

"Baskoro... minggirlah!" serunya.

"Tidak, Ni mas... Aku harus membalas kematian kedua temanku!" "Tapi kau malah mengacaukan seranganku!" Baskoro bergerak ke samping kiri dengan mak-

sud memberi kesempatan pada Saraswati untuk menyerang. Namun Bangsapati yang sudah melihat gelagat itu, cepat bergerak ke kiri pula sehingga kembali dia berhadapan dengan Baskoro yang membelakangi Saraswati.

Tiba-tiba Saraswati bersalto, melewati kepala Baskoro. Dan dia terus menyerang Bangsapati yang telah siap menyambutnya.

"Des!!"

Terjadilah benturan antara kedua pukulan sakti itu. Keduanya terhuyung ke belakang dan berdiri sigap kembali. Tak ada yang terluka, menandakan keduanya seimbang dan sama-sama kuat.

Tetapi Bangsapati tak mau lagi membuang waktu, kali ini sasarannya adalah Baskoro yang nampak kian lemah karena pengaruh racun cakaran Bimapati.

"Mampuslah kau, Anak muda!" geramnya. Namun di saat yang genting itu, Saraswati ce-

pat bergerak dan menyambar tubuh Baskoro lalu melarikan diri.

"Bangsat kau, Dewi!" geram Bangsapati marah. Namun bayangan tubuh Saraswati yang mem-

bopong tubuh Baskoro telah lenyap dari pandangannya. Bangsapati menggeram marah

Lalu dia mendekati mayat adik seperguruannya. Dan membopongnya. Lalu melesat kembali ke Gunung Tengkorak.

5

Pagi cerah. Matahari baru sepenggalah. Di tepi sungai nampak satu sosok sedang asyik mencuci. Udara berhembus dingin. Burung-burung bernyanyi gembira melihat matahari muncul.

Sosok tubuh yang asyik mencuci itu pun nampak gembira. Dia bernyanyi-nyanyi kecil.

Gadis itu bernama Pitaloka. Usianya kira-kira 17 tahun. Dia berkulit kuning langsat. Mulus. Wajahnya bulat. Dengan sepasang mata yang besinar cerah. Hidungnya bangir di atas mulutnya kecil dengan sepasang bibir yang memerah.

Sungguh besar karunia Tuhan padanya. Dia adalah seorang dara manis dari desa di pinggiran Gunung Tengkorak.

Pagi ini, seperti biasanya Pitaloka selalu mencuci. Dan dia selalu gembira.

Namun tiba-tiba dia mendengar suara kekehan dari belakangnya. Dan bukan main terkejutnya Pitaloka ketika melihat satu sosok cebol telah berdiri di belakangnya.

Belum pernah dia melihat wajah manusia seperti itu. Kecil dan bulat. Dan selain kecil dan bulat, yang dilihatnya ini begitu menakutkan. Dengan kalung tengkorak di dadanya.

Pitaloka menjadi takut. Dia buru-buru membereskan cuciannya yang belum selesai dicuci.

"Hehehe... mengapa buru-buru, Manis?" si Cebol yang tak lain Tunggul Petaka ketua Partai Tengkorak terkekeh. "Kulihat... kau belum selesai mencuci. Bukankah benar ucapanku?"

Wajah Pitaloka makin pucat.

"Si... siapa kau?" tanyanya gemetar.

"Hehehe... aku adalah Kangmas mu yang telah lama memperhatikan mu, Manis..."

Pitaloka semakin ngeri. Apalagi ketika si Cebol itu bergerak perlahan mendekatinya.

"Oh, jangan... jangan dekati aku..." rintih Pitaloka memohon.

"Kenapa, Manis? Bukankah kau pun telah lama menunggu Kangmas mu ini? Hehehe... ayolah... jangan takut padaku "

"Jangan, jangan..,."

"Hehehe... mengapa takut? Ayo, sini...! Hehehe... kau akan menjadi permaisuri ku di Partai Tengkorak. Pasti kau suka sekali "

"Tidak, aku tidak mau " sahut Pitaloka sambil

bergegas berlari.

Tetapi Tunggul Petaka dengan sekali loncat sudah berada di hadapannya. Dia menyeringai yang membuat Pitaloka semakin ketakutan.

"Hehehe. kau mau ke mana?"

"Tolong... tolonglah aku... jangan dekati aku "

rintih Pitaloka.

"Kau mau ke mana? Aku suka padamu, Manis. " kata Tunggul Petaka mendekati.

"Jangan, jangan " Pitaloka mundur. "Kalau ti-

dak, aku akan berteriak "

"Hehehe... berteriaklah sekuat tenagamu. Siapa yang akan mendengar teriakan mu, hah?!"

Pitaloka menyadari hal itu. Dia menjadi makin ketakutan. Siapa pula yang akan mendengar teriakannya. Rumahnya cukup jauh dari tepi sungai ini. Dan di sini pun tak ada siapa pun.

Menyadari hal itu, Pitaloka berbalik dan berlari. "Hehehe... ke mana pun kau lari tak akan bi-

sa. " terkekeh Tunggul Petaka sambil bersalto menge-

jar. Dan kembali dia sudah berada di depan Pitaloka yang melirik-lirik sekelilingnya dalam keadaan bingung. Dan mendadak dia menjerit ketika Tunggul Petaka memburu dan mendekapnya.

"Tolong, tolong!!" "Hehehe "

"Jangan, jangan lakukan itu "

"Hehehe... tubuhnya montok dan padat! Kau membangkitkan gairah ku... he... he... he "

"Jangan, jangan " Pitaloka mencoba berontak.

Namun sia-sia karena tenaganya jauh kalah besar dengan tenaga Tunggul Petaka.

"Hehehe... kau sungguh-sungguh menggairahkan aku...." terkekeh Tunggul Petaka sambil merobek baju di bagian dada Pitaloka.

"Breeek!" Dan terlihatlah sepasang buah dada yang putih mulus, gempal.

Tunggul Petaka menelan ludahnya.

"Bukan main tak sia-sia aku menemukanmu,

Manis... Hehehe "

"Jangan... jangan "

"Ya, ya... aku mengerti. Jangan dilepaskan maksudmu bukan?" tawa Tunggul Petaka. Dan dengan buas menciumi bagian dada Pitaloka yang menjeritjerit sambil berusaha meronta.

"Jangan, jangan.... ahhh!!" Karena terlalu ngeri dan takutnya, Pitaloka jatuh pingsan.

Tunggul Petaka terkekeh. "Sialan! Tapi biarlah... yang penting tubuhnya begini montok dan halus "

Ketika dia hendak membuka seluruh pakaian Pitaloka, terdengar suara bernada wibawa dari belakangnya, "Lepaskan gadis itu...!"

Tunggul Petaka menoleh. Dia melihat sesosok tubuh berjubah putih dengan tersenyum arif dan bijaksana.

"Siapa kau, heh?!" serunya yang merasa terganggu. Dihadapinya sosok berjubah putih itu.

"Aku adalah aku...." kata si Jubah putih dengan tersenyum.

"Kau mempermainkan aku rupanya!"

"Kau tidak bertanya siapa namaku, kau hanya bertanya siapa aku! Tadi sudah kujawab. Aku adalah aku."

"Bangsat! Sebutkan nama jelek mu! Hari ini kau tengah berhadapan dengan Tunggul Petaka yang berjuluk si Cebol Penyebar Petaka!" seru Tunggul Petaka sombong. Dan kegeramannya makin menjadi-jadi karena orang itu berani-beraninya mengganggu keasyikannya.

Tetapi laki-laki setengah baya yang mengenakan jubah putih itu hanya tersenyum arif dan bijaksana.

"Aku hanyalah orang biasa yang kebetulan lewat di tempat ini dan melihat perbuatan busukmu itu!" "Apa kau tidak tahu, bahwa mengganggu kesenangan ketua Partai Tengkorak sama saja dengan

mencari mati!" seru Tunggul Petaka.

"Maaf... aku tidak mencari mati. Aku hanya ingin memperingatkan bahwa perbuatanmu itu salah."

"Salah atau benar itu urusan ku! Dan matilah sebagai ganjaran mu!"

"Mati di tangan Tuhan, Tunggul Petaka. Bila Tuhan menghendaki nyawaku saat ini, tentu saja aku akan mati. Tapi bila tidak, hari ini pun aku akan tetap hidup," kata laki-laki berjubah putih itu dengan suara wibawa. Dan senyumnya yang arif dan bijaksana.

"Bangsat! Kau berkhotbah di depanku! Hhhh! Katakan siapa namamu sebelum ku cabut nyawa mu!" "Kalau kau memaksa, baiklah. Namaku... Ma-

dewa Gumilang "

"Madewa Gumilang!" ulang Tunggul Petaka agak terkejut. Tetapi kemudian dia mendengus. "Hhhh! Rupanya hari ini aku berhadapan dengan manusia dewa yang bergelar Pendekar Bayangan Sukma?"

"Ah, kau melebih-lebihkan aku," kata Madewa merendah.

Namun kata-katanya itu malah semakin membangkitkan kemarahan Tunggul Petaka.

"Madewa... telah lama aku mendengar sepak terjang mu sebagai pendekar budiman, yang selalu menolong orang. Namun di hari ini, namamu akan terkubur habis di tanganku!"

"Tunggul Petaka... aku hanya kebetulan lewat dan tidak berniat sedikit pun untuk berkelahi denganmu " kata Madewa.

"Tapi kau telah mengganggu kesenanganku!" "Aku hanya memperingatkan, bahwa perbua-

tanmu itu salah. Dan jelas aku tidak menyukai perbuatan kejimu itu, Tunggul!"

"Kalau begitu, baik... memang sudah lama aku mendengar nama besarmu! Dan telah lama pula aku mencoba kesaktianmu!" geram Tunggul Petaka. "Nah, bersiaplah!"

"Kukatakan sekali lagi Tunggul, aku tidak ingin berkelahi "

"Kalau begitu, pergilah dari sini dan biarkan aku berbuat semau ku!"

"Bila itu permintaanmu, aku tidak bisa memenuhinya."

"Kalau begitu terima seranganku!" sehabis berkata begitu tubuh cebol itu bergerak dengan cepat. Sebuah pukulan bertenaga mengarah ke arah Madewa Gumilang.

Orang yang memang Madewa Gumilang itu alias Pendekar Bayangan Sukma dapat merasakan betapa besarnya tenaga Tunggul Petaka yang dialiri ke pukulannya. Dia pun sudah menduga kalau tubuh cebol itu dapat bergerak dengan gesit dan cepat.

Madewa memiringkan tubuhnya ke kiri. Serangan Tunggul Petaka tak mengenai sasarannya. Namun mendadak tubuh cebol itu berguling mengejar Madewa. Kali ini Madewa bersalto ke belakang.

"Hebat!" desisnya.

"Kau harus mampus, Madewa!" geram Tunggul Petaka yang jengkel sudah dua kali serangannya gagal.

Dia pun melancarkan serangannya lagi. Lebih cepat, tangguh dan ganas. Kali ini Madewa pun menggunakan jurus menghindarnya, Ular Meloloskan Diri. Serangan-serangan yang dilancarkan Tunggul Petaka tidak menemui sasarannya.

Tunggul Petaka menggeram sambil bersalto ke belakang.

"Sambut seranganku, Madewa!" serunya sambil menyerang kembali.

Madewa sendiri kali ini pun mulai membalas dengan jurus Ular Mematuk Katak. Cepat dan tangkas. Keduanya nampak seimbang. Bahkan Tunggul Petaka dapat bergerak berputar, berguling dengan hebat.

Namun kembali serangannya tak menemui sasaran. Sampai suatu ketika, dia menjerit hebat sambil melancarkan pukulannya.

Melihat hal itu, Madewa pun bergerak memapakinya dengan pukulan Tembok Menghalau Badai.

"Des!"

Dua pukulan yang diiringi tenaga sakti itu berbenturan dan menimbulkan suara yang cukup keras. Tunggul Petaka nampak terhuyung beberapa tindak. Sedangkan Madewa Gumilang hanya satu tindak.

Tunggul Petaka menatap marah. Matanya memancarkan sinar membunuh.

Tiba-tiba dia mengembangkan kedua tangan-

nya.

"Kau hadapilah ilmuku yang satu ini, Madewa!"

serunya. "Lihat!"

Madewa melihat kedua tangan yang membentang itu mengeluarkan asap berwarna biru. Dan mendadak kedua tangan itu pun berubah menjadi biru.

"Ini pukulan Langit Biru, Madewa! Bila kau terkena pukulan ini, maka hancurlah tubuhmu seketika!" "Buktikanlah, Tunggul!" kata Madewa tetap

dengan tersenyum arif dan bijaksana. "Awas serangan!"

Sehabis berkata begitu, Tunggul Petaka memekik menerjang ke depan. Pukulannya sangat ganas. Ketika pukulan itu bergerak, Madewa merasakan hawa panas yang luar biasa.

Dia bergerak mundur dua langkah dan bersalto ke depan ketika kedua tangan Tunggul Petaka siap mengenai sasarannya.

"Kau mau ke mana, Madewa!" bentak Tunggul Petaka.

"Aku di sini, Tunggul! Pukulanmu amat berbahaya!" sahut Madewa tenang.

"Masih ada lagi yang akan kuperlihatkan padamu, Madewa Gumilang! Tahan seranganku!" Kembali Tunggul Petaka menyerang.

Madewa pun bersalto kembali dan menghindar dengan jurus Ular Meloloskan Dirinya. Hawa panas yang keluar dari kedua tangan Tunggul Petaka amat luar biasa. Dan sambil bersalto, Madewa mengeluarkan pukulan Angin Saljunya untuk mengimbangi hawa panas yang ditimbulkan oleh Pukulan Langit Biru Tunggul Petaka.

Madewa pun menjajakinya dan mencari tempat yang kosong. Namun pertahanan Tunggul Petaka begitu rapat.

Setelah lima jurus berlangsung lagi, keduanya kini berhadapan.

Tunggul Petaka terkekeh, "Kini mampuslah kau, Madewa Gumilang!"

"Kita belum melihatnya, Tunggul!" "Baik, tahan seranganku ini!"

Sambil memekik keras Tunggul Petaka menyerang kembali. Kali ini Madewa tidak menghindar. Dia malah maju pula untuk memapakinya.

Keduanya menderu maju.

Keduanya menyiapkan pukulan sakti masingmasing.

Keduanya saling berbenturan hingga menimbulkan suara yang cukup keras.

"Duaaaarrr!!!"

Kedua pukulan itu mengepulkan asap putih. Dan dari asap putih itu terpental dua sosok tubuh ke belakang. Tunggul Petaka merasakan sekujur tubuhnya dingin menggigil. Sedangkan Madewa Gumilang merasakan sekujur tubuhnya panas.

Keduanya langsung duduk bersila.

Tunggul Petaka berkonsentrasi untuk menghilangkan hawa dingin itu,

Sedangkan Madewa Gumilang berkonsentrasi untuk menghilangkan hawa panas.

Itu menandakan kedua pukulan mereka seimbang. Dan kini keduanya telah berdiri dengan sikap sempurna.

Namun Tunggul Petaka merasakan sakit di dadanya, dia menekap dadanya. Dan berkata menyeringai, "Kau menang kali ini, Madewa! Tapi kutunggu kau di Gunung Tengkorak, saat purnama tiba! Bila kau seorang jago datanglah memenuhi tantanganku! Kita bertarung hidup dan mati!"

Sesudah berkata begitu, tubuh cebol itu pun berkelebat menghilang.

Madewa cuma mendesah panjang. Biar bagaimanapun, dia akan datang memenuhi tantangan Tunggul Petaka. Karena dia tidak ingin perbuatan jahat yang dilakukan Tunggul Petaka dan anak buahnya, terus berlanjut.

Lalu dia pun menyadarkan Pitaloka yang terkejut karena di hadapannya kini nampak satu sosok berjubah putih. Tetapi begitu melihat senyum arif dan bijaksana yang diperlihatkan sosok jubah putih itu, dia sadar bahwa dirinya sudah bebas dari bahaya.

"Ni mas... sekarang sudah aman. Kembalilah ke rumahmu " kata Madewa.

Setelah membereskan cuciannya yang berantakan dan mengucapkan terima kasih, Pitaloka bergegas meninggalkan tempat itu.

Madewa mendesah panjang. Menatap langit yang cerah.

Dia akan menunggu sampai purnama datang.

6

Di sebuah gubuk kecil yang terdapat sebuah hutan, terdengar erangan kesakitan. Yang cukup memilukan.

"Aduh! Sakit sekali, Ni mas... sakit sekali " je-

rit suara itu.

"Tahan dulu, Baskoro. Racun yang berasal dari cakaran Bimapati sudah lima hari mengendap di tubuhmu. Dan baru sedikit yang bisa ku keluarkan," terdengar suara menyahut.

"Biarkan aku mati saja, Ni mas Saraswati aku

sudah tidak tahan lagi !"

"Tahan... tahan dulu... Yah, berkonsentrasilah... Duduklah dengan tenang Keluarkan tenaga da-

lam dan hawa murni mu, Baskoro "

Ternyata gubuk jelek dan rombeng itu didiami oleh Baskoro dan Saraswati. Setelah melarikan diri sambil membopong tubuh Baskoro, Saraswati menemukan sebuah gubuk kecil di tengah hutan.

Dia dapat mengetahui kalau Baskoro terkena racun dari cakaran Bimapati. Selama lima hari itu dia berusaha mengobatinya dan mengeluarkan racun dari tubuh Baskoro.

Tetapi agaknya racun itu sudah bersatu dengan darah Baskoro. Hingga menyusahkannya untuk di keluarkan.

Hari inipun Saraswati tengah berusaha untuk mengeluarkan racun itu

Dia menempelkan kedua telapak tangannya ke punggung Baskoro yang terbuka. Dan menyalurkan tenaga dalamnya untuk mendorong keluar racun di tubuh Baskoro.

"Bantu aku, Baskoro. Keluarkan pula tenaga dalammu "

Baskoro merasakan ada hawa panas yang masuk ke dalam tubuhnya dan bertemu dengan hawa panas yang dikeluarkannya. Hawa panas itu timbul karena desakan tenaga dalam Saraswati dan Baskoro. "Tahan, Baskoro "

"Aku sudah tidak tahan lagi, Ni mas. "

"Tahan... tahan... aku sudah merasakan adanya hawa panas yang melawan hawa panas dari tanganku ini "

Keduanya terus berusaha untuk mengeluarkan racun dari tubuh Baskoro. Tubuh keduanya sudah berpeluh banyak.

Tiba-tiba tubuh keduanya bergetar, Baskoro merasakan adanya desakan yang hendak keluar dari dalam tubuhnya.

Mendadak dia muntah. "Huuaaak!!"

Darah merah keluar bersamaan cairan berwarna hijau.

"Tahan, Baskoro... Tahan racun itu sudah ke-

luar!" seru Saraswati sekuat tenaga sambil tetap menyalurkan tenaga dalamnya untuk mendorong keluarnya racun dari tubuh Baskoro.

Baskoro muntah lagi.

Kali ini lebih banyak dari semula.

Dan sekali lagi Baskoro muntah darah. Bersamaan dengan muntahnya yang terakhir,

tubuh Saraswati terkulai dan pingsan.

"Ni mas!" seru Baskoro yang merasakan tubuhnya sudah agak pulih kembali. Dia melihat Saraswati nampak lemah sekali dan wajahnya amat pucat.

Baskoro menjadi sadar bahwa betapa banyaknya tenaga dalam yang dikeluarkan Saraswati hingga wanita itu pingsan.

Dia menjadi terharu melihat Saraswati yang nampak rela mengorbankan dirinya agar dia terbebas dari racun yang ganas itu. Hati-hati dia membaringkan tubuh Saraswati yang masih pingsan. Lalu hati-hati pula dia mengelap keringat yang mengalir di tubuh wanita itu.

"Maafkan aku, Ni mas, kau jadi begini karena menolongku " desisnya.

Baskoro dapat merasakan betapa baiknya wanita itu sebenarnya. Selama lima hari wanita itulah yang melayaninya karena dia masih sakit akibat racun dari cakaran Bimapati.

Dan diam-diam di hatinya telah tumbuh tunastunas cinta pada Saraswati. Baskoro masih tetap merasa heran sebenarnya. Apa yang telah dilakukan Saraswati hingga dia dicari oleh Bangsapati dan Bimapati.

Dia pun menjadi penasaran, sebenarnya ada apa di Gunung Tengkorak. Kini keinginannya untuk ke sana bukan lagi disebabkan oleh kesombongan dan kesokjagoannya, tetapi ingin mengetahui misteri apa yang terdapat di sana.

Menjelang senja, barulah Saraswati tersadar dari pingsannya. Begitu sadar yang dicarinya adalah Baskoro. Begitu dilihatnya Baskoro tidak ada di tempatnya dia menjadi panik.

"Baskoro! Baskoro!" serunya. Dia merasakan tubuhnya agak lemah akibat tenaga dalamnya telah terkuras. Dia memerlukan waktu kurang lebih sehari semalam untuk memulihkan tenaga dalamnya. "Baskoro.. di mana kau?!" serunya panik.

Tiba-tiba muncul Baskoro. Dia baru saja selesai mandi di sungai yang terdapat di belakang gubuk itu.

"Aku di sini, Ni mas. " desisnya pelan.

Saraswati langsung berbalik. Dan menubruk tubuh Baskoro.

"Kau sudah sembuh, Bas... kau sudah sembuh?"

Baskoro terharu melihat wanita ini benar-benar

mengkuatirkan dirinya.

"Berkat bantuanmu, Ni mas ..."

"Oh, aku gembira sekali melihatnya "

Perlahan-lahan Baskoro mendekap tubuh yang berada di dalam rangkulannya. Saraswati sedikit terjingkat kaget karena dia seakan baru menyadari kalau tubuhnya tadi memeluk tubuh Baskoro. Wajahnya merona merah karena malu.

Dia berusaha untuk melepaskan diri.

"Kenapa, Ni mas?" desis Baskoro mesra. "Kau tidak suka ku rangkul?"

"Oh, aku... aku " Saraswati nampak serba sa-

lah. Sesungguhnya di hatinya pun telah tumbuh tunas kasih sayang terhadap pemuda ini. Tetapi dia malu untuk mengungkapkannya. Namun sikapnya kali ini sudah menunjukkan rasa kasih sayangnya.

Makanya dia menjadi malu.

"Aku suka merangkulmu, Ni mas "

Wajah Saraswati makin memerah.

"Be. benarkah, Kakang?" desisnya pelan.

"Ni mas... Ni mas! kau memanggilku Kakang? Benarkah kau memanggilku Kakang?" suara Baskoro terdengar sesak karena gembira dan bahagia.

"Aku... aku...." desah Saraswati makin tersipu. Dia tidak bisa melanjutkan kata-katanya karena malu. Dan perlahan-lahan kepalanya tertunduk.

Dengan hati-hati Baskoro mengangkat dagu Saraswati, hingga mau tak mau gadis itu menatapnya. Baskoro menatapnya dengan mesra.

"Ni mas... aku... aku... ah!" Baskoro sendiri susah untuk mengungkapkan kata hatinya.

Saraswati yang menduga Baskoro sakit lagi akibat racun itu menjadi cemas. Dia belum tahu kalau kini Baskoro sudah terbebas dari racun itu.

"Kau... kau kenapa, Kakang? Racun itu menyakitimu lagi?" tanyanya cemas.

Baskoro menggelengkan kepalanya.

"Bu... bukan itu maksudku, Ni mas.. Aku... ah, kau tidak marah kalau aku ngomong sesuatu?"

"Kau belum mengatakannya Kakang. Sehingga aku tidak tahu harus marah atau tidak "

"Sungguh?" "Katakanlah, Kakang "

"Ni mas... aku... ah, entah kenapa.. aku tibatiba mencintaimu "

Saraswati menundukkan kepalanya.

Melihat gadis itu menundukkan kepalanya dan terdiam, hati Baskoro menjadi tidak enak. Meskipun dia sering berkencan dan mendatangi tempat pelesiran, Baskoro belum pernah sekalipun mencintai seorang wanita secara sungguh-sungguh. Pikirnya Saraswati marah karena dia telah lancang mengatakan cinta.

"Ah... . kau... kau marah, Ni mas? Maaf... maafkan aku... Aku... aku telah lancang berkata demikian," kata Baskoro terburu-buru.

Perlahan-lahan Saraswati mengangkat kepalanya. Baskoro dapat melihat kalau gadis itu menangis.

Perasaan bersalah makin menghunjam hati Baskoro.

"Aku... aku sungguh-sungguh minta maaf, Ni mas... Anggap... anggaplah perkataan ku tadi tidak pernah ada. " desisnya gugup.

"Bukan... bukan itu, Kakang Baskoro "

"Lalu lalu apa, Ni mas? Bukankah Kau marah padaku?"

Saraswati menggeleng. "Tidak Kakang "

"Kalau begitu... kau menerima cintaku?" desis Baskoro gembira.

Tetapi Saraswati malah terdiam. Kembali Baskoro menjadi bingung.

"Ni mas... kau bagaimana? Marah tidak, menerima cintaku pun tidak. Atau ah, kau menolak cinta-

ku?" desis Baskoro agak kecewa.

Saraswati buru-buru mengangkat kepala. "Bukan,  bukan  itu  maksudku,  Kakang Ta-

pi " kembali dia tertunduk.

"Tapi apa, Ni mas?"

"Oh, tidak... tidak..." Mendadak Saraswati melepaskan diri dari rangkulan Baskoro. Lalu dia menangis di sudut gubuk.

"Ni mas... Ni mas... kau kenapa?" tanya Baskoro sambil memburu.

"Kakang... kau begitu baik padaku," desis Saraswati terisak.

"Kau pun baik padaku, Ni mas "

"Bukan... bukan itu maksudku... Kau tidak tahu siapa aku, Kakang "

"Ni mas... mengapa kau berkata begitu? Aku tahu siapa kau? Kau adalah seorang wanita cantik yang pernah kukenal "

"Bukan, bukan itu, Kakang... Aku... aku ah,

aku adalah seorang wanita yang penuh dosa. "

"Aku tak mengerti maksudmu, Ni mas "

"Aku... huhuhu... aku tak pantas menerima cinta mu, Kakang.... Aku adalah wanita yang bergelimang dosa dan nista.   Kakang, harus kukatakan seca-

ra jujur sekarang    Semula aku memang berusaha untuk memikat kau dan kedua temanmu semata-mata untuk kujadikan sebagai tameng bila kedua orang itu, Bangsapati dan Bimapati datang mendapatkan aku... Saat itu, aku memang ingin melarikan diri... tetapi, entah kenapa pikiranku berubah saat melihat kau didesak Bangsapati.... Kakang... aku hanyalah wanita jahat, wanita jalang... Aku tak pantas mendapat cinta mu, Kakang "

"Jangan kau berkata begitu, Ni mas Aku pun

tak seperti sangkaan mu... Aku adalah pemuda sombong, sok jago dan berandalan "

"Tapi kau tak pernah terlibat kejahatan, Kakang " bantah Saraswati.

"Ni mas. ceritakanlah sebenarnya apa yang te-

lah terjadi sesungguhnya? Aku masih tidak tahu dengan apa yang telah terjadi "

Lalu dengan terisak Saraswati pun bercerita apa yang telah terjadi. Baskoro mendengarnya dengan sepenuh hati. Dia jadi terenyuh mendengar kisah itu.

Hati-hati didekapnya Saraswati.

"Ni mas... siapa pun adanya kau ini, aku tetap mencintaimu "

"Benarkah, Kakang?" tersendat Saraswati. "Percayalah padaku, Ni mas "

"Oh, Kakang Baskoro!" Saraswati berbalik merangkul Baskoro. Keduanya berangkulan erat sekali. Seakan tak mau dipisahkan. Dan hati keduanya telah menyatu.

Setelah itu, keduanya pun duduk. Hati Saraswati teramat bahagia. Malam mereka lewatkan berdua dengan penuh kebahagiaan dan penuh kasih sayang.

Setelah itu, Baskoro berkata sambil menatap langit-langit gubuk.

"Ni mas "

korak." "Ya, Kakang "

"Kupikir... kita harus segera ke Gunung Teng-

"Untuk apa, Kakang?"

"Kita harus menghentikan sepak terjang dari orang-orang Partai Tengkorak "

Saraswati terdiam. Lalu katanya, "Kakang...

kau belum mengetahui siapa sesungguhnya Tunggul Petaka, Ketua dari Partai Tengkorak. Dia adalah seorang yang sakti mandraguna. Belum lagi Bangsapati. Menghadapi Bangsapati saja aku belum tentu menang. Apalagi menghadap Tunggul Petaka. Dan yang perlu kau ketahui, Kakang... penjaga yang mengawal Tunggul Petaka jumlahnya hampir dua puluh orang. Dan rata-rata memiliki ilmu silat yang lumayan "

Baskoro terdiam. Dia menghela nafas panjang. "Ni mas... ketahuilah... selama ini kerja ku

hanya berbuat salah dan dosa. Bukankah bila aku berhasil membasmi Partai Tengkorak berarti aku bisa menebus semua dosaku?"

"Mungkin, Kakang Tetapi bukan hanya itu sa-

ja caranya. Kau bisa mengabdikan dirimu pada desamu. Dan kau bisa minta maaf pada orang-orang yang telah kau ganggu "

"Tapi "

"Kakang "

"Ni mas... keinginanku sudah bulat untuk datang ke Gunung Tengkorak. Masih ingatkah kau ketika pertama kali bertemu dan apa yang aku katakan?"

"Ya, Kakang. Kau ingin menetap di Gunung Tengkorak."

"Betul, Ni mas... dan keinginan itu masih ada hingga sekarang meskipun di sana ada orang-orang jahat bermukim. Ni mas... kau tahu bukan pekerjaan orang-orang itu?" "Ya."

"Mereka tentunya teramat jahat. Bahkan mereka suka membunuh, bukan?"

"Benar, Kakang "

"Nah," tidak berlebihan bukan bila kita datang ke sana untuk membasmi Partai Tengkorak itu."

"Tapi, Kakang "

"Pastilah kita akan menang... Karena sesungguhnya aku ingin membalas dendam atas kematian Suseno dan Randumoko....!" suara Baskoro berubah menjadi geram.

Kali ini Saraswati memakluminya. Dia sebenarnya ingin menolak keinginan Baskoro. Dia ingin menikmati kebahagiaan ini selama-lamanya, berdua saja dengan Baskoro.

"Kakang... bila itu maumu, kita pergi ke Gunung Tengkorak "

"Terima kasih, Ni mas. sebelumnya, besok pa-

gi kita pergi dulu ke desa ku. Kita minta bala bantuan dari penduduk desa, Ni mas "

Malam pan semakin larut.

7

Hampir sebulan lamanya Baskoro dan kedua temannya meninggalkan desanya. Hal itu membuat para orang tua mereka menjadi bingung, cemas dan panik.

Begitu pula halnya dengan Ki Lurah Sangsoko. Dia sedikit menyesali akan kesombongan ketiga pemuda itu. Berkali-kali dia mengadakan rapat di Balai desa untuk segera mencari ketiga pemuda itu ke Gunung Tengkorak.

Dan beberapa orang memang sudah menyanggupi untuk pergi ke Gunung Tengkorak.

Namun di kala senja sudah datang, penduduk desa itu dikejutkan dengan munculnya Baskoro dan seorang wanita cantik Saraswati sudah mengganti bajunya dengan yang lebih sopan.

Sesuai dengan rencana mereka dua malam yang lalu, besok paginya mereka pun segera menuju ke desa Baskoro. Sudah tentu para penduduk desa amat terkejut. Mereka berbondong-bondong keluar dari rumah untuk menemui Baskoro.

Ibu Baskoro langsung memeluki anaknya. Begitu pula dengan ayahnya.

Sedangkan ibu dari Suseno dan Randumoko mencari-cari ke mana anaknya. Setelah mereka yakin Baskoro hanya datang bersama wanita itu, mereka pun langsung bertanya.

Baskoro menjadi bimbang dan ragu. Tetapi dia merasa tidak boleh menyembunyikan suatu kebenaran. Lalu dengan hati-hati dia berkata,

"Bu... aku minta... kalian berdua menabahkan diri mendengar cerita ku ini," kata Baskoro kepada kedua ibu itu yang menunggu dengan cemas.

"Ada apa dengan anak ku, Suseno, Baskoro?" tanya ibunya Suseno.

"Anakku, anakku bagaimana, Baskoro?" sambung ibu Randumoko tidak sabar.

"Mereka... mereka mati terbunuh, Bu..."

"Oh, Tuhan!" seruan itu keluar dari mulut ibu Suseno dan ibu Baskoro. Dan tiga detik kemudian, kedua wanita setengah baya itu jatuh pingsan.

Orang-orang pun menjadi ribut, beberapa orang ibu, membimbing ibu Suseno dan Randumoko ke rumah masing-masing. Sementara Ki Lurah Sangsoko mengajak Baskoro ke Balai desa. Dan sebelumnya Baskoro memperkenalkan Saraswati pada para penduduk dan menyuruhnya untuk tinggal di rumahnya bersama ayah dan ibunya.

Di Balai desa Baskoro menceritakan apa yang telah terjadi. Sudah tentu mereka amat terkejut mendengarnya.

Ki Lurah Sangsoko berkata, "Hmm.. rupanya pencurian bayi yang terjadi di desa tetangga kita, ulah orang-orang Gunung Tengkorak "

"Benar, Ki Lurah... Dan kedatanganku ke sini, ingin mengusulkan kepada kalian semua, agar kita mendatangi Gunung Tengkorak dan membasmi orangorang itu," kata Baskoro.

Kata-katanya langsung disambut setuju oleh yang lain. Mereka pun menjadi geram mengingat Suseno dan Randumoko tewas di tangan orang Gunung Tengkorak.

"Benar, Ki Lurah! Kita serbu ke sana!" "Kita bakar markas mereka!"

"Kita bunuh mereka semua!"

"Kita ganyang mereka sampai ke akarakarnya!!"

Sahutan-sahutan ramai terdengar. Mereka jelas geram sekaligus dendam pada orang-orang Gunung Tengkorak

Ki Lurah Sangsoko menenangkan mereka. Dia pun setuju untuk menyerang ke Gunung Tengkorak.

"Kalau begitu... kita siap untuk menyerang ke sana. Dan hari ini pula kita harus mempersiapkan segala sesuatunya. Dan besok pagi, kita berangkat ke Gunung Tengkorak." Senja itu pula terlihat para penduduk desa menjadi sibuk. Ada sebagian yang segera mengasah senjata milik mereka. Berupa pisau, golok, parang, celurit dan tombak.

Sementara Ki Lurah Sangsoko masih berbicara dengan Baskoro.

"Baskoro... sebenarnya bagaimanakah keadaan di Gunung Tengkorak?" tanya Ki Lurah Sangsoko.

"Maafkan saya, Ki... sebenarnya saya belum sampai menginjak Gunung Tengkorak. Tetapi di tengah jalan kami bertemu dengan Saraswati, wanita yang bersama saya tadi. Dan terlibat perkelahian dengan dua orang dari Gunung Tengkorak. Dalam perkelahian itulah Suseno dan Randumoko tewas"

"Kalau begitu kau mengetahui keadaan Gunung Tengkorak dari wanita itu?"

"Benar, Ki Lurah..."

"Hmm...." Ki Lurah terdiam. Lalu katanya dengan hati-hati, "Kalau begitu... apakah dugaanku salah bila kukatakan wanita itu adalah salah seorang dari Partai Tengkorak? Mengingat dia begitu jelas secara pasti mengetahui keadaan Gunung Tengkorak?"

Baskoro terdiam. Memang, dia tadi tidak memberi tahukan siapakah Saraswati sebenarnya. Dikarenakan Baskoro takut para penduduk desa menjadi marah begitu tahu siapa Saraswati.

Pelan-pelan dia mengangkat kepalanya. Menatap Ki Lurah yang menunggu. Tatapan Ki Lurah Sangsoko begitu lembut dan bijaksana. Tidak ada kesan mendesak sedikit pun.

"Ki Lurah, apa yang kau katakan itu benar adanya. Saraswati memang bekas orang-orang Partai Tengkorak. Tetapi kini dia telah sadar, Ki... bahkan karena dialah kami sampai berkelahi dengan Bangsapati dan Bimapati. Saat kami bertemu dengannya, dia dalam keadaan dikejar-kejar oleh kedua orang itu. Karena Saraswati hendak berontak dari perkumpulan sesat itu. Namun dia juga sadar akan sangsi yang diberikan oleh orang-orang Partai Tengkorak, itulah sebabnya dia melarikan diri, Ki Lurah "

Ki Lurah Sangsoko mendesah panjang. "Aku mengerti perasaanmu, Baskoro. Kulihat kau mencin-

tai wanita itu dan begitu pula halnya dengan dia Bu-

kankah begitu?"

Baskoro mengangguk. Dia diam-diam sangat mengagumi kecerdasan Ki Lurah Sangsoko.

"Benar, Ki... saya amat mencintainya. Kini dia

telah insyaf dan berniat untuk menjadi wanita baikbaik... Ki Lurah... apakah Ki Lurah bersedia menerimanya sebagai penduduk desa di sini?" tanya Baskoro hati-hati.

Ki Lurah Sangsoko tersenyum. "Baskoro    kuli-

hat kau telah berubah dari perangai mu yang lama. Yah... bila wanita itu menjadi istrimu    secara otomatis

dia pun akan menjadi penduduk di desa ini "

"Oh, terima kasih, Ki Lurah "

"Baiklah, mari kita persiapkan segala sesuatunya untuk mendatangi Gunung Tengkorak "

8

Gunung Tengkorak, dari kejauhan nampak gunung itu sunyi dan menyeramkan. Namun ketika sudah dekat, nampaklah di tengah-tengah puncak gunung itu, sebuah bangunan besar, mirip dengan kuil.

Di bangunan itu, nampak beberapa orang penjaga yang semuanya mengenakan kalung tengkorak. Saat ini di ruangan tengah kuil itu, Tunggul Petaka sedang termenung. Dia masih memikirkan kekalahannya dari Madewa Gumilang. Dan dia bertekad untuk membalasnya.

Dan malam hari itu, tiba-tiba muncul Bangsapati dengan membopong mayat adik seperguruannya, Bimapati. Tunggul Petaka amat terkejut melihatnya. Dia tidak menyangka Dewi Baju Kuning, anak buahnya yang durhaka dapat mengalahkan keduanya, bahkan membunuh salah seorang dari mereka.

"Maafkan saja, Ketua... Dewi Baju Kuning... dibantu oleh tiga orang pemuda gagah... Dan dua orang pemuda itulah yang membunuh Bimapati..." kata Bangsapati sedih. "Namun saya sudah membalas kematian Bimapati "

"Bagus! Nah, Bangsapati... mulai saat ini kau berlatihlah! Karena aku menduga, Saraswati akan datang ke Gunung Tengkorak!"

"Benarkah, Ketua?" "Ya."

"Hmmm... Saraswati... kini tak ada jalan lain bagimu untuk meloloskan diri!"

Memang, selain ahli dalam ilmu silat Tunggul Petaka juga ahli ilmu peramalan.

Menurut bintang-bintang di langit, dia melihat dua buah bintang mendekati sebuah bintang yang cukup besar. Dan dia mengartikan, akan datang dua orang jago ke Gunung Tengkorak.

Dan sebelum purnama tiba, saat pertarungannya dengan Madewa Gumilang, Tunggul Petaka telah menyempurnakan ilmu yang baru dipelajarinya. Dan dia yakin, akan dapat mengubur nama besar Pendekar Bayangan Sukma selama-lamanya. Gunung Tengkorak akan menjadi sejarah di dunia persilatan.

"Ini merupakan sejarah terbesar dalam dunia persilatan..,. hahahaha!"

Tiba-tiba dua pengawal pengintai masuk ke ruang dalam dengan tergopoh-gopoh.

"Ada apa?!" si Cebol bulat itu membentak, membuat jantung kedua pengawal tadi seakan mau copot.

"Maaf, Ketua... kami melihat iring-iringan rakyat desa datang ke sini " lapor yang seorang.

"Mau apa mereka?"

"Mereka hendak menyerang kita, Ketua! Karena terlihat mereka membawa senjata apa saja. "

"Menyerang?" pekik Tunggul Petaka geli. Tibatiba dia terbahak, "Hahaha... orang-orang desa yang cari penyakit! Biarkan mereka mendaki sampai ke puncak, setelah itu hantam mereka sampai mampus semuanya... hahaha... tak kusangka mereka mau mampus di hari ini!"

Iring-iringan rakyat desa yang dipimpin oleh Ki Lurah Sangsoko dan Baskoro itu terus bergerak menuju puncak Gunung Tengkorak. Mereka semua nampak bersemangat sekali. Dendam telah membakar mereka, di samping mereka pun ingin membasmi Partai Tengkorak yang sesat itu.

Mereka tak mengenal lelah.

Setelah menempuh waktu dua jam untuk mendaki, iring-iringan itu tiba di puncak Gunung Tengkorak. Namun belum lagi mereka beristirahat, tiba-tiba terdengar seruan keras, "Serbuuuuu!!!!"

Dari balik semak, sekitar lima belas orang muncul dengan pedang di tangan. Dan barisan berpedang itu dengan cepat mengocar-ngacirkan iringiringan itu. Ki Lurah Sangsoko segera maju ke arena menghadapi seorang lawan.

Begitu pula dengan Baskoro.

Dan Saraswati alias Dewi Baju Kuning kembali berhadapan dengan Bangsapati yang nampak geram bukan main.

"Hhh! Akhirnya kau datang sendiri untuk menyerahkan nyawamu, Dewi...." dengus Bangsapati sambil melipat kedua tangannya di dada.

"Kau salah besar, Bangsapati... Aku datang justru ingin mencabut nyawa busukmu! Kau sudah tak layak untuk berlama-lama hidup, karena hanya membuat kerusakan dan keonaran di muka bumi ini!"

"Hei, pandai pula kau berkhotbah sekarang,

hah?!"

"Aku tidak sedang berkhotbah, Bangsapati! Ta-

pi aku datang memang ingin mencabut nyawa mu!" sahut Saraswati tegas.

"Bangsat! Buktikan ucapanmu itu, Dewi!" geram Bangsapati sambil menyerang.

Pukulannya cepat. Mengandung tenaga dalam yang cukup besar. Saraswati pun mulai menjajakinya. Dia tidak menghindar, melainkan menangkis.

"Des!"

Dua buah pukulan itu beradu. Saraswati merasakan tangannya kesemutan. Ini menandakan tenaga dalam Bangsapati lebih besar.

"Aneh, mengapa dia menjadi lebih hebat?" desis Saraswati dalam hati.

Namun Saraswati tidak sempat berfikir lagi, karena Bangsapati sudah menyerangnya kembali. Terjadilah pertempuran yang cukup sengit antara keduanya.

Sementara pertarungan yang lain pun berlangsung. Ki Lurah Sangsoko masih seimbang menghadapi seorang lawannya. Begitu pula dengan Baskoro.

Namun yang amat menyedihkan, adalah para penduduk desa yang hanya bermodalkan keberanian saja tanpa kebisaan apa pun. Maka dengan mudahnya mereka dibunuh oleh orang-orang Partai Tengkorak.

Jeritan pilu terdengar.

Pekik kesakitan mengumandang. Rintih kematian menggetarkan.

Suara senjata yang beradu cukup keras pula. Di puncak Gunung Tengkorak seketika banjir darah terjadi.

Saraswati sebisanya mengimbangi Bangsapati yang tengah diliputi dendam sehingga serangannya menjadi amat ganas dan berbahaya. Berulang kali serangannya mengancam jiwa Saraswati, yang dengan susah payah menghindar dengan jalan melompat ataupun bersalto. Dan sekali-kali dia masih berusaha untuk membalas.

"Kau harus mampus di Gunung Tengkorak ini, Dewi! Ini adalah rumah dan kuburanmu!" seru Bangsapati sambil terus menekan dan mendesak.

"Jangan bermimpi dapat mengalahkan aku, Bangsapati! Justru kaulah yang akan mampus di Gunung Tengkorak!" sahut Saraswati sambil bersalto menghindari sambaran kaki Bangsapati ke wajahnya.

"Wuuuut!" Tubuh itu bergerak memutar dua kali di udara. Dan hinggap dengan manisnya. Saraswati dapat melihat betapa banyaknya rakyat desa yang tak berdosa menjadi korban.

Untuk sementara dia sengaja meninggalkan Bangsapati. Diraihnya sebilah golok yang tergeletak di tanah. Lalu diapun memasuki pertempuran.

Goloknya berkelebat ke sana ke mari menyambar sasarannya.

Kini ganti terdengar pekikan dari mulut orangorang Partai Tengkorak. Dan darah mereka pun menyembur membasahi bumi.

Melihat hal yang tidak menguntungkan itu, Bangsapati pun menerjunkan diri ke pertempuran. Tangannya pun bergerak ke sana ke mari. Dan setiap kali tangannya bergerak pasti terdengar suara jeritan disusul dengan tubuh ambruk.

Dan Saraswati pun menjadi geram. Kalau dia tidak menahan amukan Bangsapati, bisa kacau balau. Semuanya bisa habis dibantai.

Di lain pihak, Baskoro sudah menyelesaikan lawannya. Namun begitu dia akan bergerak, menghadang lagi seorang lawannya. Dan kembali dia terlibat pertarungan.

Ki Lurah Sangsoko pun sudah menyudahi lawannya. Dia pun mengamuk dengan hebat dalam pertempuran. Namun dia merasakan ada sebuah pukulan yang teramat keras menimpa dadanya.

"Dukkkk!!"

Tubuh Ki Lurah Sangsoko terpental ke belakang. Dan ketika dia membuka matanya, di hadapannya berdiri satu sosok pendek cebol. Dan makhluk cebol itu terkekeh sambil berkacak pinggang.

"Rupanya kau pemimpin dari pengacau ini, hah?!" bentaknya dan seketika wajahnya berubah menyeramkan. Matanya bersinar memancarkan nafsu ingin membunuh.

Yang membuat Tunggul Petaka marah karena malam nanti adalah malam purnama. Di mana dia telah menantang Madewa Gumilang untuk bertarung.

Ki Lurah Sangsoko langsung menduga kalau si Cebol inilah yang bernama Tunggul Petaka sesuai dengan cerita dari Baskoro. Dia tahu, dia tengah menghadapi manusia sakti.

Namun Ki Lurah Sangsoko tidak takut sedikit pun. Bahkan dia pun bersiap. Memegang erat-erat goloknya. Matanya pun nyalang.

"Tunggul Petaka... akulah pemimpin dari semua ini! Dan kami datang ingin menghancurkan Partai Tengkorak!" seru Ki Lurah Sangsoko.

"Hahaha... tak kusangka kau pemimpin rupanya, Orang tua!"

"Cebol jelek! Kau rupanya yang bermimpi ingin berlama-lama bermukim di Gunung Tengkorak! Kami datang ingin membasmi gerombolanmu sampai ke akar-akarnya!" balas Ki Lurah Sangsoko.

"Besar mulut! Awas serangan!"

Si Cebol kecil Tunggul Petaka pun menderu maju menyerang. Ki Lurah Sangsoko terkejut. Karena orang itu mampu bergerak sedemikian cepatnya.

Serentak dia menghindar ke samping. Namun Tunggul Petaka cepat berbalik dan mengirimkan satu jotosan ke bahu Ki Lurah Sangsoko.

"Buk!"

Pukulan itu bersarang di bahu Ki Lurah, yang merasakan kesemutan.

Namun hal itu bukan membuat Ki Lurah Sangsoko menjadi takut, dia makin menggeram marah.

"Aku akan mengadu jiwa denganmu, Tunggul Petaka!" serunya seraya menyerang dengan golok terhunus ke depan.

Tunggul Petaka hanya terkekeh saja. Lalu bersalto dengan lincah. Tubuh cebolnya bak bola karet belaka. Begitu lentur setiap kali menjejakkan kaki di bumi, karena tubuh itu langsung melenting kembali.

Ini membuat Ki Lurah Sangsoko menjadi agak kewalahan. Di samping Tunggul Petaka bergerak sangat cepat, dia juga memiliki tenaga dalam yang besar.

Berulangkali pukulan dan tendangan Tunggul Petaka hampir mengenai sasarannya. Namun selama tiga jurus Ki Lurah Sangsoko selamat.

Tetapi pada jurus selanjutnya, nampaklah dia terdesak hebat. Dan satu jotosan membuat Ki Lurah Sangsoko terhuyung ke belakang dan muntah darah.

Tunggul Petaka terbahak, "Hahaha... mampuslah kau, Orang tua!!"

Tunggul Petaka menderu maju menyerang dengan pukulan lurus ke depan. Ki Lurah Sangsoko yang sudah menderita luka dalam, tak bisa berbuat apa-apa selain memejamkan mata dan pasrah pada nasib.

Tiba-tiba, "Des!!"

Terdengar sebuah benturan keras. Kaget Ki Lurah Sangsoko membuka matanya dan melihat satu sosok berjubah putih.

Begitu pula halnya dengan Tunggul Petaka yang merasakan pukulannya menghantam tembok besar. Dia pun kaget begitu melihat Madewa Gumilang berdiri di hadapannya.

Rupanya dialah yang memapaki serangannya tadi. Bangsat!

"Hhhh! Rupanya kau, Madewa Gumilang!" geramnya jengkel.

"Maafkan aku, Tunggul Petaka. Aku mengingkari janji. Purnama belum tiba dan malam pun belum datang, tetapi aku telah lancang berada di sini dan mengganggu keasyikan mu!" kata Madewa tetap tersenyum arif dan bijaksana.

"Mengingkari atau tidak mengingkari, yang pasti kau sudah berada di sini! Dan harap kau ketahui, Madewa... Gunung Tengkorak inilah tempatmu dikubur!" seru Tunggul Petaka sombong.

Madewa cuma tersenyum. Sementara diamdiam Ki Lurah Sangsoko terkejut mendengar siapa adanya laki-laki berjubah putih ini. Madewa Gumilang! Pendekar Bayangan Sukma! Dia sudah sering mendengar akan sepak terjang pendekar budiman itu. Dan dia tidak pernah menyangka akan berjumpa dengannya hari ini.

Diam-diam pula Ki Lurah Sangsoko mendesah gembira, merasa dewa penolong telah datang.

Sedangkan Tunggul Petaka menggeram marah. Dia tak mau membuang waktu lagi. Dengan memekik keras dia pun menerjang hebat.

"Mampuslah kau, Madewa!" geramnya seraya melancarkan pukulan lurus ke wajah Madewa.

Madewa memiringkan tubuhnya dan membalas dengan satu jotosan ke perut si Cebol. Namun Tunggul Petaka kembali memperlihatkan kegesitan dan kelincahannya. Tubuh itu mendadak saja berguling. Dengan hebat dan gesit.

Pukulan Madewa lewat di atasnya. Dan mendadak tubuh Tunggul Petaka bergerak berguling ke arah Madewa. Kakinya siap menyapu kaki Madewa.

Madewa pun bersalto. Namun tubuh si Cebol terus berguling dengan hebat mengejarnya. Saat dia berguling itu menimbulkan suara gemuruh yang hebat, juga debu-debu yang beterbangan.

Sementara rakyat masih menggempur berusaha masuk ke bangunan besar itu. Mereka dengan gigih menghadapi serangan-serangan dari orang-orang Partai Tengkorak.

Berkat kegigihan dan jumlahnya yang cukup banyak, mereka berhasil membunuhi orang-orang itu. Dan masuk ke bangunan besar itu.

Lalu mengobrak-abrik barang-barang yang ada di sana.

Dengan buas dan bernafsu.

Di luar pertarungan antara Baskoro dengan salah seorang pengawal berlangsung pula dengan seru. Namun melewati beberapa jurus kemudian, nampak Baskoro berada di atas angin.

Goloknya berkelebat ke sana ke mari dengan hebat. Mengancam bagian-bagian berbahaya bagi lawannya.

Tiba-tiba dia memekik keras. "Des!"

Goloknya berhasil menyambar tangan kanan dari lawannya hingga buntung. Di saat orang itu menjerit kesakitan, Baskoro langsung menghabisinya dengan menghunjamkan goloknya ke ulu hati lawannya.

Lalu mampuslah lawannya dengan bersimbah

darah.

Baskoro langsung menerjunkan diri pada perta-

rungan antara Saraswati dengan Bangsapati. Dia melihat Saraswati mendapatkan tekanan-tekanan yang hebat dari Bangsapati.

"Mampus kau, Bangsapati!" geram Baskoro sambil mengibaskan goloknya ke leher Bangsapati.

Bangsapati merundukkan kepalanya dan bersalto ke belakang.

"Hahaha... memang itu yang kuharapkan! Biar kau pun cepat mampus di tanganku!"

Baskoro menggeram marah.

"Kau harus membayar nyawa kedua sahabatku, Bangsapati!!"

"Membayar? Hahaha... atau kau yang akan menemani mereka di akhirat!"

"Manusia busuk!" geram Baskoro sambil menyerang dengan ayunan goloknya.

Saraswati pun bergerak dengan cepat. Dia sudah mengeluarkan jurusnya Menggulung Bara Api. Membuat Bangsapati agak kewalahan.

Belum lagi dengan serangan-serangan Baskoro yang ganas dan berbahaya. Membuatnya berulangkali bersalto menghindar.

Tiba-tiba dia melenting kembali dan di tangannya jurus andalannya Telapak Darah sudah dikeluarkan. Dia memburu dengan hebat pada Baskoro.

Sebisanya Baskoro mengibaskan goloknya untuk menahan serangan-serangan ganas Bangsapati.

Melihat hal itu Saraswati pun bergerak membantu. Membuat Bangsapati berpaling menyerang padanya. Dia pun tak mau dirinya dijadikan sasaran jurus Menggulung Bara Api milik Saraswati atau Dewi Baju Kuning yang dahsyat itu.

Kembali keduanya bertarung dengan hebat.

Baskoro pun datang membantu dengan ayunan goloknya. Hebat Bangsapati. Dalam keadaan membelakangi Baskoro dia bisa bersalto menghindar begitu dirasakannya desiran angin yang ditimbulkan dari ayunan golok itu mendekatinya.

"Hup!!"

Dia hinggap di tanah dengan ringannya. Merasa serangannya gagal dan dipengaruhi dendam untuk menuntut balas kematian kedua sahabatnya, Baskoro berbalik lagi dan menyerang. Namun ini merupakan kesalahan yang teramat fatal baginya.

Karena tiba-tiba pula Bangsapati bergerak memapakinya. Tangan kanannya menepak golok Baskoro hingga terlepas dari genggamannya. Dan tangan kirinya siap hinggap di dada Baskoro yang terbuka.

"Awaaassss!!" terdengar pekikan Saraswati dan menderu maju menghalangi pukulan Bangsapati pada Baskoro. Dan tanpa ampun lagi dirinya yang menjadi sasaran pukulan Telapak Darah milik Bangsapati.

Tubuh itu pun terpental dengan deras ke samping. Baskoro menjerit.

"Nimaaaasss!!" serunya seraya memburu. Dia mendapati dada Saraswati hangus oleh pukulan Telapak Darah Bangsapati. "Ni mas. " panggilnya.

Saraswati membuka matanya perlahan. Nampak layu dan tak bersemangat. Dia berusaha tersenyum. Dan keluar darah dari mulutnya. Dadanya serasa terbakar.

"Kakang...." panggilnya sambil menahan rasa sakit yang teramat sakit.

"Ni mas "

"Kakang... ah, sakit sekali, Kakang ,"

"Mengapa kau lakukan itu, Ni mas? Mengapa?" terbata-bata suara Baskoro.

"Kakang...."    Saraswati    tersenyum. "Karena... aku mencintaimu... aku... aku baha-

gia,  Kakang...  Aku...  aaahhh!!" Kepala itupun terkulai, dan nyawanya pun melayang.

"Nimaaaass!!" pekik Baskoro sambil memeluk tubuh yang telah menjadi mayat itu. Dia amat pedih. Sakit hati. Tiba-tiba dia berdiri. Dan menatap Bangsapati dengan tatapan membara. "Kau harus membayar semua yang telah kau lakukan, Bangsapati!"

"Hahaha... sebentar lagi kau pun akan menyusul heit!"

Belum selesai kata-kata Bangsapati, Baskoro sudah menyerang dengan hebat dan cepat. Dia harus membalas semua ini. Harus!

Sementara itu antara Madewa Gumilang dan Tunggul Petaka sedang terjadi benturan antara pukulan Angin Salju yang dilepaskan Madewa dan Pukulan Langit Biru yang dilepaskan Tunggul Petaka. Tubuh keduanya terpental. Dan seperti yang lalu, keduanya merasakan hawa dingin dan panas di tubuh mereka.

Tiba-tiba Tunggul Petaka memekik keras. Dan punahlah hawa dingin yang membelenggu itu.

Dia menggeram, "Madewa... kini terimalah jurusku yang berikut. Memusnahkan Gunung Karang!" serunya seraya membuka jurusnya.

Saat dia membuka jurus itu, Madewa dapat merasakan betapa besarnya tenaga dari Tunggul Petaka. Dia pun bersiap dengan pukulan Tembok Menghalau Badainya.

"Tahan serangan!" seru Tunggul Petaka sambil melesat ke arah Madewa.

Madewa pun bergerak dengan, cepat. Memapaki serangan itu.

Kembali dua benturan keras tak dapat dielakkan.

"Duaaaarrr!!"

Suaranya bagaikan ledakan sebuah bom yang keras. Daun-daun di sekitar sana berguguran.

Dari asap yang mengepul itu, terlontar satu sosok tubuh berjubah putih. Madewa Gumilang terhuyung ke belakang dan muntah darah. Sedangkan Tunggul Petaka tetap berdiri tegar di tempatnya.

"Hahaha... ternyata hanya begitu saja nama besarmu, Madewa Gumilang!"

Madewa mengusap darah yang keluar dari mulutnya. Dia dapat merasakan betapa dahsyatnya pukulan yang dilepaskan oleh Tunggul Petaka. Dan andaikata orang itu bukan Madewa Gumilang yang telah memiliki tenaga dalam tingkat maha sempurna tentunya orang itu sudah mati dengan tubuh hancur! "Sekarang... terimalah kematianmu, Madewa!" geram Tunggul Petaka sambil mempersiapkan diri lagi.

Kali ini Madewa tidak mau berbenturan untuk kedua kalinya. Dia merasa dadanya cukup sesak ketika memapaki serangan Tunggul Petaka tadi.

Dan tiba-tiba dia terdiam. Lalu perlahan-lahan tangannya terangkum di dada. Dari kedua tangan itu mengepullah asap putih. Itulah pukulan pamungkas yang dimiliki oleh Madewa Gumilang, Pukulan Bayangan Sukma! Terpaksa dia mengeluarkan pukulannya itu demi menahan serangan dari Tunggul Petaka.

"Majulah, Tunggul! Kita lihat siapa yang lebih digjaya!"

"Hahaha... kini kau harus mampus di tanganku, Madewa!" seru Tunggul Petaka dan tubuhnya menderu menyerang.

Lagi-lagi Madewa pun bergerak memapakinya. Dan mau tak mau kembali dua benturan pukulan sakti terdengar. Kali ini lebih hebat dari yang tadi. Lebih keras. Lebih dahsyat.

"DUAAAARRR!!!"

Ledakan keras terdengar kembali. Debu-debu beterbangan. Dan daun-daun kembali berguguran, Bahkan salah satu pohon yang tumbuh di sana tumbang akibat goncangan yang sangat hebat!

Kembali dari debu dan asap putih yang mengepul itu terlempar dua sosok tubuh. Sama-sama keras dan hebat.

Madewa terjatuh dan kembali muntah darah. Begitu pula dengan Tunggul Petaka. Tetapi tiba-tiba dia bangkit. Berdiri dengan gagah.

"Hahaha... ternyata kau tak mampu mengalahkan aku, Madewa! Hahaha... aku... oh, akhh... aaaaakkhhh!!" tubuh itu menjerit dan kelojotan. Lalu ambruk dengan tubuh hancur.

Madewa mendesah panjang. Betapa saktinya Tunggul Petaka. Namun Pukulan Bayangan Sukmanya ternyata lebih sakti.

Dia melihat Baskoro tengah terdesak hebat oleh Bangsapati. Madewa pun menggerakkan tangan kanannya. Dan serangkum angin besar menderu ke arah Bangsapati. Hingga dia terlempar dan menabrak pohon besar. Kepalanya pecah! Mampuslah Bangsapati.

Madewa pun berdiri. Dadanya masih terasa sakit. Dia berkata pada Ki Lurah Sangsoko yang telah berdiri di dekatnya.

"Kuburkan semua mayat-mayat di sini. Dan hancurkan bangunan itu! Aku masih harus mencari anak dan menantuku, Pranata Kumala dan Ambarwati!" katanya lalu "Wwwuuttt!"

Tubuh itu pun lenyap dari pandangan.

Ki Lurah Sangsoko mendesah. Dia belum mengucapkan terima kasih. Dan pelan-pelan dia berkata, "Terima kasih pendekar budiman "

Lalu dia pun menghampiri Baskoro yang sedang menangis di depan mayat Saraswati.

SELESAI



No comments for "Serial Pendekar Bayangan Sukma: 11 Pertarungan di Gunung Tengkorak"