Serial Pendekar Bayangan Sukma: 07 Pendekar Kedok Putih
07 Pendekar Kedok Putih
1
"Saya tak mengerti, Kakek."
"Seruling ini bisa menggetarkan jiwa dan membunuh," kata Ki Ageng Jayasih menjelaskan. "Kau harus menggunakannya dengan hati-hati. Jangan sembarangan, karena ini bukanlah seruling biasa. Kau baru boleh menggunakan seruling ini jika kau terdesak oleh suatu masalah yang amat gawat dan mengancam jiwamu "
"Kakek " potong Pranata.
"Ya?"
"Kalau begitu, untuk apa seruling itu aku bawa, kalau hanya menyengsarakan orang?"
"Pranata... pertanyaanmu sungguh bagus. Tak ada salahnya kalau seruling itu kau bawa tetapi harus kau ingat, jangan bunyikan seruling itu jika tak ada masalah yang mengharuskan kau membunyikannya.
Itu saja pesanku. Ingat, kau
meniup tanpa sebab, orang yang mendengarnya bisa mati terkena tiupan seruling itu."
Pranata mengangguk dan sejak saat itu dia menyimpan seruling naga dalam kamarnya. Dan membuat sebuah seruling biasa. Sampai dia pergi meninggalkan gunung Muria, sekali pun tak pernah ditiupnya seruling itu.
Keesokan harinya, Pranata sudah kembali berjalan. Tidurnya nyenyak semalam, dia menemukan sebuah goa Kecil yang nyaman untuk tidur.
Hari ini, dia ingin langsung menuju rumah ayah bundanya, menuju perguruan Topeng Hiram. Dengan mempergunakan ilmu larinya, Pranata berkelebat cepat. Ketika siang hari, dia berhenti di sebuah dusun kecil dan mampir di sebuah warung makan. Warung itu sepi, hanya ada dua orang yang sedang makan. Seorang laki-laki tua dan seorang wanita muda berpakaian ringkas dan berwarna kuning. Wanita menggunakan sebuah caping yang kini tercantel di lehernya. Wajah wanita itu kecil dan lonjong. Manis dengan hidung bangir dan mulut yang mungil. Kulitnya kuning langsat, mulus tanpa cacat. Wanita itu makan dengan santai. Pranata mengira-ngira, pasti umur gadis itu baru enam belas tahun.
Dan yang membuat dia selalu melirik adalah karena bibir gadis itu yang mungil indah selalu terbuka menutup ketika mengunyah. Juga tertarik karena gadis itu membawa sebuah pedang tipis dengan sarung yang indah. Pasti gadis itu bukan gadis sembarangan. Tak mungkin seorang gadis membawa pedang ke mana-mana. Dan nampak gadis itu seorang pengelana.
"Kenapa kau melihati aku, hah?" Gadis itu membentak keras dan tiba-tiba, membuat Pranata menjadi salah tingkah. Buru-buru ia mengalihkan pandangannya dan segera memesan makanan. Dia sendiri heran, sejak tadi dia belum memesan apa-apa, masih asyik menatap kecantikan gadis itu.
Gadis itu membentak lagi, "Laki-laki memang ceriwis! Tidak boleh melihat gadis sedikit pun!"
Matanya melotot tetapi Pranata tak mempedulikannya. Wajahnya menjadi memerah, ia ketahuan sedang menatap gadis itu. Huh, memalukan! Begitu hidangan tiba, dia buru-buru makan.
Gadis itu mendengus dan meneruskan makannya lagi namun sekali-sekali dia masih memperhatikan Pranata. Agaknya dia jengkel karena diperhatikan terus.
Selesai makan, dia menghampiri Pranata. Si-
kapnya angkuh dan sombong. Pranata hanya tenang saja. Ia pun baru menyelesaikan makannya.
"Hhh! Pemuda macam kau masih berani berlagak di depanku!" Gadis itu mendengus dan sengaja meletakkan pedangnya di samping Pranata dengan maksud agar Pranata jerih.
Pranata tersenyum dan berbalik, tatapannya beradu dengan tatapan gadis itu. Duh, sayang sekali tatapan itu sedang marah, kalau tidak betapa cantiknya dia.
"Maafkan saya, Nona. Saya menyesal, perbuatan saya itu telah membuat Nona marah...." katanya sopan.
"Hhh, enak saja! Kau tahu, aku tidak suka ditatap demikian, apalagi oleh hidung belang macam kau!"
Pranata menahan kemarahannya. "Saya hanya tertarik karena kecantikan Nona... tidak ada maksud lain selain itu. Juga dengan pedang, Nona. Saya heran... kenapa gadis secantik Nona membawa pedang?"
Wajah gadis itu memerah. Dalam hati dia senang dirinya dikatakan cantik, apalagi oleh pemuda tampan macam ini. Tapi gengsi dong kalau tahu-tahu berubah menjadi baik dan lembut.
Dia membentak lagi, "Apa urusannya dengan-
mu?!"
"Nona tidak takut membawa pedang itu? Kalau
saya... melihatnya saja sudah takut, apalagi membawanya "
Gadis itu mendengus meremehkan.
"Hhh! Ternyata kau hanya seorang yang penakut! Tapi kau punya keberanian juga menjawab semua pertanyaanku!" "Karena aku bisa menjawabnya, Nona." "Hhh...! Kau tidak takut kubunuh, hah?"
Pranata masih menyahut dengan tenang. Dia merasa bersalah dan menyesal telah memperhatikan gadis itu. Kalau tadi dia bisa menahan pandangannya, bukankah dia tidak akan mendapat kesulitan?
"Kalau aku bersalah, aku takut sekali dibunuh.
Tetapi aku tak bersalah... aku tidak takut dibunuh!" "Kau sudah bersalah!" seru gadis itu gusar.
"Rupanya kau punya keberanian sedikit, aku ingin lihat sampai di mana keberanianmu itu!" Gadis itu menyambar pedangnya dan menarik keluar. "Sreeet!"
Pedang yang mengkilat dan tajam itu, diacungkan tepat di hidung Pranata.
"Lawanlah aku, aku ingin lihat kau, orang yang pengecut tapi berani!" Gadis itu melompat keluar. Pranata menggaruk-garuk kepalanya serba salah.
Pemilik warung itu sudah ketakutan sekali. Laki-laki tua yang makan di sana pun sudah tidak kelihatan. Rupanya diam-diam dia sudah beranjak pergi.
Tak ada jalan lain selain melayani kemauan gadis itu. Gadis yang keras kepala. Pranata membayar apa yang dia telah makan lalu beranjak keluar. Sikapnya masih tenang.
Gadis itu sudah menunggu dengan kedua kaki mengangkang. Sikapnya benar-benar siap tempur. Pranata masih berusaha untuk menyabarkan gadis itu.
"Nona... untuk apa kita berkelahi. Tak ada gunanya. Aku pun sudah minta maaf, Nona "
"Sebelum kau layani aku, aku tak mau memaafkan. Atau kau ingin mencium kakiku?"
Geram juga Pranata dibentak demikian. Gadis ini harus diberi pelajaran. "Hei, ayo kau bersiap!" gadis itu membentak. "Atau... kau rela kepalamu pisah dari lehermu "
"Nona... aku tak punya kepandaian apa-apa...
aku takut melihat pedangmu."
"Bah, kau takut denganku atau pedangku?" "Dua-duanya, Nona."
"Bagus, sekarang cium ujung kakiku!"
Merah wajah Pranata. Dia benar-benar telah dihina. Gadis itu memang harus diberi pelajaran.
"Kalau harus mencium kaki, aku yang bodoh ini, akan melayanimu semampu ku."
"Bagus! Bersiaplah!" seru gadis itu seraya menerjang dengan cepat. Pedangnya menyabet ke kaki Pranata. Pranata melompat berkelit. Serangan itu luput dan membuat gadis itu penasaran. Dia menggerakkan lagi pedangnya, kali ini membuat gerakan menusuk. Lagi-lagi Pranata menghindarinya. Dua kali serangan itu gagal dan semakin membuat gadis itu penasaran.
Dia bergerak lebih cepat lagi. Sabetan, tusukan dan bacokan pedangnya bergerak dengan cepat. Namun sampai sejauh itu, tak satu pun yang mengenai sasarannya. Pranata masih menghindar saja. Tidak membalas.
"Hei, ayo balas! Atau bisa mu hanya menghindar saja!" seru gadis itu jengkel, padahal dia tengah menutupi kekesalannya karena pemuda itu ternyata mampu menghindari serangannya.
"Aku tak ingin membuat permusuhan denganmu, Nona!" kata Pranata sambil melompat dan bersalto ke depan. Gadis itu memekik takjub, ternyata pemuda itu memiliki kepandaian juga. Dia menjadi malu dan kesal, untuk menutupi semua itu, dia menyerang asal saja. Jurusnya menjadi kacau. Pranata mengetahui hal itu pasti gadis itu malu karena serangannya selalu gagal. Tiba-tiba Pranata menerjang maju, masuk ke gulungan pedangnya.
"Sreet...!" sebuah sabetan mampir di lengan kanan Pranata. Pranata mundur ke belakang. Lengan kanannya mengeluarkan darah.
"Aku menyerah, Nona. Kau sungguh lihai "
Tetapi gadis itu malah menyerang dengan buas. Ia tahu, Pranata hanya ingin membuatnya senang. Tak mungkin serangan yang lamban itu berhasil mengenai bahunya. Pasti pemuda itu sengaja dan membuat gadis itu merasa terhina. Dia terus menyerang dengan cepat. Pranata menjadi kesal, sudah diberi keringanan dan kesenangan malah menyerang terus.
Dia membentak keras dan bersalto ke belakang, lalu berkelebat pergi dengan cepat.
"Nona. aku tak mungkin melayanimu lagi! Kau
sungguh lihai, Nona ! Tetapi sayang, kau kurang ber-
latih! Maafkan aku, karena pertempuran itu hanya membuang tenaga saja dan menambah permusuhan!"
Dan bayangan Pranata menghilang. Gadis itu memburu tetapi bayangan pemuda itu sudah tak nampak.
Dia berhenti dengan hati kesal. Ternyata kepandaiannya tak berguna di hadapan pemuda itu. Dia malu, marah, kesal, jengkel, terhadap pemuda itu. Kapan-kapan dia akan membunuhnya!
Sambil menahan kesal dan tangis dia berlari kembali ke rumahnya. Nanti dia akan menyuruh ayahnya mencari pemuda itu.
*** 2
Perguruan Topeng Hitam adalah sebuah perguruan yang besar dan megah, dipimpin oleh seorang pendekar sakti yang bernama Madewa Gumilang dan istrinya yang tak kalah hebatnya, Ratih Ningrum.
Usia keduanya sudah bertambah sembilan tahun, sungguh suatu perubahan yang tak terasa sekali. Kedua semakin tua, namun tak mengurangi kegagahan mereka sebagai pendekar-pendekar yang selalu membela kebenaran dan keadilan. Yang menjadikan nama mereka semakin disenangi lawan dan kawan. Perguruan Topeng Hitam warisan Paksi Uludara, semakin menajak namanya. Murid-muridnya pun dinilai sebagai orang-orang yang baik dan selalu menolong.
Sebagai ketua, Madewa sangat dihormati oleh murid-muridnya. Mereka menganggap Madewa sebagai orang tua mereka yang gagah dan perkasa.
Hari ini Madewa Gumilang berada di kamarnya. Ia memperhatikan istrinya yang sejak tadi dilihatnya murung. Nampak memikirkan sesuatu. Entah apa. Madewa bertanya karena ingin tahu.
"Rayi Ratih Ningrum... ada apa gerangan yang mengganggu pikiran Rayi? Sejak tadi kulihat Rayi selalu murung..., Ada apa, Rayi.... Katakanlah, aku ingin tahu dan barangkali aku bisa membantu memecahkan persoalanmu itu, Rayi. Katakanlah "
Ratih Ningrum membalikkan tubuhnya. Menatap wajah suaminya yang nampak masih tampan, dan sisa-sisa ketampanannya belum menghilang.
"Kakang Madewa... apakah Kakang tidak tahu apa yang selama ini mengganggu pikiranku?" Suara Ratih Ningrum lembut dan manja. "Kau belum mengatakannya Rayi... bagaimana aku bisa tahu?"
"Kakang... hampir sembilan tahu kita berpisah dengan putra kita satu-satunya, Pranata Kumala. Tentang dialah yang menjadi pikiranku. Sampai selama ini Kakang... kita tidak tahu bagaimana kabarnya..,. Apakah dia sehat-sehat saja atau tidak Aku rindu seka-
li, Kakang. Aku ingin melihat dia sekarang. Pasti dia telah tumbuh dengan gagah perkasa. Pasti anak kita tampan dan gantengnya, Kakang? Seperti dirimu "
Madewa tersenyum, jadi itu masalah yang mengganggu istrinya Yah dia sendiri pun rindu pada
putranya. Sembilan tahun mereka tak bertemu dengan Pranata Kumala, kerinduan itu selalu datang dengan sendirinya. Madewa merasa dan yakin, anaknya telah tumbuh menjadi pemuda gagah dan kuat. Juga mempunyai ilmu kesaktian yang amat tangguh.
Murid Ki Ageng Jayasih tidak boleh mengece-
wakan.
"Aku pun rindu padanya, Rayi " kata Madewa
sambil membelai rambut istrinya.
"Yah... aku ingin sekali melihatnya, membelainya, menciumnya dan mendekapnya, Kakang. Oh... Pranata... kapan kau akan kembali ke pangkuan ku "
"Jangan kau pikirkan selalu, Rayi. Nanti putra mu tak bisa tenang menuntut ilmu."
"Tetapi sudah sembilan tahun, Kakang! Aku sangat rindu padanya."
"Aku juga begitu, Rayi. Tetapi aku bersabar, aku menahan semua rindu itu... karena aku tahu, Pranata akan kembali lagi kepada kita. Kembali sebagai putra yang baik dan patuh kepada ayah bundanya."
Mata Ratih Ningrum membasah. Kerinduannya sangat menjadi-jadi. Malam semakin larut. Madewa meninggalkan istrinya, biar wanita itu puas menumpahkan kerinduannya lewat air mata.
Madewa melangkah ke ruang tengah dari bagian perguruan Topeng Hitam itu, yang bersatu dengan ruangan yang di tinggalinya bersama istrinya. Ia duduk di kursi, menatap keremangan malam yang gelap.
Madewa juga heran, kenapa sampai sembilan tahun ini putranya belum kembali. Padahal kalau dia pikir, pasti semua ilmu yang diajarkan Ki Ageng Jayasih sudah tamat. Tetapi putranya belum kembali juga.
Rasa rindu di dada Madewa Gumilang pun terasa menyesakkan, sulit untuk dilampiaskan kepada siapa pun. Dia pun sangat ingin melihat dan mendekap putranya.
"Kapan kau akan kembali putra ku...." desah Madewa Gumilang sambil tetap menatap ke luar. "Ayah bundamu sudah tua... ingin sekali melihatmu berada di antara kami, putra ku "
Malam hening. Di luar penjagaan dilakukan oleh empat orang murid perguruan Topeng Hitam. Bergantian setiap malam. Mereka menjaga di setiap sudut. Tetapi sejak sembilan tahun yang lalu, tak ada sekali pun gangguan yang amat mengganggu dan mendesak, walaupun ada hanya gangguan kecil yang bisa diselesaikan secara musyawarah dan damai. Misalnya seperti, pertengkaran antar murid. Madewa selalu mengadakan musyawarah dan mendamaikan mereka secara kekeluargaan dan menasehati mereka panjang lebar. Kalau pertengkaran itu bisa menimbulkan perpecahan, dan perpecahan bisa menyebabkan pertumpahan darah, dan kematian. Itu semua harus dihindarkan agar selalu terjadi persaudaraan yang erat. Karena nasehat itulah tak pernah ada lagi terdengar pertengkaran antar murid. Mereka sangat menjunjung tinggi nasehat dan nama baik ketua mereka, Madewa Gumilang.
Pada keesokan harinya, Ratih Ningrum bangun dengan mata sembab, rupanya semalam dia menangis memikirkan Pranata Kumala. Madewa Gumilang menghibur dan Ratih Ningrum hanya mengangguk dan berjanji akan berusaha bersabar dan selalu berdoa agar nasib putranya baik.
Ketika matahari sepenggalah, masuk dua orang murid dan menghormat.
"Maafkan kami, Ketua. " kata salah seorang.
"Hmm, ada apa?"
"Di luar ada beberapa orang tamu yang hendak bertemu dengan ketua. " "Siapa mereka?"
"Salah seorang dari mereka mengaku bernama Sandirwo. Seorang kaya raya juragan emas."
"Hmm, baik. "Madewa manggut-manggut." Suruh mereka masuk dan tunggu aku di ruang tamu "
Kedua murid itu menjura dan mundur ke belakang. Madewa menatap istrinya.
"Ada tamu untukku, Rayi. Aku menemui mereka dulu."
Ratih Ningrum mengangguk. Madewa segera beranjak ke ruang tamu. Di sana sudah menunggu tiga orang laki-laki dan salah satunya seorang laki-laki bertubuh gemuk namun tinggi. Dia memegang sebuah pipa dan menghisapnya dengan nikmat. Begitu melihat Madewa muncul, dia berdiri dan tertawa.
"Ha... ha maafkan kami, Ketua perguruan To-
peng Hitam. Kedatangan kami mengganggu ketenangan Saudara ketua."
Madewa tersenyum lalu duduk.
"Aku tidak merasa terganggu. Silahkan Saudara, ada keperluan apa datang kemari." Laki-laki itu tak lain adalah Sandirwo, hartawan yang kaya raya. Dua laki-laki yang di sampingnya adalah Kadir, putranya dan Semangkun, salah seorang pengawal utamanya. Kedatangannya kemari adalah meminta bantuan orang-orang perguruan Topeng Hitam untuk mengawal emasnya kembali bahkan kalau bisa, mencari emasnya yang hilang dirampok beberapa hari yang lalu.
Madewa hanya manggut-manggut. Orang-orang Topeng Hitam bukan orang yang mau berpangku tangan saja. Mendengar kalau jalan menuju desa Pacitan dikuasai oleh para perampok, tentu saja Madewa bersedia membantu.
"Lalu Saudara hendak mengirimkan kembali emas itu?"
Sandirwo mengangguk. "Yah... kami membutuhkan pengawal yang tangguh untuk menjaga emas kiriman kami."
"Baik, kapan itu akan dilaksanakan?" "Dua hari lagi."
"Baiklah, perguruan Topeng Hitam akan bersedia membantu. Untuk memberantas orang-orang jahat itu "
Wajah Sandirwo nampak cerah, nafasnya kembang-kempis gembira. Setelah membicarakan semuanya yang perlu, mereka berpamitan. Di luar menunggu sebuah kereta kuda dengan en am orang pengawalnya. Sandirwo masuk ke kereta kuda itu dan melambai. Rombongan itu bergerak meninggalkan perguruan Topeng Hitam. Madewa manggut-manggut. Baru didengarnya lagi kalau orang-orang jahat yang menamakan diri gerombolan Golok Iblis beraksi dengan penuh kekejaman.
Madewa mendesah. Untuk kebaikan, ia tak segan mengirimkan anak buahnya. Bahkan kalau perlu, dia sendiri yang turun tangan.
***
Setelah dikalahkan oleh Pranata Kumala, gadis manis itu berlari sambil terisak. Dia tidak menyangka kalau pemuda yang kelihatan lemah itu lebih lihai darinya. Bahkan gadis itu yakin, kalau pemuda itu menghendakinya, pasti dia roboh di tangannya.
Mengingat itu, gadis manis itu semakin kencang berlari dengan rasa malu yang amat sangat dan dadanya terasa mau pecah karena tak kuasa menahan isak. Tiba-tiba dia menjatuhkan diri di sebuah pohon. Kakinya sudah letih untuk melangkah lagi, tenaganya pun sudah terkuras. Ia menangis tersedu-sedu di bawah pohon itu. Menangisi rasa malunya yang amat besar. Kalau dia ingat wajah pemuda itu, ingin dibunuhnya saja. Pemuda itu sengaja mempermainkannya, sengaja ingin membuatnya malu. Sebel. Sebel. Awas kalau bertemu nanti, dia akan menebus semua rasa malu ini dengan pedangnya!
Tiba-tiba gadis itu mendongakkan kepalanya. Ia mendengar suara langkah mendekatinya dan seperti baru sadar dia memperhatikan sekelilingnya. Ternyata dia sendiri, berada di tempat yang sepi ini dan tempat ini merupakan sebuah hutan kecil. Mendengar langkah itu, wajah gadis itu menjadi pias, agak takut. Siapa yang tidak takut di tempat sesunyi ini mendengar langkah menggeser?
Gadis itu buru-buru berdiri, tenaganya seolah pulih kembali. Dia mencabut pedangnya, untuk menjaga segala kemungkinan yang tak diingini. Matanya memperhatikan sekitarnya dengan waspada. Diam-diam dia menyesali dalam hati, karena saking marah dan malunya, dia tidak memperhatikan jalan hingga secara tidak disengaja tersesat ke hutan kecil ini.
Gadis manis itu bersiaga dengan pedang di tangannya. Tiba-tiba terdengar suara kekeh yang menakutkan dari sampingnya. Gadis manis itu memekik kaget dan berbalik dengan pedang siap menusuk.
"He... he... he "
Tawa itu terdengar dari mulut seorang pemuda jembel. Pakaian pemuda itu compang-camping. Rambutnya awut-awutan tak keruan. Dia memegang sebuah tongkat dan kakinya tak beralas. Sekujur tubuhnya kotor, bahkan cenderung tercium bau yang memuakkan.
Gadis manis itu menahan nafasnya agar tidak mencium bau busuk itu. Untunglah angin bertiup ke arah barat, hingga bau itu tidak begitu menerpa hidungnya.
Dia membentak, "Kau siapa, pemuda jembel?!" Pemuda yang berpakaian seperti pengemis itu,
terkekeh seraya mendekat.
Gadis itu mengangkat pedangnya. "Jangan dekati aku, Pemuda jembel!"
Tetapi pemuda pengemis itu hanya tertawa saja. Ia terus mendekat. Gadis itu semakin panik. Mundur perlahan-lahan.
"Jangan mendekat...! Jangan !"
"He... he... aku tidak akan berbuat apa-apa, Gadis manis.... Kau terlalu galak rupanya "
"Tapi tapi kau mau apa?"
"He... he. aku hanya heran, gadis manis seper-
ti kau berada di hutan yang sunyi ini "
"Aku... aku " "Aku tahu kau pasti tersesat. Tetapi tak mengapa, karena kalau tidak ada kau... udara yang sangat dingin ini pasti akan menusuk kulitku... he... he "
Gadis manis itu menggeleng-geleng antara tak mengerti dan ketakutan.
"Kau kau mau apa?"
He... he... kelinci manis tak boleh disiasiakan.... Makanan yang lezat pada udara yang sangat dingin ini. Mari manis... kemarilah...." Pengemis itu menyeringai.
"Kau? Ih!" Gadis itu menepak tangan pengemis jembel yang akan memegang tangannya dengan jijik. Dan menyabetkan pedangnya, tetapi pengemis itu dengan lincah menghindar.
"Marilah, Manis. Kita bersenang-senang di udara dingin ini. "
"Tidak, tidak!" Gadis itu melompat ke kiri, menghindari pelukan pengemis jembel yang terkekehkekeh dan berbalik, kini berhadapan lagi.
"Kau tak akan lepas dari tanganku, Manis. "
Pengemis jembel itu bergerak menubruk lagi. Tetapi gadis itu cepat menggerakkan pedangnya membuat pengemis jembel menghentikan gerakannya. Namun sungguh hebat, dia bersalto dan berada di belakang gadis itu. Langsung menubruknya. Tetapi lagi-lagi gagal, karena gadis itu sudah berkelit karena merasakan dorongan angin yang kuat.
Pengemis jembel itu terkekeh dengan hati penasaran. Ia bergerak lagi, kali ini menggerakkan tongkatnya dengan gerakan menotok. Gadis itu berkelit dan menangkis dengan pedangnya.
"Trak !"
Lalu buru-buru dia menghindar ketika pengemis jembel menubruknya. Gadis itu menusukkan pedangnya, ketika pengemis itu terdorong ke depan oleh tenaganya sendiri. Tetapi tusukan itu gagal, karena tahu-tahu pengemis jembel bergulingan dan kakinya menggaet kaki gadis itu hingga kehilangan keseimbangan. Dia menjerit kaget dan jatuh bergulingan. Kesempatan itu digunakan oleh Pengemis jembel untuk bangkit dan menerkam.
Tetapi lagi gagal, karena gadis itu berguling. Tetapi mendadak pengemis jembel menggerakkan tongkatnya dan "Tuk!" sebuah totokan mampir di tubuh sang gadis dan membuatnya tak dapat bergerak. Matanya melotot marah.
"Lepaskan aku...! Lepaskan!"
Pengemis jembel itu bangkit dan terkekeh. Mangsa sudah di tangan, mana mungkin untuk dilepaskan. Dia menghampiri seraya menyeringai lebar.
"He... he... pasti tubuhmu hangat, gadis manis. Tak sia-sia aku bekerja keras untuk menaklukkan mu!" Dan dengan cabulnya pengemis itu menjalankan tongkatnya dari leher gadis itu turun ke bawah. Di dada dia menggerak-gerakkan tongkatnya lebih lama dan semakin lama semakin turun.
Gadis itu menjerit-jerit marah.
"Lepaskan aku, pengemis cabul! Lepaskan !"
"He... he... he... benar-benar luar biasa tubuhmu, Gadis."
Pengemis itu nanar matanya melihat kemontokan dan keindahan tubuh gadis itu. Dua membuang tongkatnya dan mulai membuka bajunya.
Gadis itu semakin ketakutan. Dia berseru-seru marah dan gusar, namun seruannya hanya di-anggap angin saja. Pengemis itu membungkuk dan "Breet !"
sobek pakaian di bagian dada gadis itu, menampakkan payudaranya yang masih muda namun mengkel keluar. Melihat itu nafsu birahi si pengemis semakin menjadi-jadi. Dia mulai menciumi tubuh gadis itu yang menjerit-jerit minta dilepaskan.
"Bangsat cabul!" tiba-tiba terdengar bentakan dan erangan pengemis itu yang jatuh bergulingan karena terkena tendangan.
Pengemis itu bangkit dengan gusar dan melihat siapa yang telah mengganggu kesenangannya. Ternyata seorang laki-laki yang wajahnya ditutupi kedok putih. Pengemis itu geram dan membentak, "Siapa kau?!" "Aku adalah aku... yang tak suka melihat kelakuanmu," kata si Kedok Putih sambil membungkuk. Ia memejamkan matanya dan membebaskan totokan pa-
da tubuh gadis itu.
Melihat itu si pengemis menjadi jengkel, dia memungut tongkatnya dan membentak dengan gusar, "Hhhm orang muda! Kau telah berani mengganggu kesenanganku! Kau belum tahu rupanya siapa aku?!"
Orang berkedok putih itu tertawa.
"Katakanlah, biar aku bisa mengenang mu sebelum mati nanti "
Pengemis itu mendengus marah.
"Hhh! Akulah salah seorang anggota dari Partai Pengemis Sakti!"
"Hmm... jadi kau merasa sakti?" ejek si Kedok
Putih.
Diejek demikian, si pengemis yang bernama
Ayasumo menggeram marah. Ia jengkel sekali
karena kesenangannya diganggu. Biarlah si Kedok Putih merasakan kesaktiannya bermain tongkat.
Dengan ganas dia menerjang maju. Ayunan tongkatnya sangat cepat, namun si Kedok Putih lebih cepat lagi. Dia berkelit dengan lincah, melihat serangannya luput, Ayasumo menjadi geram dan penasaran, dia menyerang lagi. Kali ini lebih ganas dan dahsyat. Gerakannya cepat dan tenaga ayunan tongkatnya menimbulkan desiran angin yang amat kuat. Tetapi lagilagi dengan ringan si Kedok Putih menghindar dan membalas.
"Des...!"
Pukulannya bersarang di dada Ayasumo yang terhuyung ke belakang. Pukulan itu betapa kerasnya dan membuatnya semakin bernafsu. Dia menyerang lagi dengan ayunan tongkatnya yang sangat cepat, berguling-gulung siap menerjang si Kedok Putih.
Kembali si Kedok Putih memperhatikan kelincahannya dalam mengelak, tak satu pun serangan Ayasumo yang mengenai sasarannya. Bahkan si Kedok Putih sudah tiga kali membalas memukulnya.
Ayasumo terhuyung lagi dengan dada yang dirasakannya amat sakit. Dia merasa tidak mampu menghendaki orang yang berkedok putih itu. Maka sambil menahan rasa sakitnya, dia melompat dan menghilang di keremangan malam.
Si Kedok Putih tergelak-gelak. Rupanya pengemis jembel itu penakut, tetapi dia segera menghentikan tawanya. Partai pengemis Sakti, adalah kumpulan pengemis yang kejam. Pasti orang itu akan memanggil temannya.
Buru-buru dia menoleh kepada gadis manis itu yang sudah merapikan pakaiannya, namun masih belum sempurna, karena sobek di bagian dadanya agak besar.
Si Kedok Putih, berkata, "Cepat kau pergi dari sini, orang tadi pasti akan datang lagi."
Gadis itu menggeleng-geleng ketakutan, separuh terisak. Dia tadi baru saja menerima kekalahan dan malu dari Pranata Kumala dan sekarang hampir saja kehormatannya direbut orang! Betapa malu dan mengerikannya. Dia hanya menatap si Kedok Putih yang menghela napas panjang.
"Siapa namamu?"
"Ambarwati " suara gadis itu lemah.
"Cepat kau tinggalkan tempat ini, Ambar. Pulanglah... sebelum orang-orang itu datang lagi Ce-
pat, Ambar. "
Mendengar suara yang halus tapi penuh bujukan itu, Ambarwati mengangguk, dia cepat berlari padahal dia tidak ingin pergi karena belum mengucapkan terima kasih, tetapi kata-kata si Kedok Putih benar adanya, karena baru beberapa menit dia pergi, datang lima orang dari partai pengemis sakti itu dan salah satunya pengemis yang tadi si Ayasumo.
Si Kedok Putih terbahak.
"Ha... ha... rupanya partai Pengemis Sakti adalah orang-orang pengecut, yang beraninya hanya mengganggu wanita dan mengeroyok orang!"
Salah seorang dari mereka yang berberewok tebal dan bertubuh besar, bertanya kepada Ayasumo, "Dia orang yang telah menghinamu, Ayasumo?"
"Iya, Kakang."
"Ha... ha ternyata, kau memang seorang yang
pengecut! Kalau kau digjaya, majulah, bertanding denganku satu persatu!" Si Kedok Putih terbahak-bahak.
Kakangnya Ayasumo yang bernama Rinjahgede mendengus marah, merasa adiknya telah diejek.
"Hei, orang berkedok! Kalau kau jantan, buka kedokmu! Kita bertempur satu lawan satu!" seru Rinjahgede keras.
"Ha... ha... kalau kau mampu, bukalah kedok ku! Tak usah malu, kalian semua boleh mengeroyokku!" "Bangsat!" Rinjahgede menggeram marah dan maju menyerang dengan sabetan tongkatnya. Angin sabetan itu betapa kuatnya. Namun si Kedok Putih cuma berkelit sedikit ke samping dan menghantam kaki Rinjahgede dengan kakinya.
"Des...! "Rinjahgede tersuruk ke depan, apalagi tenaga dorongannya tadi sudah begitu kuat dan sekarang dihantam kakinya, semakin keras dia ambruk ke tanah.
Si Kedok Putih terbahak.
"Ha... ha... ada gajah jatuh! Seram sekali bunyinya!"
Melihat Rinjahgede ambruk, yang lain segera maju menyerang. Rinjahgede sendiri pun sudah bangkit dengan marah dan membantu mengeroyok. Lima buah tongkat bergerak dengan cepatnya, siap mencari sasaran yang empuk. Begitu deras dan memusingkan, karena mereka menyerang dari arah yang berlainan. Namun si Kedok Putih tetap tenang dan berhasil meloloskan diri. Tak satu pun tongkat-tongkat itu yang mengenai sasarannya, bahkan membuat mereka penasaran.
Suatu ketika si Kedok Putih membentak dan tubuhnya melenting ke atas. Orang-orang itu segera memburu ketika dia hinggap di tanah, namun tiba-tiba si Kedok Putih mengibaskan tangannya. Dan sebuah dorongan angin yang amat besar menghantam orangorang itu hingga jatuh bergulingan.
Rinjahgede segera bangkit dan menyerang. Seluruh kekuatannya dia kerahkan, namun si
Kedok Putih tidak mau kalah. Kali ini dia pun maju ke dean, menyambut serangan Rinjahgede. "Plaak...!"
Dua buah tenaga keras berbenturan dan tubuh Rinjahgede terhuyung ke belakang sedangkan si Kedok Putih tetap di tempat dengan tubuh tak kurang suatu apa.
Dari situ sudah terlihat, kalau tenaga dalam si Kedok Putih lebih Besar daripada Rinjahgede. Rinjahgede mendengus dan memerintahkan anak buahnya untuk menyerang si Kedok Putih.
Tetapi sebelum serangan itu mengenai sasarannya, si Kedok Putih sudah mengibaskan tangan. Dan tubuh-tubuh itu jatuh bergulingan. Rinjahgede bangkit dengan gusar. Ia menyerang dengan kedua kepalan tangannya.
Namun si Kedok Putih sudah enggan untuk bermain-main lagi. Ketika Rinjahgede menyerang, dia bersalto ke depan dan berbalik, tendangannya mampir ke punggung Rinjahgede yang langsung tersuruk ke depan dan ambruk dengan muntah darah. Dia merasakan sakit yang amat sekali. Anak buahnya segera menyerang dan dengan kecepatan yang hebat, si Kedok Putih berkelebat menghantam mereka satu persatu hingga berjatuhan kembali. Gerakannya sukar diikuti oleh mata, sangat cepat.
Rinjahgede yang bersusah payah bangkit dihantam kembali oleh si Kedok Putih. Rupanya dia merasa, orang-orang itu harus dibasmi.
"Des..!" Rinjahgede ambruk untuk tak bangun
lagi.
Si Kedok Putih membentak yang lain, "Jangan
coba-coba menyerangku lagi, kalau tidak ingin kubuat seperti ini! Katakan kepada ketua partai Pengemis Sakti, kalau kulihat lagi anak buahnya bertindak begini, aku, si Kedok Putih, menyatakan bermusuhan dengan kalian!"
Sesudah berkata begitu si Kedok Putih berkelebat menghilang di kegelapan malam. Ayasumo memburu kakangnya dan menangis tersedu-sedu ketika mengetahui kakangnya telah tewas. Dia dan kawankawannya segera membawa mayat Rinjahgede untuk dihadapkan kepada ketua.
***
3
Perkumpulan Partai Pengemis Sakti dipimpin oleh seorang laki-laki setengah baya keturunan Cina. Dia pernah belajar ilmu kesaktian dari dataran Tiongkok sana. Jurus-jurusnya mantap. Semacam jurus kungfu yang amat tangguh. Dia bernama Cin Bun. Datang ke tanah persada ini dengan sebatang kara. Tetapi dengan ilmu yang di punyainya, dia membentuk sebuah partai besar yang hebat, yaitu partai Pengemis Sakti, karena asalnya Cin Bun seorang pengemis.
Partai itu berjumlah puluhan orang, yang kesemuanya terdiri dari pengemis. Partai itu juga ada beberapa orang wanitanya, selain sebagai anggota, para wanita itu juga dipakai untuk pemuas nafsu anggota pria lainnya atau ketua mereka sendiri. Wanita di sana hanya berjumlah dua puluh orang, sedangkan prianya hampir seratus. Sudah tentu para prianya bergilir dan menunggu untuk melampiaskan nafsunya. Karena itulah banyak beberapa anggota yang mencari wanita di luar. Sudah tentu memasuki kompleks pelacuran pengemis-pengemis itu tidak diizinkan, selain tidak punya duit juga bau badan mereka yang busuk. Maka tak ada jalan lain, selain memperkosa wanita secara paksa.
Dan partai Pengemis Sakti sudah terkenal dengan tabiat mereka yang buruk itu. Malam ini pun, Cin Bun atau nama partainya Sengkawung, tengah melambung ke sorga dengan dilayani seorang pengemis wanita muda cantik. Partai Pengemis Sakti betapa bejat orang-orangnya. Kemaksiatan sudah merajai di tempat itu. Orang-orangnya sudah tak mau mengerti akan kebusukan mengadakan hubungan secara bebas.
Selesai melakukan hubungan itu, Sengkawung keluar dengan desah napas lega. Betapa nikmatnya bermain dengan pengemis muda yang cantik itu. Wanita itu pun keluar, lalu masuk ke sebuah kamar itu. Di sana sudah menunggu dua orang pria dengan tidak sabar. Begitu wanita itu muncul, kedua pria itu langsung bangkit. Dan perbuatan hina itu kembali terulang. Benar-benar menjijikkan!
Sengkawung duduk sambil membayangkan kelembutan tubuh wanita muda tadi. Bukan main, dia hampir saja kewalahan menghadapinya. Tetapi ramuan dari Tiongkok yang dia bawa, menjadikan dia bertenaga gajah dan buas.
Tiba-tiba muncul Ayasumo dan ketiga temannya yang membawa mayat Rinjahgede. Sengkawung bangkit dengan melotot dan memeriksa tubuh Rinjahgede yang sudah agak kaku. Dia melotot pada Ayasumo.
"Apa yang telah terjadi?!" bentaknya keras. Ayasumo sejenak menggigil. Tetapi dengan ta-
bah dia menyahut. "Seorang yang berkedok putih, telah membunuhnya, Ketua "
"Bodoh! Siapa si Kedok Putih itu!" "Kami tidak tahu, Ketua!"
"Kenapa tidak kalian bunuh si Kedok Putih itu?! Kalian kan lebih banyak dari dia!!"
"Tetapi dia sungguh lihai ketua. Kepandaian dan kesaktiannya berada jauh di atas kami, Ketua. "
"Dasar bodoh kalian! Bodoh! Dengan mengorbankan nyawa Rinjahgede, kalian sudah mencoreng arang di mukaku!"
Ayasumo menunduk, tiga orang temannya pun berbuat yang sama. Sengkawung menggerutu panjang pendek. Baru kali ini ada orang yang berani menentangnya, bahkan membunuh anak buahnya yang paling dia sayangi. Dengan itu, si Kedok Putih sudah menanamkan bibit permusuhan. Nanti dia akan mendapatkan buahnya, geram Sengkawung dalam hati.
"Apa sebenarnya yang terjadi, hingga dia membunuh Rinjahgede?"
Takut-takut Ayasumo menjelaskan semuanya. Disangkanya ketuanya marah. Tetapi Sengkawung malah tertawa. Dia senang anak buahnya mau berbuat yang kotor itu, memperkosa seorang gadis! Tetapi dia juga agak menyesali kematian Rinjahgede.
Sengkawung menatap Ayasumo. "Kau harus mencari gadis itu sebagai tebusan atas kematian Rinjahgede. Serahkan kepadaku bulat-bulat, dia merupakan sajian yang paling nikmat!"
Ayasumo mengangguk.
"Akan saya laksanakan, Ketua."
"Bagus! Besok pagi kau sudah harus pergi mencarinya. Kau boleh membawa teman sebanyakbanyaknya. Tetapi ingat, kau harus menemukannya dalam jangka waktu sebulan!"
"Iya, Ketua. Kami akan menguburkan mayat Rinjahgede sekarang."
"Lakukanlah!"
Sementara itu, di ujung Laut Pantai Selatan, pemimpin gerombolan Golok Iblis, Jedangmoro, sedang uring-uringan. Putrinya sejak dua hari yang lalu belum kembali. Padahal dia sudah melarangnya untuk pergi. Tetapi putrinya memang keras kepala. Keinginannya tak bisa dibantah lagi. Terpaksa Jedangmoro mengizinkan. Dia selalu mengizinkan keinginan putrinya. Hanya putrinya itu yang dimilikinya sekarang, istrinya sudah lama meninggal dunia. Jedangmoro sangat mengasihi putrinya.
Biarpun begitu, Jedangmoro tidak mau menceritakan apa yang telah dilakukannya selama ini untuk memanjakan putrinya, dengan kekayaan dan kesenangan. Barang-barang yang diberikan kepada putrinya adalah hasil rampokan. Jedangmoro tidak ingin putrinya mengetahui dari mana semua itu dia peroleh, juga tidak ingin putrinya tahu dia adalah anak seorang pemimpin gerombolan yang amat ditakuti.
Tiba-tiba terdengar suara, "Bapa... hu... hu...!
Bapa!"
Jedangmoro segera melompat dari kursinya dan
menyambut. Ternyata putrinya yang kembali dan menangis. Jedangmoro segera merangkulnya dan menenangkan.
"Ada apa, Ambar? Siapa yang telah mengganggumu?" tanyanya sambil membelai rambut putrinya yang ternyata Ambarwati, gadis yang diselamatkan si Kedok Putih dari cengkraman Ayasumo.
Ambarwati menangis tersedu-sedu. "Katakan Ambar... katakan siapa yang telah mengganggumu, Sayang?"
"Huh... hu... Ambar... Ambar malu, Bapa." "Malu kenapa, Nak?"
Ambarwati melepaskan rangkulannya, meletakkan pedangnya di meja. Ia duduk sambil mengusap matanya. Jedangmoro memperhatikan saja. Semakin didesak, anaknya akan tidak mau berbicara.
Bapa." "Ambar... dibuat malu oleh seorang pemuda,
"Kenapa, Nak?" tanya Jedangmoro was-was. Dibuat malu? Apanya? Mata Jedangmoro memperhatikan sekujur tubuhnya.
Ambarwati menceritakan kejadian di rumah makan kecil itu, di mana dia dikalahkan oleh Pranata Kumala. Jedangmoro malah terbahak-bahak. Ambarwati cemberut.
"Kenapa Bapa tertawa?" tanyanya agak marah. "Ha... ha... hanya masalah itu toh, Sayang? Itu
biasa, tapi kau tidak terluka, kan? Di atas langit, masih ada langit "
"Aku tak mengerti maksudmu, Bapa?"
Jedangmoro menghentikan tawanya. Menatap putrinya yang sungguh-sungguh menanti penjelasannya.
Jedangmoro menghela napas. Putrinya ternyata masih pendek pikirannya, tetapi dia terlalu berani untuk bertindak tanpa dipikirkan baik buruknya.
"Maksud Bapa... orang yang tinggi ilmunya. masih ada yang menandingi. Masih ada yang lebih tinggi darinya. Biarpun sudah amat tinggi, masih ada yang menandingi."
"Siapa Bapa?"
"Yang Kuasa," sahut Jedangmoro yang merasa kaget sendiri. Masih ada Yang Kuasa? Dia menghela napas pelan. Dia sendiri sudah merasa hebat dan tinggi, tetapi masih ada yang lebih tinggi. Masih ada.
Melihat ayahnya mendadak terdiam, Ambarwati bertanya. "Bapa kenapa? Apa penjelasan Bapa hanya sampai di sana saja?"
Jedangmoro mengangguk terburu-buru. Biarpun dia orang jahat, tetapi dia tidak ingin anaknya menjadi jahat.
"Masih ada, Ambar. Karena itu... kita tidak boleh sombong tidak boleh menyatakan diri kita hebat. Ingat, orang yang sombong pasti akan jatuh "
Ambarwati terdiam. Ingatannya kembali ke peristiwa di warung kecil di desa sana. Dia sudah berlaku sombong terhadap pemuda itu, yang ternyata lebih digjaya daripadanya. Bahkan kalau dipikir-pikir, kepandaiannya tak ada satu banding sepuluh dari pemuda tampan itu.
Tampan? Ih, wajah Ambarwati mendadak memerah. Kenapa dia mengatakan pemuda itu tampan, padahal dia sangat membencinya sekarang.
Dan ingatan itu kembali lagi kepada si Kedok Putih. Entah siapa dia adanya. Bagaimana dengan wajahnya, buruk atau tidak. Tua atau muda. Dia pun sudah memberikan penerangan tidak langsung kepada Ambarwati. Karena si Kedok Putih pun masih lebih sakti dari padanya.
Ambarwati buru-buru bangkit masuk ke kamarnya. Di kamar itu dia merenung kembali. Merenungi tentang dirinya sendiri. Ternyata benar kata Bapa, masih ada langit di atas langit. Masih ada yang lebih jago dari padanya.
Pemuda tampan itu pun jago dan begitu merendah mau mengalah, dengan membiarkan pedangnya menggores bahunya. Ih, lagi-lagi wajah Ambarwati memerah. Pemuda tampan... idih, kok tampan sih? Mendadak Ambarwati jadi tersipu sendiri dan membalikkan tubuhnya menghadap dinding.
Di luar kamar, Jedangmoro masih memikirkan akan perkataannya sendiri. Yang Kuasa masih ada di atasnya, bahkan di atasnya sekali. Tetapi dirinya sudah terlanjur basah, sudah tidak bisa diampuni segala kesalahannya. Jedangmoro jadi enggan untuk insyaf. Biarlah hanya dia yang berbuat demikian, jangan putrinya.
Mendadak muncul seorang laki-laki muda dengan tergopoh-gopoh. Dia berlutut di depan Jedangmoro.
"Ada apa, Kasta?"
"Menurut laporan regu pengintai, ada pengiriman barang yang sedang berjalan menuju ke daerah Pacitan, Ketua."
"Hmm, bagaimana dengan pengawalnya?"
"Luar biasa, Ketua. Delapan orang regu pengawal dan seorang penarik kuda, berpakaian hitamhitam semua, dengan sepasang pedang di pundak masing-masing."
Jedangmoro manggut-manggut mendengar semua penuturan itu. Dia adalah contoh orang yang tak mau bertobat. Mendengar itu semua, dia langsung bangkit.
"Kita begal pengiriman barang itu. Persetan dengan para pengawalnya, mungkin hanya untuk menakut-nakuti saja," kata Jedangmoro sambil tertawa meremehkan.
Kasta pun berlari ke luar. Secara sembunyisembunyi dia memberitahukan kawan-kawannya, yang kalau berada di rumah Jendangmoro, agar putrinya tidak tahu apa yang dia kerjakan.
Dan Ambarwati tidak mengetahui apa yang telah diperbuat atau pekerjaan ayahnya selama ini. Dia hanya tahu, ayahnya seorang pria yang patut dibanggakan dan menjadi kebanggaannya.
Ayah begitu baik, mau memanjakannya, memperhatikan segala sesuatu atas dirinya. Tetapi ayah selalu sibuk dengan pekerjaannya sehingga jarang di rumah.
Itulah sebabnya, Ambarwati lebih senang berada di luar rumah dari pada di rumahnya sendiri. di luar rumah, dia bisa menghilangkan rasa bosan dalam kesendiriannya. Dia bisa melihat apa yang tengah terjadi di luar sana. Dia juga baru mengetahui, kalau kepandaiannya selama ini tidak ada apa-apanya di luar sana.
Dia akan meminta ayahnya untuk mengajarkan kepandaian lebih mendalam. Juga akan ilmu golok yang sangat ayahnya banggakan.
Atau... mendatangkan guru yang mampu mengajarkan kepandaian dan kesaktian yang lebih hebat.
Ambarwati masih asyik memikirkan semua itu, dan perlahan matanya terpejam. Letih dan ngantuk bercampur menjadi satu, apalagi malam telah semakin larut.
Dia tidak tahu, ayahnya dan anak buahnya, sudah pergi untuk menjegal pengiriman barang besok pagi. Malam ini, mereka mengatur strategis yang bagus.
***
4
Setelah mendengar permintaan Sandirwo untuk mengawal pengiriman emasnya, Madewa Gumilang segera memilih delapan orang murid perguruan Topeng Hitam untuk melaksanakan tugas itu.
Salah seorang yang di tunjuknya adalah Jayalaksa, murid utama yang gagah perkasa. Mereka berdelapan, bergerak menuju rumah Sandirwo. Sandirwo sendiri sebenarnya sudah menyewa lima tenaga orangorang jago. Tetapi dia nampaknya lebih mempercayai murid-murid perguruan Topeng Hitam daripada kelima jago itu.
Pukul delapan pagi pengiriman barang itu sudah dilakukan. Jayalaksa telah menempatkan orangorangnya di sekeliling kereta kuda itu. Mereka semua menunggang kuda.
Perjalanan kali ini sepertinya aman, tidak ada tanda-tanda yang mencurigakan, tetapi begitu memasuki daerah menuju desa Pacitan, mereka semua sudah waspada. Mereka tidak memakai topeng yang menjadikan ciri khas perguruan Topeng Hitam. Itu dilakukan. agar perguruan Topeng Hitam tidak dikenali dan tidak dinyatakan tenaga-tenaga bayaran. Padahal Madewa Gumilang telah menolak uang yang diberikan Sandirwo.
Tiba-tiba rombongan itu berhenti, karena tak jauh dari mereka bergerak, duduk seorang pemuda di atas batu sambil memainkan serulingnya. Agaknya pemuda itu baru muncul, karena suara serulingnya sejak tadi tidak kedengaran.
Jayalaksa menghentikan rombongannya. Ia menduga, pasti akan terjadi apa-apa. Tetapi dia tidak takut, dengan tenang dia menjalankan kudanya mendekati pemuda itu.
Pemuda itu acuh saja, masih memainkan serulingnya. Alunan nadanya merdu sekali dan enak untuk didengar oleh telinga.
"Saudara... apa maksud Saudara duduk di sini, sepertinya sedang menunggu kami?"
Pemuda itu tak acuh saja, dia masih asyik dengan serulingnya. Jayalaksa menjadi agak marah karena merasa didiamkan. "Saudara "
Pemuda itu tiba-tiba memotong perkataannya, "Aku memang menunggu kalian datang "
Jayalaksa segera menjadi curiga. Tetapi dia tetap tenang, walau dalam pikirannya melintas,
gerombolan Golok Iblis memasang jebakan dengan pemuda ini. Ia menoleh ke rombongannya. Masih belum ada kejadian apa-apa.
"Apa maksud Saudara menunggu kami?" Kembali Jayalaksa menatap pemuda itu dan suaranya tetap tenang.
Pemuda itu menatapnya tajam. Agaknya marah karena dicurigai.
"Aku melihat, akan terjadi sesuatu yang tidak beres kalau kalian melanjutkan perjalanan "
"Hmm, siapa sebenarnya Saudara?" Kecurigaan Jayalaksa semakin menjadi-jadi.
"Aku hanya orang yang ingin menyelamatkan kalian, kalian harus menuruti perintahku."
"Perintah?" Jayalaksa mendengus meremehkan. "Kami tidak ingin diperintah siapa-siapa. Termasuk kau! Kami akan tetap melanjutkan perjalanan!"
"Hhh! Kau orang sombong, diperingatkan untuk kembali tidak mau! Baik, boleh kau buktikan ucapanku!" sahut pemuda itu agak tersinggung dan bangkit meninggalkan Jayalaksa sambil mendengarkan sebuah nada enak.
Pemuda itu tak lain adalah Pranata Kumala. Keinginannya untuk segera bertemu dengan ayah bundanya, dia tahan. Pranata masih penasaran dengan orang-orang jahat yang telah membakar kereta kuda dan membunuh para pengawalnya. Dia bermaksud hendak menyelidiki siapa adanya
para perampok itu! Di samping juga ingin menghapus tuduhan Kadir atas dirinya.
Dia memang menunggu iringan-iringan pengiriman barang yang lewat. Pranata menduga, tak jauh dari sini akan muncul belasan orang untuk merampas pengiriman barang itu. Dia pun buru-buru muncul dan memberitahu kepada Jayalaksa, tetapi pria itu malah menuduhnya yang bukan-bukan.
Tetapi Jayalaksa sebenarnya percaya dengan ucapan pemuda tadi. Namun dia ragu, kuatir ini suatu jebakan. Jika dia tidak maju dan mundur, dikuatirkan serangan akan datang dari belakang. Berarti mereka digiring untuk masuk perangkap.
Jayalaksa segera kembali kepada rombongannya, memerintahkan kembali untuk segera bergerak. Rombongan itu bergerak dengan sikap hati-hati dan waspada. Selalu memperhatikan setiap sekelilingnya.
Sementara Pranata Kumala sudah menjauh dan suara serulingnya sudah tidak terdengar lagi. Dia masih agak jengkel kepada Jayalaksa. Diberitahu kok malah menuduh!
Rombongan itu bergerak dengan perlahanlahan dengan sikap waspada yang semakin meninggi.
Tiba-tiba terdengar teriakan dari atas dan bermunculan puluhan ekor kuda dengan penunggangnya sambil mengacungkan golok. Bergerak dengan cepat dan bersuara ramai. Meneriakkan kata-kata kematian.
Jayalaksa segera mencabut sepasang pedangnya dan menghentikan rombongan. Yang lain pun berbuat yang sama. Mereka menunggu apa yang akan diperbuat orang-orang itu, yang segera mengurung mereka dengan rapat.
Salah seorang yang agaknya pemimpinnya, maju dengan senyum sinis. Mengitari kereta kuda itu. Jayalaksa bersiap. Tetapi dia membentak ketika orang itu yang tak lain Jedangmoro membuka tirai kereta kuda. Dan para pengawal kereta kuda itu segera bersiap.
"Hei, apa yang akan kamu perbuat?!"
Jedangmoro menoleh dan terbahak. Dia sudah melihat apa isi tirai itu. Sebuah peri yang pasti berisikan barang-barang berharga.
"Ha... ha... rupanya ada juga orang yang berani membentak Jedangmoro."
"Kalau kau berbuat jahat, aku akan menentang!" sahut Jayalaksa gagah.
Jedangmoro menggeram. "Bangsat! Hei, serahkan barang itu kepada kami cepat, kalau kau tidak ingin mati konyol di golok-golok kami!"
Dibentak demikian, Jayalaksa bukannya takut, malah membalas membentak, "Kalau kami sudah bergeletak tanpa nyawa, kau boleh memilikinya!"
"Settaaaan...! Serbu...!" Jedangmoro memberi aba-aba keras.
Dan puluhan orang yang mengurung rombongan itu segera menggerakkan kudanya ke depan dan menyambarkan golok-goloknya ke arah para rombongan itu, yang segera disambut dengan tangkas.
Tak berapa lama kemudian, di tempat itu sudah terjadi suatu keramaian yang dahsyat. Ringkik kuda, suara senjata beradu, debu yang mengepul, menambah suasana semakin ramai. Suasana penuh darah.
Jedangmoro terbahak melihat ketangkasan anak buahnya. Dua orang dari pengawal rombongan itu sudah tumbang bersimbah darah, terhantam sabetan golok anak buahnya, tetapi anak buahnya pun ada yang terluka. Jedangmoro geram terhadap salah seorang pengawal rombongan itu, dia begitu tangkas memainkan pedangnya. Orang itu adalah Jayalaksa yang sudah mengamuk sejadi-jadinya. Dia harus mempertahankan barang bawaannya dan harus bisa membunuh para perampok itu.
Pedangnya sudah menebas lima orang yang mengeroyoknya. Belum lagi yang terluka. Melihat itu, Jedangmoro mengemprak kudanya dan maju ke depan dengan golok di tangan.
Jayalaksa segera menyambut sabetan golok Jedangmoro.
"Trang...! Trang...!"
Benturan dua senjata mereka menimbulkan pijar yang agak terang dan keduanya sudah membalikkan kuda mereka dan menyerang lagi. Kembali benturan kedua senjata mereka bertemu. Tetapi kali ini Jayalaksa hampir terjatuh, karena tenaga Jedangmoro lebih besar darinya. Jelas saja, sebab Jayalaksa sudah bertempur sejak tadi melawan anak buah Jedangmoro, sedangkan Jedangmoro masih nampak belum apa-apa.
Dia terbahak melihat Jayalaksa terhuyung dan sekali lagi dia maju menyerang. Kali ini dua sabetan digerakkan sekaligus.
"Trang...!" Jayalaksa berhasil menahan serangan itu, tetapi serangan yang satu lagi membuatnya lebih baik bersalto turun dari kuda. Soalnya gerakan itu sangat cepat dan penuh tenaga.
Lagi-lagi Jedangmoro terbahak. Jayalaksa bersiap dengan kedua pedangnya. Kali ini lebih baik, karena dia tidak perlu memegang tali kendali. Jedangmoro memutarinya sambil mencari kelemahan lawan.
Sementara itu, anak buahnya sudah hampir berhasil merobohkan para pengawal itu. Tentu saja mereka senang, jumlah mereka lebih banyak daripada pengawal itu. Jedangmoro masih terbahak sambil memutari kudanya. Dan Jayalaksa bersiap dengan mata
waspada. Tiba-tiba Jedangmoro berseru dan menggeprak kudanya hingga lari dengan kencang, ke arah Jayalaksa!
Jayalaksa cepat berkelit dengan jalan bergulingan. Jedangmoro berbalik lagi dan kembali menumbruk Jayalaksa, kali ini dengan disertai sabetan goloknya. Jayalaksa kembali bergulingan. Kali ini lebih susah, karena harus pula menangkis sabetan golok Jedangmoro.
"Trang...!"
Tubuh Jayalaksa terguling dengan kecepatan deras. Sebab benturan pedang dengan goloknya menyebabkan dirinya semakin terdorong. Dalam keadaan susah begitu, tenaganya separuh terkuras untuk berguling, bukan menangkis. Jadi tenaga tangkisannya agak lemah karenanya dia terhenyak ke tanah dengan keras.
Jedangmoro terbahak-bahak.
"Ha... ha... itulah akibatnya kalau berani menentang permintaan Jedangmoro!"
Jayalaksa menggeram. Bibirnya berdarah karena terbentur batu di tanah. Dia buru-buru berdiri sebelum Jedangmoro menyerang lagi. Dilihatnya para perampok itu sudah menguasai kereta kuda dan menurunkan barang bawaannya.
Wajah Jayalaksa menjadi pias, bukan karena takut mati. Tetapi sedih karena kawan-kawannya sudah menemui ajal mereka lebih dulu. Dalam hati dia menyesal, karena tidak mau menuruti nasehat pemuda tadi. Malah secara keji dia mencurigainya.
Tiba-tiba terdengar derap kuda dengan cepat, Jedangmoro sudah menggeprak kudanya ke arah Jayalaksa. Dia akan menghabisi nyawa orang itu detik ini juga. Jayalaksa berusaha berkelit. Tetapi Jedangmoro sudah mengibaskan tangannya dan beberapa buah jarum berbisa menyambar tubuh Jayalaksa. Pria itu mengaduh dan terjatuh lagi. Tidak sanggup untuk menghindar lagi. Ia memejamkan mata, ajalnya sudah tiba hari ini. Jedangmoro semakin buas dan bernafsu melihat lawannya sudah tak berdaya, ia mempercepat laju kudanya. Dan siap menginjak-injak tubuh Jayalaksa!
Tetapi mendadak tubuh Jayalaksa lenyap. Sebuah bayangan telah menyambar tubuhnya. Jedangmoro terhenyak, karena tidak merasakan kudanya menginjak sesuatu. Dengan cepat dia menghentikan kudanya dan berbalik.
Agak jauh dari sana, seorang laki-laki berkedok putih tengah menolong Jayalaksa dari maut. Dia menekan tangan kanan Jayalaksa yang terkena jarum berbisa itu dan menekan pahanya, agar bisa jarum itu tidak menjalar sampai ke jantung.
Sedetik dia terlambat, maut sudah menjemput Jayalaksa. Itu pun sudah agak terlambat, karena ada sedikit bisa jarum itu yang sudah menjalar. Dengan cepat di Kedok Putih merobek baju Jayalaksa dan menempelkan kedua tangannya di punggung Jayalaksa. Memberikan sedikit hawa panas agar bisa jarum itu terhalang jalannya menuju ke jantung. Dan berhasil, karena dengan mendadak Jayalaksa muntah darah, sebagian bisa itu keluar bersama darah.
Melihat itu, Jedangmoro menjadi geram dengan sekali mengangkat tangannya, anak buahnya sudah mengepung si Kedok Putih dengan sikap beringas.
Jedangmoro melangkahkan kudanya mendekat, perlahan dan berseru, "Siapa kau orang berkedok? Kau berani-beraninya mengganggu kerja Jedangmoro, ketua gerombolan Golok Iblis, hah?!"
Si Kedok Putih berdiri perlahan, memperhatikan orang-orang yang mengepungnya dengan mata waspada. Sementara Jayalaksa sedang memulihkan tenaganya dengan jalan mengatur pernafasannya.
"Kau tidak perlu tahu siapa aku, Jedangmoro!" seru si Kedok Putih, suaranya angker. "Kau boleh tahu, kalau aku orang yang paling tidak suka dengan perbuatanmu, uang selalu membuat onar dan kerugian orang lain!"
Jedangmoro hanya tertawa.
"Ha... ha... kau punya kepandaian apa berani menantangku, Kedok Putih?"
"Hhh! Kau boleh coba, Jedangmoro!"
Jedangmoro geram sekali. Ia berseru, "Bunuh orang itu!"
Serentak anak buahnya menyerang dengan buas. Orang berkedok putih itu tenang saja, tetapi tiba-tiba dia menyambar tubuh Jayalaksa dan melenting ke atas. Gerakannya sangat ringan. Orang-orang itu tidak menemui sasarannya, malah ada beberapa orang yang terbacok oleh golok temannya sendiri.
Si Kedok Putih membawa tubuh Jayalaksa ke seekor kuda. Ia menaikkan Jayalaksa dengan cepat dan memukul pantat kuda itu hingga lari dengan kencang.
"Selamatkan dirinya, Sobat!" seru si Kedok Putih sambil berkelit karena orang-orang itu sudah mendekat dan menyabetkan goloknya. Puluhan golok itu berkelebat ke sana kemari dengan sangat cepatnya. Tetapi tak satu pun yang mengenai tubuh si Kedok Putih, karena tubuh itu sudah menghindar, berkelit, bersalto dengan ringannya. Bahkan tubuh itu sudah balas menyerang dengan hanya mengandalkan kaki dan tangan. Begitu cepatnya dan si Kedok Putih berkelebat dengan hebat menyebarkan pukulan dan tendangannya.
Lima orang dari pengurungnya roboh dan membuat yang lain menjadi penasaran. Dengan bernafsu mereka menyerang kembali.
Tetapi kembali si Kedok Putih memperlihatkan kelincahannya berkelit. Bahkan membuat gerakan yang tak terduga, tiba-tiba saja dia melenting dan bergerak ke arah Jedangmoro dengan kaki lurus ke muka.
Jedangmoro tersentak kaget, tidak menyangka dia akan diserang, padahal si Kedok Putih tengah dikurung rapat!
Dengan cepat Jedangmoro merunduk, tendangan si Kedok Putih melesat, tetapi lagi-lagi si Kedok Putih membuat gerakan yang tak terduga. Begitu tubuhnya hinggap di tanah dia kembali bergerak dengan membalikkan tubuhnya dan menendang.
"Des...!" tendangannya mengenai pantat kuda yang ditunggangi Jedangmoro. Kuda itu terkejut dan meringkik hebat. Mendadak dia berlari kencangkencang, tak terkendali.
Jedangmoro cepat melompat bersalto agar tidak jatuh dari kuda yang ngamuk itu. Dia berbalik dan menatap si Kedok Putih dengan geram.
"Bangsat! Siapa kau sebenarnya?" Si Kedok Putih terbahak.
"Rupanya kau mengakui juga kehebatanku, Jedangmoro. Sudah kubilang, kau tak akan mampu menandingi ku! Biar kau membawa anak buah banyak, tak seorang pun yang bisa mengalahkanku ha... ha...!"
Jedangmoro semakin geram. Tiba-tiba dia mengibaskan tangannya dan beberapa buah jarum berbisa melesat. Kedok Putih berkelit dan mengibaskan tangannya pula. Sebuah dorongan angin yang kuat bergerak menuju Jedangmoro. Jedangmoro pun cepat mengelak dengan jalan melompat. Dan membentak, "Bangsat sialan!!"
Kembali si Kedok Putih terbahak. Jedangmoro kembali memerintahkan anak buahnya untuk menyerang dan dia sendiri melompat ke kuda yang ada di dekatnya, lalu memerintahkan sebagian anak buahnya untuk membawa hasil rampasan itu. Dan dia sendiri pun menggeprak kudanya untuk lari.
Si Kedok Putih yang tengah menghadapi keroyokan itu, bermaksud akan mengejar. Tetapi golokgolok itu terus mencecarnya. Membuat dia sulit untuk menghindar. Dengan jengkel dia menyambar sebuah golok yang tergeletak di tanah dan dengan golok itu dia berkelebat menghajar setiap pengurungnya hingga semuanya roboh dan tak mampu untuk menyerang lagi.
Si Kedok Putih berkelebat mengejar, namun bayangan orang itu sudah tidak nampak. Ia kembali ke tempat semula. Menatap mayat-mayat yang bergeletakan. Semua ini gara-gara nafsu angkara murka yang tidak dapat dikekang. Ser makin dituruti akan semakin menggebu-gebu.
Anak buah Jedangmoro yang hanya terluka kaki dan tangannya hanya memperhatikan saja tanpa berani berbuat sesuatu. Bertanya-tanya dalam hati, siapa kiranya orang yang berada di balik kedok putih itu. Dia begitu lihai dan pandainya.
Si Kedok Putih geleng-geleng kepala. Hatinya sedih melihat pengawal pengiriman barang yang mati itu, walau orang-orang itu membela kebenaran. Mati karena dicabut nyawanya oleh orang-orang jahat!
Si Kedok Putih menjadi geram terhadap Jedangmoro, apalagi dia tidak bisa menangkapnya. Orang itu licik dan licin, selalu menggunakan tenaga anak buahnya. Tetapi si Kedok Putih yakin, akan kepandaian dan kesaktian Jedangmoro yang tidak banyak jauh berbeda. Tadi dia kalah karena lebih memikirkan barang hasil rampasan yang tidak akan dinikmatinya kalau dia mati duluan.
Entah di mana orang itu bermarkas, kalau bertemu lagi, si Kedok Putih tidak akan mengampuninya.
Mendadak dia mendongak, menatap matahari yang sudah tinggi. Tiba-tiba tubuhnya berkelebat, begitu cepat sekali, karena sudah menghilang dari pandangan.
Anak buah Jedangmoro yang mampu bangkit, berusaha untuk mencapai kuda mereka. Dan
memacu kuda mereka cepat-cepat. Hari ini mereka sial, bertemu dengan orang sakti macam si Kedok Putih.
Benar-benar sial, apalagi ketua mereka tidak mau membela. Malah melarikan diri! Sebenarnya Jedangmoro bukan melarikan diri, tetapi dia harus segera sampai ke rumah cepat-cepat. Kuatir putrinya akan bertanya banyak ke mana saja dia semalam.
Si Kedok Putih pun berkelebat dengan cepat.
***
5
Kuda yang membawa tubuh Jayalaksa sampai ke perguruan Topeng Hitam. Hari sudah sore. Beberapa orang murid yang menjaga di depan terkejut, karena tubuh Jayalaksa penuh luka. Dan begitu kudanya berhenti, tubuh Jayalaksa ambruk. Buru-buru mereka mengangkat dan membawanya ke dalam. Membaringkan dan segera mengobati.
Ketua mereka Madewa Gumilang, sedang pergi. Dan ketika datang langsung menjenguk dan kaget mendengar semua penuturan Jayalaksa yang sudah selesai diobati dan sekarang sedang istirahat.
"Jadi gerombolan Golok Iblis yang melakukan semua, Jaya?" tanya Madewa meyakinkan.
"I... iya, ketua. Padahal kalau saja kami mau menuruti nasehat orang muda itu, tentu tak akan terjadi hal seperti ini."
"Kau kenal siapa dia, Jaya?"
"Tidak, Ketua. Pemuda itu kelihatannya seperti orang baru. Dia mendendangkan sebuah lagu dari serulingnya."
Madewa manggut-manggut. Siapa gerangan pemuda itu? Tetapi bagaimana caranya Jayalaksa bisa selamat dari gerombolan Golok Iblis?
Seperti mengetahui jalan pikiran orang tuanya, Jayalaksa berkata, "Seorang laki-laki berkedok putih telah menyelamatkan saya, Ketua."
Lagi kening Madewa berkerut.
"Laki-laki berkedok putih? Siapa dia?"
"Entah, ketua. Orang itu sangat misterius. Dia tidak ingin ada orang yang mengenalnya. Datangnya pun secara tiba-tiba entah dari mana."
"Tidak ada ciri-ciri yang bisa menandakan siapa dia adanya?" Madewa masih penasaran.
"Tidak. Ketua. Dia tidak memegang senjata apaapa. Juga tidak memperlihatkan wajahnya. Satusatunya yang menjadi ciri-ciri orang itu, adalah kedoknya yang berwarna putih."
Madewa terdiam. Mengira-ngira siapa kiranya orang itu. Baru kali ini dia mendengar adanya orang pembela kebenaran dan keadilan dengan identitas tidak jelas, hanya menutupi wajahnya dengan kedok putih itu. Mungkinkah wajah orang itu sangat buruk, hingga dia tidak mau memperlihatkan wajahnya? Atau... dia memang tidak ingin diketahui orang siapa dia sebenarnya.
Tiba-tiba Madewa menoleh, ke arah jendela. Suatu bayangan bergerak dengan sangat cepat. Entah siapa, Madewa hanya melihat kelebatannya saja. Kelihatan kalau murid-muridnya tidak melihat hal itu, istrinya pun demikian. Itu jelas, bertanda bayangan yang berkelebat tadi mempunyai ilmu yang tinggi.
Madewa tidak mau membuat ribut-ribut, apalagi Jayalaksa dalam keadaan sakit. Dia berlalu dari tempat itu seolah masih memikirkan siapa si Kedok Putih itu. Tetapi begitu keluar ruangan, dia cepat bersalto ke jendela dan hinggap di tanah dengan ringan. Tanpa menimbulkan bunyi sedikit pun.
Dia menyelinap di balik pohon bunga. Memperhatikan bayangan tadi. Madewa melihat suatu bayangan menyelinap ke kandang kuda. Hmm, pasti pencuri kuda yang mempunyai ilmu tinggi. Gerakannya tidak menimbulkan suara, ringan dan cepat.
Madewa bergerak pula dengan ringan. Ia melihat sesosok tubuh dari belakang. Seorang pemuda yang tegap. Pemuda itu kelihatan hendak masuk ke kandang kuda. Tetapi belum dia bergerak, Madewa sudah mengibaskan tangannya.
"Wuuut...!" serangkum dorongan angin bergerak menuju pemuda itu yang langsung bergulingan dan bersiaga. Madewa berkelebat keluar dari persembunyiannya. Pemuda itu tidak jadi lari, karena merasa sudah kepergok. Madewa melihat seraut wajah tampan dan ganteng berdiri di hadapannya. Juga rambut yang gondrong. Ringan ia melangkah ke depan.
"Kau mau apa menyelinap ke mari, Anak muda dan siapa kau sebenarnya?"
Pemuda itu masih terdiam. Memperhatikan sekujur tubuh laki-laki setengah baya di hadapannya. Inikah ayahnya? Ayah yang hampir sembilan tahun di tinggalinya? Ayah masih tetap gagah dan tampan. Pemuda itu adalah Pranata Kumala. Dia sengaja datang bersembunyi-sembunyi, karena kuatir ketua perguruan Topeng Hitam sudah diganti. Dia ingin menyelidiki dulu.
Tetapi sekarang dia yakin, ketua perguruan Topeng Hitam masih tetap dipegang ayahnya, ayah yang sangat dirinduinya siang dan malam.
Karena pemuda itu diam saja, Madewa bertanya lagi, agak tajam, "Hei, Orang muda. Aku yang tua ini segan untuk bertanding denganmu. Kulihat dari sikapmu, kau hendak mencuri kuda. Benarkah?"
Hei, ayah tidak mengenalinya. Apakah wajahnya selama sembilan tahun ini dilupakan ayah? Atau ayahnya mulai pikun? Pranata ingin berteriak, ayah ini aku, Pranata putra mu!"
Tetapi dia diam saja, biar ayahnya menuduh demikian. Dia ingin ayahnya menangkapnya. Dan dia akan melawan sekedar menguji ilmunya dengan ilmu ayahnya.
"Kau telah menuduhku sembarangan, Paman," sahut Pranata memulai sandiwaranya.
"Lalu apa maksudmu menyelinap begitu kalau tidak ada maksud jelek."
"Yah... tidak dapat ku sangkal, kalau aku memang bermaksud jelek," kata Pranata. "Dan kau hendak mencuri kuda-kuda itu?!" bentak Madewa marah.
"Hhh!" Pemuda itu mendengus. "Hanya kuda, berapalah harganya. Kau tahu Paman, aku hendak membunuh ketua perguruan Topeng Hitam ini! Cepat suruh dia keluar Paman, kalau tidak, kau yang kubunuh!"
Madewa terdiam, mengira-ngira. Siapa pemuda ini. Kalau tidak salah, dia sepertinya pernah melihat wajah pemuda ini. Tetapi kapan, kapan?
"Orang muda, akulah ketua perguruan Topeng Hitam ini. Kenapakah engkau hendak membunuhku?"
"Aku ingin menantangmu berkelahi. Kalau bisa, aku akan membunuhmu! Nah bersiaplah. Ketua!"
"Tahan!"
"Kau takut rupanya, hah?" Pemuda itu mendengus dan mengejek meremehkan
"Sedikit pun aku tidak takut denganmu. Tetapi ingat, kalau di antara kita ada yang kalah, kau harus meninggalkan tempat ini dan jangan mengganggu perguruan Topeng Hitam lagi. Topeng Hitam bukanlah perguruan untuk mengadu ilmu. Kalau kau datang secara damai ke mari, aku akan menerimamu dengan senang hati. Nah, mulailah!"
Pemuda itu membuka jurusnya. Pranata tahu, kesaktian ayahnya sangat hebat. Dia pun tidak tanggung lagi, dia langsung membuka jurus Tangan Bayangan warisan gurunya Ki Ageng Jayasih.
Madewa masih tenang saja. Dia yakin, kesaktian pemuda itu tinggi. Tetapi dia terlalu sombong. Terlalu membanggakan diri. Perbuatan menantang berkelahi itu tidak benar, karena bagi yang kalah, akan semakin penasaran untuk menang dan bagi yang menang bisa menjadi keras kepala karena tidak terkalahkan dan bisa membuatnya menjadi sombong dengan menaklukkan orang-orang yang lemah hanya untuk memperlihatkan kehebatannya.
Pemuda itu sudah menukik dan melesat ke depan dengan gerakan yang sangat cepat dan penuh tenaga. Madewa bergerak ke samping dengan ringan, pukulan itu luput, tetapi kembali menyambar dengan cepat. Tangan itu seolah menjadi banyak dan seperti bayangan yang bergerak ke sana-kemari.
Dengan jurus Ulas Meloloskan Diri, Madewa menghindari setiap serangan tangan kosong pemuda itu, namun serangan itu sedemikian gencar dan cepat. Tiba-tiba Madewa bersalto ke belakang dan membuka jurusnya, Ular Cobra Bercabang Tiga, yang membuat tangannya bergerak demikian cepat pula. Dan dengan jurus itu dia bisa mengimbangi jurus Tangan Bayangan pemuda itu. Malah pemuda itu agak terdesak, soalnya tenaga dalam Madewa lebih tinggi darinya.
Dia bergulingan menjauh. Madewa tidak mem-
buru.
"Bagaimana, Anak muda? Kau sudah mengakui
kekalahanmu?"
"Belum!" Pemuda itu bangkit. "Kau belum memukul ku, Ketua!"
"Hmm, kau minta dipukul. Baik, majulah."
Pemuda itu kembali membuka jurusnya dan menyerang dengan sangat cepat. Madewa merubah jurusnya. Jurus Ular Mematuk Katak digunakan. Pranata sudah tentu mengenal jurus itu, jurus yang sangat cepat dan tangguh. Dia la]u menjaga jaraknya, tidak mau terlalu dekat karena tangan ayahnya bisa sedemikian cepat menyambar. Dia mempergunakan tendangan kakinya yang sangat cepat. Jurus tendangan berantai, yang bergerak beruntun dan mencecar kepala dan perut.
Saking cepatnya, Madewa sulit untuk menangkap kaki itu. Tetapi dia tetap tenang menghindar dan berkelit, bahkan tangan kirinya sempat mematuk mata kaki pemuda itu, yang langsung mengaduh dan menarik diri ke belakang. Matanya melotot gusar. "Kau?!"
"Kau sudah mengakui kekalahanmu, orang muda?" tanya Madewa tenang.
Pemuda itu mendengus. Mengeluarkan sesuatu dari balik bajunya. Sebuah seruling dan seruling itu diputar-putar hingga menimbulkan desingan yang agak keras.
"Kau belum merasakan kehebatan seruling ku, Ketua! Bersiaplah, nyawamu akan ku cabut hari ini juga!!"
"Mulailah, Orang muda. Aku sudah siap!" Pemuda itu bergerak dengan cepat dan men-
gayunkan serulingnya dalam bentuk totokan dan sabetan. Madewa menghindari semua itu dengan ringan. Kecepatan pemuda ini memang luar biasa, tetapi nampak pengalaman bertandingnya kurang. Madewa memperlihatkan kelincahannya berkelit. Dalam hati Pranata kagum, ayahnya masih tetap digjaya. Usia yang merambat tidak mengurangi kelincahannya.
Dan mendadak totokan serulingnya ditangkis. "Trak...!" begitu keras. Pranata sampai ter-
huyung beberapa tindak. Madewa sudah menggunakan pukulan Tembok Menghalau Badai, tetapi tidak mematikan, hanya mengejutkan pemuda itu saja.
Pranata tersenyum dalam hati, ilmunya masih berada jauh di bawah ayahnya.
Tetapi mendadak Madewa tersenyum, ia mengulurkan kedua tangannya.
"Putra ku... Pranata, selamat kembali Nak ke perguruan Topeng Hitam...." desisnya yang membuat Pranata terkejut. Ia bangkit sambil tertawa. Dan menjura.
"Ayah... maafkan, Pranata," katanya sambil berjalan dan memeluk ayahnya. Madewa memeluk putranya yang sembilan tahun tidak dijumpainya. Pemuda itu tumbuh gagah dan pandai. Sebenarnya dia sudah mengetahui siapa pemuda ini sejak tadi. Wajahnya mengingatkan dia kepada putranya. Dan jurus Tangan Bayangan itu adalah jurus kepunyaan Ki Ageng Jayasih. Sembilan tahun membuatnya pangling pada anaknya sendiri.
"Kau hebat, Nak " suara Madewa tergetar.
"Ah... hanya ilmu kosong yang tidak pantas dipamerkan di depan Ayah "
"Kau hebat, Ayah bangga dengan mu!"
Pranata tersipu, melepaskan rangkulannya. "Maafkan aku Ayah... aku lancang menantang Ayah tadi."
"Ha... ha... Ayah malah bangga. Ayah senang melihat kepandaianmu, Pranata. Ayah yakin, kau pun menguasai pukulan sakti sinar merah."
"Iya, Ayah. Ki Ageng Jayasih, menurunkan ilmu saktinya itu kepadaku. Tahukah Ayah... untuk bisa pandai dalam pukulan sinar merah itu, memerlukan waktu hampir empat tahun. Ki Ageng Jayasih tidak memperbolehkan aku pulang sebelum ilmu itu ku kuasai."
"Tak kusangka, kau pun menguasainya." "Ayah, aku kangen Ibu. Di mana dia sekarang?" "Di dalam, ayo masuk, Nak."
Ratih Ningrum tentu saja terkejut melihat pemuda itu yang ternyata anaknya. Dia pun agak heran tadi, siapa gerangan pemuda yang dirangkul suaminya itu. Ketika dia tahu itu Pranata Kumala, dia cepat merangkulnya dan menciumnya dengan penuh kasih sayang. Sembilan tahun tidak merangkul putranya, sudah tentu menjadikan Ratih Ningrum rindu yang amat mendalam.
Hari itu mereka berpesta menyambut kedatangan Pranata Kumala yang tumbuh menjadi pemuda hebat. Ratih Ningrum selalu menatap putranya. Seperti suaminya dulu ketika seusia Pranata. Gagah dan tampan.
Ketika mendengar berita ada murid perguruan Topeng Hitam terluka, Pranata segera bangkit untuk melihat. Pranata tahu siapa Jayalaksa, ketika dia berusia sembilan tahun, Jayalaksa menjadi pembimbingnya dalam berlatih ilmu pedang perguruan Topeng Hitam. Jayalaksa terkejut ketika Pranata menjenguknya.
nyum. "Kau... kau "
Pranata pun terkejut. Tetapi kemudian terse-
"Iya, kakang. Aku Pranata Kumala."
"Bukan, bukan itu. Kau... kau yang memberitahu aku agar tidak meneruskan perjalanan...." kata Jayalaksa terbata, ternyata pemuda tadi itu adalah putra ketuanya sendiri.
Yang lain pun terkejut. Tak terkecuali Madewa. Ternyata putranya yang memberitahukan itu. Tetapi kenapa putranya tidak membantu, di mana hatinya? Atau dia tidak senang Jayalaksa tidak mengantahkan nasehatnya?
"Jadi kau orangnya, Pranata. Hh, kenapa kau tidak membantu mereka?"
"Aku ingin membantu Ayah, tetapi kulihat ada seorang laki-laki berkedok putih yang membantu mereka. Aku terus saja pergi. Kurasa, orang yang berkedok putih itu mampu mengusir mereka. Lagipula, aku sangat rindu pada kalian berdua, ayah dari ibu "
Madewa Gumilang terdiam. Agak tidak senang karena putranya tidak membantu membela kebenaran. Tetapi Ratih Ningrum malah menyanjungnya, "Tidak apa, Pranata. Ibu juga sudah rindu pada kalian."
Pranata mengangguk, ia tahu ayahnya tidak suka dia berbuat begitu. Meninggalkan begitu saja orang-orang yang berada dalam kesulitan.
Untuk mengenakkan ayahnya, dia bertanya, "Ayah, kapan pengiriman barang itu akan dilakukan lagi?"
"Entah, ayah tidak tahu."
"Kalau ada lagi, aku akan turun serta, Ayah.
Aku akan membela mereka-mereka yang lemah." Madewa memperhatikan sekujur tubuh anak-
nya, lalu mengangguk.
"Hmm, baik. Tetapi kau harus diuji dulu kepandaianmu. Biarpun murid tunggal Ki Ageng Jayasih, aku kuatir kau tidak bisa menggunakan ilmu kepandaianmu itu. Mari kita ke ruang latihan!"
Madewa sudah beranjak mendahului. Ratih Ningrum ingin protes, anaknya baru saja tiba, sudah disuruh bertanding. Madewa memanggil sepuluh muridnya yang agak pandai. Mereka disuruh untuk menandingi Pranata Kumala yang sudah berdiri di hadapan mereka.
Madewa memandang putranya.
"Ingat Pranata, kalau kau terluka, itu resiko mu sendiri. Dan ingat, kau tidak boleh melukai mereka!"
"Kakang!" seru Ratih Ningrum terkejut. Jelas saja itu kerugian bagi putranya. Dia tidak boleh melukai lawan, tetapi lawan boleh melukainya. "Kalau tidak adil dalam memberi peraturan."
"Aku ingin melihat kepandaiannya, Rayi. Kalau hanya tenaga kasar yang diperlihatkan, aku yakin, Pranata mampu mengalahkan mereka. Tetapi aku ingin lihat serangan halusnya tanpa melukai kesepuluh lawannya. Pranata, kau bersiap!"
Ratih Ningrum akan protes lagi, tetapi didahului oleh Pranata, "Biarkan saja, Bu. Aku sanggup menghadapi mereka. Ayah nampaknya marah karena aku meninggalkan pertempuran antara perampok dan pengawal barang itu. Biar ini kulakukan untuk menebus kesalahanku. Pranata berbalik kepada ayahnya. "Aku sudah siap, Ayah!"
"Bagus! Kau hadapi mereka dengan sungguhsungguh. Perlihatkan kepandaianmu kepada Ayah. Dan kalian, jangan sungkan-sungkan untuk melukai Pranata Kumala. Anggap hari ini dia bukan putra ku, tetapi musuh yang, harus kalian basmi! Ingat, kulihat gerakan kalian lamban dan kaku karena sungkan, aku yang akan menghajar kalian!"
Rupanya Madewa Gumilang bersungguhsungguh. Selain jengkel karena putranya tidak menolong orang-orang yang dalam kesulitan, dia juga ingin melihat kepandaian putranya. Tadi dia memang sudah merasakan, namun itu antara tenaga kasar. Dia ingin Pranata bergerak secara halus namun mampu melumpuhkan lawan-lawannya.
Pranata maju ke depan. Langkahnya tenang kesepuluh orang murid perguruan Topeng Hitam mencabut sepasang pedang mereka dan mengenakan topeng. Dengan serentak mereka mengurung rapat. Pranata berdiri tenang dengan mata waspada.
Maafkan kami, Raden," kata salah seorang. Dan dia sudah menerjang maju dengan sabetan atas bawah pedangnya. Pranata melompat ke belakang tetapi langsung bersalto karena sepasang pedang di belakangnya sudah menyambar.
Dan seterusnya, dua puluh pedang itu menyambar dengan cepat dan ganas. Pranata Kumala pertama agak kerepotan, Karena tidak sedikit pun dia dikasih menyerang. Malah orang-orang itu seakan benar-benar ingin membunuhnya. Pranata mengerahkan segenap kepandaian dan kelincahannya untuk berkelit dan menghindar. Dan dia bergerak demikian cepatnya, hingga hanya merupakan bayang-bayang.
Tiba-tiba dia melenting ke atas dan bersalto ke belakang, menghindari dua buah pedang yang akan menusuknya. Bergerak dengan sangat mengagumkan, karena masih bersalto dia menotok dua orang lawannya hingga kaku. Madewa berseru kagum dalam hati. Perhitungan untuk menghindar dan menotok itu benar-benar ditampilkan putranya dengan hebat.
Begitu Pranata hinggap di tanah, yang lain kembali menyerang. Mendadak Madewa berguling, serentak lawan-lawannya menusukkan pedangnya ke bawah, tetapi lagi-lagi Pranata membuat gerakan yang mengagumkan. Tubuhnya tiba-tiba melenting ke atas dan kembali menotok dua orang dengan cepatnya bahkan menendang punggung salah seorang hingga jatuh bergulingan.
"Bagus!" seruan Madewa terdengar. "Tetapi ingat Pranata, masih ada lima orang lagi! Gunakan, jurus Penutup Barisan, cepat!"
Serentak lima orang itu berjalan ke belakang merapat. Tetapi pedang-pedang mereka tidak sama mereka pegang. Ada yang dua-duanya ke depan. Ada yang ke samping dengan mengembangkan tangan. Ada yang ke bawah. Ada yang satu ke bawah dan yang satu ke atas. Dan penutup barisan, yang terakhir, mengepit kedua pedangnya di ketiak.
Pranata bingung bagaimana cara menyerangnya. Tetapi lawan-lawannya sudah maju menyerang. Serentak dan gerakan mereka teratur. Yang berdiri di depan, mengibaskan pedangnya. Pranata berkelit ke samping tetapi yang pedangnya mengarah ke samping cepat melompat menusuk, Pranata bergulingan. Kembali yang pedangnya berada di bawah, menusuk dengan cepat. Dan serangan-serangan itu menjadi membingungkannya. Dia terus berkelit ke sana-kemari tanpa tahu bagaimana harus merobohkan lawanlawannya. Jurus Penutup Barisan sangat tangguh. Satu yang menyerang, yang empat diam. Bergantian dengan rapat dan cepat.
Tiba-tiba Pranata berbalik, menyerang yang paling belakang, tetapi yang belakang pun segera berbalik dan memasang jurus seperti yang di depan tadi. Dan yang lain merubah jurusnya. Bukan main, suatu jurus yang amat hebat diperlihatkan!
Pranata menarik diri ke belakang. Dia berpikir bagaimana caranya menembus pertahanan mereka. Mendadak dia mengibaskan tangannya, dan melesat selarik sinar merah ke arah barisan itu, yang mendadak menjadi bubar untuk menyelamatkan diri. Dan secepat kilat. Pranata bergerak. Menotok mereka satu per satu hingga tak ada yang sanggup untuk bergerak lagi.
Terdengar Madewa bertepuk tangan.
"Bukan main! Kecepatan mu boleh juga, Pranata. Baik, jika ada pengiriman barang itu, kau akan turut serta mengawal!"
Pranata menjura gembira. "Terima kasih, Ayah." "Pranata... kau mengenal orang yang mengenakan kedok putih?"
"Kedok putih?" Kening Pranata berkerut. "Tidak ayah, aku belum pernah melihatnya. Si Kedok Putih itukah yang telah menolong Kakang Jayalaksa?"
"Iya, pendekar budiman itu menyembunyikan wajahnya di balik kedok putihnya. Suatu saat, aku bermaksud akan mencarinya."
"Untuk apa, Ayah?"
"Aku ingin mengenalnya, Pranata. Orang itu tidak segan-segan membela kebenaran. Aku ingin kau seperti dia, Pranata."
Pranata hanya mengangguk. Yah, dia akan berbuat seperti si Kedok Putih. Dia ingin seperti ayahnya, pendekar pembela kebenaran.
***
6
Sebenarnya, masih ada yang belum diceritakan Ambarwati kepada ayahnya, peristiwa yang hampir saja dirinya diperkosa oleh salah seorang anggota perkumpulan Pengemis Sakti, sebuah perkumpulan yang sudah terdengar namanya sebagai orang-orang yang kerjanya hanya membuat onar dan malapetaka saja.
Kalau dia ceritakan kepada ayahnya. Ambarwati kuatir ayahnya akan marah dan segera menyerbu ke pantai pengemis itu. Dia tidak ingin antara ayahnya dengan partai pengemis itu menjadi bermusuhan. Itu sebabnya Ambarwati tidak menceritakan peristiwa yang hampir saja merenggut kehormatannya.
Ambarwati ingat kepada laki-laki berkedok putih. Siapa dia sebenarnya. Diam-diam Ambarwati ingin berkenalan dia juga belum mengucapkan terima kasih kepadanya. Ah, siapa sebenarnya wajah di balik kedok putih itu. Mungkinkah wajah itu tampan seperti wajah pemuda yang bertempur dengannya di kedai waktu itu? Ataukah wajahnya sangat buruk sekali sehingga dia menyembunyikannya dengan kedok putih itu? Tetapi biar baik dan buruk wajahnya, Ambarwati bertekad untuk menjumpainya dan mengucapkan terima kasih.
Dia sudah selesai mandi dan berdandan. Dia akan pamit kepada ayah untuk pergi lagi selama dua hari. Mencari si Kedok Putih dan pemuda tampan yang bertempur dengannya. Ih. kenapa selalu terbayang wajah pemuda tampan itu. Apa-apaan sih! Wajah Ambarwati menjadi memerah sendiri. Semakin membuatnya cantik dan manis.
Jedangmoro sudah kembali dengan hasil rampokannya yang berisikan emas permata yang banyak sekali. Dia segera menyelinap masuk dan berganti pakaian, sedangkan anak buahnya kembali menjadi pelayan-pelayan yang sopan dan baik-baik.
Begitu Ambarwati keluar dari kamarnya, Jedangmoro sudah duduk sambil menghisap cerutunya.
"He... he... sudah bangun, Ambar?"
Ambarwati tersipu. "Maafkan Ambar Bapa, Ambar bangun kesiangan."
"Tidak apa-apa, Nak. Kau semalam tidur larut sekali," kata Jedangmoro sambil menghembuskan asap rokoknya, padahal dalam hatinya dia gembira. Bagus, putrinya baru bangun, jadi tidak mengetahui ke mana dia pergi semalam.
Tahu-tahu, Ambar terdiam. Dia menunduk dan kakinya menggores-gores lantai. Jedangmoro heran melihatnya. Kenapa dengan putrinya itu? Janganjangan, dia melihat mereka baru datang tadi.
"Kau kenapa, Ambar? Sikapmu seperti gelisah sekali?" tanya Jedangmoro.
Ambarwati mengangkat wajahnya, menatap ayahnya. "
"Bapa "
"Ya, Sayang?"
"Ambar... Ambar ingin pergi lagi. Bapak mengizinkan, bukan?"
Jedangmoro menghela nafas panjang.
"Ke mana lagi, Ambar akan pergi. Padahal Ambar baru semalam pulang. Ayah masih kangen denganmu, Nak."
"Ambar pergi hanya dua hari, Bapa."
"Tapi kau baru kembali semalam, Nak. Bapak belum habis melepas rindu."
"Ih, Bapa. Ambar kayak mau pergi ke mana saja. Ambar ingin mencari.si Kedok Putih, Ambar ingin mengucapkan terima kasih kepadanya."
"Ah, itu bisa dilakukan nanti Ambar. Kali ini Bapa tidak mengizinkan. Lusa mungkin Bapa izinkan."
Ambarwati cemberut, sambil bersungut-sungut dia masuk kembali ke kamarnya. Jedangmoro menggeleng-gelengkan kepala. Putrinya yang satu itu memang manja. Ah, sebentar lagi dia juga sudah tidak ngambek.
Memang Ambarwati tidak ngambek, dia mengunci pintu kamarnya. Dan pelan-pelan dia membuka jendela kamarnya dan melompat keluar. Dengan hatihati dia melangkah ke kandang kuda. Mengambil seekor yang putih. Seorang pelayannya memergokinya.
Ambar cepat meletakkan telunjuknya di bibir, "Sttt...! Sini, sini, jangan banyak tanya, ya? Aku sedang mengadakan permainan dengan Bapa. Kalau aku bisa. membawa kuda ini tanpa menimbulkan suara, Bapa akan memberi ku hadiah. Kamu mau membantu, kan?"
Yang minta bantuan putri majikannya, sudah tentu pelayan tadi mengangguk. Bahkan dia memasangkan pelana dan menyuruh Ambar menjalan kudanya sangat pelan. Ambar pun akan berbuat demikian. Dan ia menjalankannya dengan hati-hati. Setelah agak jauh, baru dia menggeprak kudanya. Pelayan tadi menggeleng-geleng kepala, kagum dengan ketangkasan putri majikannya dalam hal menunggang kuda.
Ambarwati melarikan kudanya kencangkencang, menuju ke desa di mana dia bertempur dengan Pranata Kumala beberapa waktu yang lalu. Entah kenapa dia menjadi sangat merindukan pemuda itu. Pemuda yang tidak sombong, tidak membuatnya malu, bahkan dia mau mengalah. Ah, kalau Ambar ingat bagaimana luka di lengan pemuda itu, dia menjadi kasihan. Juga agak menyesal karena pemuda itu sengaja menyongsong pedangnya tanpa mengelak, semata agar dia menghentikan serangannya dan pemuda itu mengaku kalah.
Kalau ingat ini, dia menjadi malu, karena ternyata pemuda tampan itu lebih lihai darinya. Tiba-tiba di hadapannya muncul tiga orang pengemis dengan tongkat di tangan, yang berdiri menghadangnya. Ambarwati memperhatikan sambil memperlambat laju kudanya. Yang berdiri di tengah, Ambarwati seperti pernah mengenalnya. Dia adalah Ayasumo yang setelah di perintah Sengkawung untuk mencari dan menangkap Ambarwati segera pergi menjalankan perintah. Dia sendiri masih penasaran karena gadis itu tidak berhasil di gagahinya. Ambarwati menghentikan kudanya dari jarak jauh. Dia tidak ingin mendapat kesulitan, dengan cepat dia berbalik dan memacu kudanya. Ketiga orang pengemis itu serentak mengejar dengan menggunakan ilmu larinya, tetapi Ambarwati sudah melesat jauh. Ketiga pengemis itu tertinggal jauh.
Ayasumo mendengus kesal. Dia menyuruh berbalik, mencegat dari arah yang berlawanan. Ambarwati terus melarikan kudanya, dia me lewati padang rumput yang luas dan mendadak telinganya mendengar alunan seruling yang merdu. Ambarwati menghentikan kudanya dan celingukan mencari siapa yang meniup seruling itu.
Betapa merdu nada yang keluar dari tiupan seruling itu. Dia menjalankan kudanya perlahan-lahan dan tiba-tiba terdengar suara itu jelas di atas kepalanya. Dilihatnya seorang pemuda sedang asyik duduk santai di salah satu dahan dan meniup seruling itu.
Tahu-tahu dia menunduk, pemuda itu adalah pemuda tampan yang dipikirkannya semalam. Pemuda yang bertempur dengannya di waning waktu itu. Ah, dia tadi sempat melihat lengan kanan pemuda itu dibalut. Tentu akibat goresan pedangnya kemarin.
Dia harus minta maaf. Perlahan dia mendongak dan memanggil, "Hei!"
Pemuda itu menghentikan tiupan serulingnya dan menoleh ke bawah. Dia melihat seraut wajah cantik yang memanggilnya. Pemuda itu ingat, dia adalah gadis yang mengajaknya bertempur waktu itu.
"Oh... engkau rupanya, Nona. Maafkan aku, aku tidak ingin bertempur. Kamu hebat, Nona. Ilmu pedangmu amat tangguh. Lagipula, aku sudah mengaku salah, bukan? Aku tidak mau bertempur lagi dengan kau, Nona. Aku kuatir lengan kiriku akan tergores pula."
Wajah Ambarwati memerah.
"Bukan... bukan itu maksudku.... Aku.. aku " Dia agak susah bicara.
"Aku tahu, Nona. Kau masih penasaran karena aku belum kau bunuh. Sudahlah Nona, aku segan bertempur denganmu!"
Tiba-tiba pemuda itu meloncat turun, sekilas menatap Ambarwati dan melesat cepat.
"Hei, tunggu! Aku ingin bicara denganmu!" seru Ambarwati sambil melarikan kudanya, menyusul pemuda itu.
Pemuda itu adalah Pranata, dia masih terus
berlari.
"Maafkan aku, Nona. Sungguh mati, aku tidak
ingin bertempur denganmu!"
"Bukan... bukan itu! Aku ingin minta maaf!" seru Ambarwati pada akhirnya.
Mendengar perkataan itu, Pranata memperlambat larinya dan berhenti. Ambarwati mendekatinya perlahan. Pranata menatap wajahnya.
"Kau sungguh-sungguh, Nona? Tidak akan menyerangku?" tanyanya sangsi. Pranata masih ingat, waktu itu saja Nona ini marah-marah hanya karena dia memandanginya. Tentu sekarang dia akan membalas kekalahannya itu, karena tak berhasil membunuhnya.
Pemudi remaja itu turun dari kudanya dan mengangguk sungguh-sungguh.
"Yah... maafkan aku waktu itu...." "Namaku Pranata Kumala."
"Aku bersalah kepadamu, Pranata. Maaf... maafkan aku "
"Tidak ada yang perlu dimaafkan Nona " "Namaku Ambarwati."
"Nona Ambarwati. Aku memang salah, aku telah berlaku ceriwis dengan menatap mu lama-lama "
Pemudi itu menunduk dengan wajah bersemu
merah.
"Kau... kau " Lagi-lagi dia kagok untuk bicara.
Pemuda di hadapannya betapa tampannya.
"Ya, aku ceriwis. Habis kau sangat cantik, Nona. Aku kagum melihat kecantikanmu. Ketahuilah, selama sembilan tahun aku tidak pernah melihat keramaian. Jadi melihat gadis secantik kau tentu saja aku tidak melewatkan kesempatan itu."
Wajah Ambarwati semakin memerah. Pemuda ini memujinya, betapa senangnya dia dipuji oleh pemuda yang telah menjerat hatinya. Perlahan diangkat wajahnya dan ditatapnya pemuda itu. Dadanya bergemuruh.
"Aku... aku minta maaf. Aku tidak menyangka kau lebih lihai dariku "
"Hei, kata siapa! Buktinya kau berhasil melukai lengan kananku! Lihat!"
Pemuda itu memperlihatkan lengan kanannya yang dibalut sapu tangan. Melihat itu hati Ambarwati semakin teriris. Ini kesalahannya, yang menganggap pemuda itu mata keranjang. Dia jadi kesal, apalagi pemuda itu tidak mau lepas dari wajahnya. Dia kan menjadi risih dan kesal. Enak saja memandang orang hingga membuat orang itu menjadi malu!
Dan sekarang dia menyesali karena tidak berpikir panjang lagi. Langsung menantang dan menyerang pemuda itu hingga lengan pemuda itu tergores oleh pedangnya.
"Maafkan aku " katanya lirih.
"Sudahlah, tidak ada yang perlu dimaafkan. Tidak ada yang perlu dibicarakan lagi, bukan?" Ambarwati mengangguk.
"Kalau begitu, aku permisi, Nona "
"Namaku Ambar."
"Oh iya, Ambar. Maaf aku permisi dulu."
Ambarwati hanya mengangguk, tidak berkata lagi sepatah kata pun. Entah kenapa dia menjadi kagok di hadapan pemuda itu. Ih, benar-benar hatinya sudah kepincut. Sayang pertemuan tadi hanya sebentar. Bayangan pemuda itu sudah tidak nampak lagi. Demikian cepat pemuda itu berlari.
Pranata sendiri pun sebenarnya enggan untuk meninggalkan gadis cantik itu. Hatinya bergetar melihat kecantikan wajah itu. Dia menjadi takut, kalau lama-lama berhadapan dengan gadis itu, dia menjadi gemetar pula.
Dia makanya buru-buru berpamitan. Selain itu, dia juga hendak segera ke perguruan Topeng Hitam. Hatinya sudah tidak sabar ingin bertemu dengan ayah bundanya.
Ambarwati membalikkan kudanya dan mendadak dia tertegun. Tiga orang pengemis sudah mengurungnya dan salah satunya Ayasumo.
"Ha.,, ha.., kita ketemu lagi, Nona. Hari ini kau tidak bisa melawan. Lebih baik menyerah saja dan ikut dengan kami. Daripada kau kubunuh!"
Ambarwati mendengus. Dia tidak takut mendengar ancaman itu. Tadi pun ketika berjumpa dia tidak takut, dia hanya tidak ingin berkelahi dan terlibat kesulitan, tetapi mau tidak mau dia harus berkelahi sekarang dan mungkin mendapat kesulitan.
"Ikut denganmu, ciih! Lebih baik aku mati daripada ikut dengan engkau!" seru Ambarwati galak dan diam-diam menyesali, karena Pranata Kumala sudah pergi. Kalau tidak, dia pasti akan membantunya menghadapi tiga orang dari partai pengemis ini. Ayasumo tertawa. Melihat bibir itu bergerak dan lidah yang mungil serta memerah, dia semakin bernafsu untuk mendapatkan gadis ini.
"Ha... ha..., kali ini kau tidak akan bisa lolos dariku, Nona! Cepat kau menyerah atau kau ku
paksa untuk melayaniku dan dua orang temanku!" Kedua teman Ayasumo terbahak. Melihat ke-
cantikan gadis itu mereka juga naik nafsu birahinya. Wajah Ambarwati menjadi pias. Lagi-lagi dia menyadari, kalau dirinya ini bukan apa-apa jika dibandingkan mereka. Mendadak dia mengeprak kudanya dan maju menerjang dengan kencang.
Ketiga orang itu menghindar ke samping dan tongkat Ayasumo sudah bergerak, menotok kuda itu hingga berhenti mendadak. Tubuh Ambarwati terjengkang ke depan, untung dia segera bersalto jadi tidak jatuh terdorong. Melainkan hinggap dengan ringan.
Ketiga orang pengemis itu segera mengurungnya sambil terkekeh-kekeh. Ambarwati akan bertahan mati-matian, daripada dirinya ternoda. Dia tidak bisa membayangkan hal itu. Ngeri hatinya jika dia sampai ternoda oleh ketiga pengemis itu.
Dengan segera dia mencabut pedangnya dan siapa menyambut serangan ketiga pengemis jembel.
Ayasumo terbahak, meremehkan.
"Kau masih mau melawan juga rupanya, Nona. Kuperingatkan, tak ada gunanya kau melawan kami bertiga! Kau akan terluka, Nona."
"Itu lebih baik bagiku!" seru Ambarwati gusar. "Daripada jatuh ke tangan kalian, aku lebih suka mati hari ini!"
Ayasumo terbahak, disahuti oleh kedua orang temannya.
"Baik, Nona! Tetapi jangan menyesal, kalau kau mati, kami juga kan memperkosa mu!"
"Lakukanlah!" seru Ambarwati antar nekat dan takut. Orang-orang itu memang iblis biadab!
Ayasumo tertawa dan segera memutar-mutar tongkatnya. Begitu pula dengan kedua temannya. Putaran tongkat itu menimbulkan desingan angin yang agak keras. Dan bunyi yang agak lumayan.
Ambarwati menjadi agak ciut juga. Tetapi dia sudah membuka jurusnya. Pedangnya diletakkan di dada. Tangan kirinya memancang ke depan. Kaki kiri di tekuk ke depan dan kaki kanan lurus berdiri.
Siap menghadapi mereka.
Ayasumo tertawa dan tiba-tiba mengayunkan tongkatnya dengan sangat cepat. Arahnya ke dada Ambarwati. Ayasumo memang seorang pengemis cabul. Ambarwati menjerit kaget. Sambil membentak dia menangkis, "Bangsat cabul!"
"Trak...!"
Ayasumo tertawa-tawa dan mencecar dada Ambarwati, yang menjadi kesulitan untuk menangkis. Dia juga mencecar pangkal paha Ambarwati yang semakin kerepotan. Selain malu dan jijik dia juga kebingungan, karena dua tongkat yang lain sudah menyambar pula. Dalam waktu yang singkat saja, Ambarwati sudah terdesak hebat. Tongkat-tongkat itu sudah beberapa kali mampir di tubuhnya.
Dan tiba-tiba Ayasumo memekik dan mengayunkan tongkat ke kepala Ambarwati. Ambarwati mengayunkan pedangnya ke atas untuk menangkis. Tongkat berhasil ditangkis. Namun dengan sangat cepat, Ayasumo masuk dan tangan kirinya menotok Ambarwati hingga kaku. Ambarwati membentak, "Lepaskan, lepaskan totokan kalian! Kalian semua pengecut, ayo kita bertanding sampai mati!"
"Ha... ha... mana mungkin aku akan membunuh gadis secantik kau! Tubuh mu padat dan empuk. Aku menyukaimu, Nona."
Tangan Ayasumo secara cabul menggerayangi dada Ambarwati. Ambarwati menjerit-jerit marah.
"Lepaskan aku, kita bertanding lagi!"
"Ha... ha..." Tangan Ayasumo sudah memegang dan meremas dada Ambarwati. Terasa empuk dan lembut. Benar-benar masih mengkal namun kenyal.
Ambarwati menjerit dan memejamkan matanya menahan malu, kesal, marah dan jijik terhadap Ayasumo yang semakin keenakan meremas. Tiba-tiba Ayasumo melepaskan totokannya dan mendorong tubuh Ambarwati hingga jatuh. Dan sebelum Ambarwati bergerak, dia sudah menotok kembali.
"Ha... ha... sebelum ku persembahkan kepada ketua, lebih baik ku nikmati saja dulu tubuhmu, Nona. Kalian berdua tunggu giliran. Sekarang tontonlah aku untuk menaklukkan gadis ini."
"Breeet...!" Ayasumo sudah merobek dada Ambarwati. Dada yang kenyal dan empuk, dengan buas dia menciumi dada itu.
Tetapi tiba-tiba tubuhnya mengejang dan ambruk tanpa nyawa lagi.
Kedua temannya tersentak kaget. Mereka segera memeriksa tubuh Ayasumo. Sebuah jarum berbisa menancap cepat di jantungnya.
Kedua pengemis itu segera bersiap, mencari siapa yang .telah melakukan perbuatan tadi. Tetapi tidak nampak seorang pun di sana.
Ambarwati sendiri pun heran, namun gembira dan lega. Karena dirinya terlepas dari ancaman yang amat mengerikan bagi setiap wanita. Dan mendadak dia merasakan dirinya telah terbebas dari totokan. Sebuah kerikil kecil telah melepaskan totokan itu. Dengan hati-hati dia menutupi dadanya dan mengambil tongkat Ayasumo. Lalu diayunkannya tongkat itu ke leher kedua pengemis yang sedang celingukan itu.
"Des..! Des...!"
"Aaaah...!"
Kedua tubuh itu ambruk dan terkulai pingsan.
Ambarwati membenahi pakaiannya yang masih agak terbuka. Sudah agak, sobek. Masih menampakkan keputihan tubuh di bagian dadanya.
Ia mengambil tali di kudanya dan mengikat pakaian yang terbuka itu hingga merapat kembali. Dia segera naik ke kudanya. Tetapi mendadak dia berhenti. Dia belum tahu siapa yang telah menolongnya.
Tiba-tiba pohon di sampingnya bergerak. Ambarwati menoleh ke atas. Si Kedok Putih sedang melambaikan tangannya dan bersalto lalu menghilang.
Ambarwati menghela nafas panjang. Lagi-lagi dia yang telah menolongnya. Siapa dia sebenarnya dan mengapa selalu muncul memberinya pertolongan?
Mendadak sebuah pikiran yang mengejutkannya sendiri melintas.
Si Kedok Putih mencintainya.
Entah siapa dia sebenarnya, Ambarwati bahagia jika benar-benar si Kedok Putih mencintainya. Tetapi dia harus menolak, karena dia sudah mencintai Pranata Kumala.
Ah, mengapa sekarang dia menjadi memikirkan itu. Dia senang dan kagum dengan si Kedok Putih, tetapi tidak mencintainya. Ambarwati yakin, kalau si Kedok Putih mencintainya, buktinya dia selalu muncul menolongnya jika dia mendapat kesulitan.
Tetapi jelas-jelas dia harus menolak cintanya si Kedok Putih. Hatinya sudah terjerat oleh Pranata Kumala. Sayang, pemuda itu pergi dengan cepat. Padahal dia ingin sekali lama bercakap-cakap dengan pemuda itu! Pemuda yang baru beberapa hari saja sudah menjerat hatinya.
Tetapi, apakah Pranata Kumala juga mencintainya? Ah, betapa sedihnya dia jika ternyata Pranata Kumala tidak mencintainya.
Ambarwati segera memacu kudanya. Hari ini ia menjumpai dua orang pemuda yang sama-sama membuatnya kagum. Tetapi pada si Kedok Putih dia hanya kagum, sedangkan kepada Pranata Kumala dia mencintainya.
Dan Ambarwati akan mencari di mana adanya Pranata Kumala dia ingin selalu dekat dengan pemuda itu.
***
7
Ketua Partai Pengemis yang bernama Sengkawung itu, marah besar mengetahui Ayasumo meninggal di tangan si Kedok Putih. Dia menggeram marah sambil menggebrak meja di hadapannya. Begitu keras, hingga patah berantakan.
Dua orang anak buahnya yang datang melapor tadi, menggigil ketakutan.
Sengkawung membentak marah, "Baik, Kedok Putih! Hari ini, partai Pengemis Sakti akan bermusuhan denganmu! Baik, hari ini juga kita akan berangkat mencari si Kedok Putih!"
Sengkawung bangkit dan mengambil tongkat kebanggaannya. Bersama lima orang anak buah, mereka segera berangkat mencari si Kedok Putih. Sengkawung geram sekali, dia akan menghancurkan si Kedok Putih itu!
Sore hati mereka tiba di sebuah desa yang tidak ramai. Tidak ada seorang pun yang mengenal si Kedok Putih ketika mereka bertanya. Dengan geram Sengkawung memukul orang yang ditanya. Dia menarik baju orang itu yang menggigil ketakutan.
"Kalau kau bertemu dengan orang yang memakai kedok putih, cepat laporkan kepadaku!"
"Baik... baik, Raden.... Saya... saya akan melaksanakan perintah Raden "
"Huh!" Sengkawung mendorong tubuh orang itu hingga jatuh tersungkur. Setelah itu orang itu buruburu lari dengan wajah pias. Dia menyesal mau menjawab pertanyaan pengemis jembel itu!
Sengkawung nampaknya benar-benar marah besar. Wajahnya semakin geram ketika sampai malam dia tidak mendengar kabar tentang si Kedok Putih.
Akhirnya dia membuat suatu rencana, untuk membuat onar, mungkin dengan itu si Kedok Putih akan muncul.
Keesokan harinya, dia segera merampok sebuah rumah. Dan membunuh semua penghuninya kecuali anak gadis keluarga itu. Dengan buas, Sengkawung memperkosanya. Lalu membunuh gadis itu dengan keji.
Tetapi si Kedok Putih tidak muncul juga. Kembali akhirnya dia memutuskan untuk merampok sebuah kereta kuda yang membawa pengiriman parang.
Kereta kuda itu dikawal oleh Pranata Kumala dan beberapa murid perguruan Topeng Hitam.
Kali ini Pranata hanya membuat sebuah jebakan. Dalam kereta kuda itu tidak ada barang berharga. dia hanya ingin memancing gerombolan Golok Iblis untuk muncul.
Tetapi di tengah jalan, malah enam orang berpakaian pengemis yang menghalangi jalannya. Sikap mereka sungguh-sungguh menantang.
Pranata menghentikan rombongannya dan menghampiri mereka.
"Maafkan kami, Saudara. Kami hendak melalui jalan ini, jangan menghalang di tengah jalan."
Sengkawung membentak marah.
"Serahkan barang yang engkau bawa itu, baru kami akan minggir memberimu jalan."
"Itu barang pesanan, Kisanak. Kami tidak bisa memberikan kepada kalian."
"Berarti hanya ada satu jawaban, tak ada jalan dan kalian akan menerima kematian hari ini."
"Saudara, kami tidak mencari permusuhan dengan siapa pun. Tak terkecuali kalian. Minggirlah, biarkan kami melanjutkan perjalanan."
"Hhh! Kau sudah ingin mampus rupanya!" bentak Sengkawung jengkel dan mengayunkan tongkatnya. Tetapi dengan cepat Pranata melompat menghindar, namun kudanya tidak bisa menghindar. Kepala kuda itu hancur terkena ayunan tongkat Sengkawung dan roboh bermandikan darah.
Sungguh luar biasa tenaga pimpinan partai pengemis itu. Besar dan kuat. Pranata menjadi siaga. Dia mengibaskan tangannya memberi tanda agar yang mengawal kereta kuda itu segera turun semua dan membiarkan kereta kuda tidak ada yang menjaga.
Sengkawung pun segera berseru untuk bersiap. Lima orang muridnya bergerak ke depan, berhadapan dengan lima orang murid perguruan Topeng Hitam yang sudah mencabut sepasang pedang mereka.
Dengan siaga yang tinggi mereka mempersiapkan jurus masing-masing.
Sedangkan Pranata Kumala sudah berhadapan dengan Sengkawung. Pranata sudah mencabut senjatanya, sebuah seruling.
"Kalau kalian mampu melangkahi mayat kami, kupersilahkan ambil barang yang kami bawa itu!"
Sengkawung terbahak.
"Baik, baik. Kami akan buktikan semua itu! Lihat serangan!" setelah membentuk dengan lengkingan yang tinggi, Sengkawung menerjang dengan ayunan tongkat yang kuat. Serentak pula kelima muridnya menyerang.
Pranata mengelakkan ayunan tongkat itu dengan menghindar dan masuk ke depan dengan seruling siap menotok Sengkawung. Sengkawung memiringkan tubuhnya dan tongkatnya menggetok kepala Pranata yang dengan sangat cepat Pranata sudah bergulingan menghindar.
Sebenarnya Sengkawung tidak bermaksud bertempur. Dia hanya ingin memancing keluarnya si Kedok Putih, tetapi karena pemuda itu menantangnya, timbul rasa marahnya terhadap pemuda itu. Dia menyerang dengan sangat sungguh-sungguh. Sengkawung adalah orang yang tidak mau mengalah dan panasan.
Sebentar saja sudah ramai suasana di tempat itu. Suara benturan senjata mereka amat cepat dan ramai. Nyaring dan keras.
Tiba-tiba Sengkawung memutar tongkatnya yang berubah menjadi seperti baling-baling. Desingan angin yang ditimbulkan oleh putaran tongkat itu amat keras dan agak dingin. Dengan masih memutar tongkatnya dia maju menyerang. Pranata sejenak kebingungan, karena dia tidak tahu bagaimana cara membalas serangan itu. Mendadak dia menghindar ke belakang, karena putaran tongkat itu sudah menyerangnya. Tetapi tongkat itu pun mendadak menjadi menyodok. Suatu ilmu tongkat yang mengagumkan. Pranata menangkis dengan serulingnya.
"Traak...!"
Dan tubuhnya sudah melenting bersalto, tetapi kembali tongkat itu mengejarnya. Dengan hebat tongkat itu menegak dan menotok tubuh Pranata yang masih bersalto. Lagi Pranata memperlihatkan kecepatan ilmu serulingnya dia menangkis.
"Traak...!"
Tetapi karena posisi tubuhnya masih di udara, itu tidak menguntungkan baginya. Dia terhuyung begitu hinggap di tanah. Tenaga ayunan tongkat itu sangat besar dan kuat.
Keadaan lima murid perguruan Topeng Hitam berada di atas angin. Mereka sudah memperlihatkan kehebatan ilmu pedang perguruan Topeng Hitam yang amat cepat dan tangguh.
Tetapi para pengemis itu pun memperlihatkan kelihaian mereka memainkan tongkat. Dengan tongkat itu mereka mengimbangi permainan pedang murid perguruan Topeng Hitam.
Namun tidak bertahan lama, karena mereka agaknya terdesak. Salah seorang pengemis itu mengaduh dan tubuhnya ambruk dengan lengan yang putus.
"Aaah...!"
Melihat kawan mereka terluka, yang lain sudah menyerang membabi buta. Tidak tentu arah serangannya. Terus memukul dan menotok. Dan kali ini murid perguruan Topeng Hitam yang agak terdesak, soalnya gerakan tongkat itu mengayun dengan cepat dan asal saja, namun satu tujuan. Tubuh sang lawan!
"Des...!" sebuah pukulan tongkat mampir di salah seorang dari murid perguruan Topeng Hitam. Orang itu terhuyung dan pengemis yang memukulnya terus mencecar, sebisanya murid itu menangkis, namun kembali sebuah hantaman keras mampir di pahanya.
"Aaah...." Dia mengaduh keras dan roboh dengan tulang paha yang patah.
Kesempatan itu digunakan oleh pengemis itu untuk menghabisinya. Tetapi mendadak dia mengaduh, keras pula.
"Aaah "
Sebuah sinar merah menghantam pergelangan tangannya hingga hangus. Rupanya Pranata sudah mengeluarkan pukulan sinar merahnya yang sangat hebat. Tetapi dia pun harus membayar semua itu dengan hantaman tongkat Sengkawung di dadanya.
"Des !"
Karena menolong temannya itu, dia menjadi lengah. Tidak waspada kepada Sengkawung yang masih siap dengan tongkatnya.
Tubuh Pranata terhuyung beberapa langkah. Sengkawung mengejar dengan lengkikan keras. Tetapi Pranata sudah mengibaskan tangannya.
Kembali selarik sinar merah mengurungkan niat Sengkawung. Dia berkelit dengan jalan berguling dan tangannya sudah mengibas pula.
Beberapa paku beracun berterbangan ke arah Pranata yang kembali melancarkan sinar merahnya! Paku-paku itu hangus terhantam sinar merah. Melihat serangannya gagal, Sengkawung melempar tongkatnya dengan tenaga yang keras. Kali ini Pranata berguling untuk menghindari tongkat itu. Tongkat itu menancap sampai setengahnya ke tanah. Bisa dibayangkan kalau sampai mengenai sasarannya.
Pranata buru-buru berdiri. Dia sudah membuka jurusnya, Tangan Bayangan warisan gurunya. Sengkawung pun membuka jurusnya. Sebuah jurus kungfu yang dipelajari di tanah leluhurnya, Tiongkok sana.
Jurus yang cepat dan tangguh.
Kedua-duanya memutar dengan perlahan, saling tatap dengan waspada dan mencari kelemahan lawan. Tiba-tiba Sengkawung bergerak melancarkan pukulannya. Pukulan itu betapa cepatnya dan penuh tenaga.
Pranata pun segera menyambut dengan sebuah tangkisan yang penuh tenaga pula.
"Des...!"
Disusul dengan sebuah sodokan pada ulu hati Sengkawung. Sengkawung cepat menarik tangannya dan memukul tangan Pranata dengan sikunya. Dan sangat tiba-tiba dia memutar dan kakinya menendang lurus ke wajah Pranata.
Pranata menunduk dan berguling karena kaki Sengkawung sudah bergerak lagi. Benar-benar jurus kungfu yang bagus. Kali ini Pranata mengambil inisiatif menyerang. Begitu bangkit dia langsung menyerbu dengan jurus tangan Bayangannya. Tangan itu bergerak demikian cepatnya dan sangat hebat, hingga membuat Sengkawung agak kewalahan. Namun dia bisa mengimbanginya.
Keduanya kembali memperlihatkan kehebatan dan kelincahan dalam menggunakan jurus tangan kosong. Jurus-jurus yang ampuh dan mematikan.
Sementara itu, di tempat yang sama. Muridmurid perguruan Topeng Hitam sudah berhasil merobohkan dua orang pengemis itu. Kini mereka tinggal dua dan berhadapan dengan empat orang yang memegang pedang dengan hebat.
Mereka sudah menggunakan jurus pedang Memanah Matahari. Sebuah jurus yang amat hebat. Dimainkan secara bersamaan dengan gerakan yang sama. Mereka berjajaran ke samping dan menyerang dengan tusukan kepala kedua lawannya.
Tentu saja mereka kaget, karena gerakan pedang lawan-lawannya dimainkan secara seren-tak dan kuat.
Keduanya menangkis dengan susah payah. Namun salah sebuah pedang itu berhasil menggores pengemis yang berada di sebelah kiri, pahanya terluka dan darah mengalir keluar.
Sengkawung melihat hal itu. Dia bermaksud hendak menghentikan pertempuran, karena sebenarnya dia tidak ingin bertempur dengan mereka,. Keinginannya hanya satu, menunggu si Kedok Putih muncul. Tetapi yang ditunggunya tidak muncul-muncul. Lagipula, menghadapi orang-orang itu dia agak kewalahan juga. Pemuda itu sangat tangguh, belum lagi kalau dia melancarkan pukulan sinar merahnya. Membuatnya terkejut dan menjadi kalang kabut.
Mendadak dia bersuit dan berkelebat menghilang. Seorang muridnya itu segera berbuat yang sama berkelebat menyusul ketuanya.
Murid-murid perguruan Topeng Hitam bermaksud mengejar, tetapi Pranata melarang.
"Biarkan orang-orang itu. Lagipula, kita tidak kehilangan apa-apa. Cepat kalian obati kakang Kusni dan masukkan ke kereta kuda."
Mereka segera menjalankan perintah itu. Biar bagaimana pun mudanya Pranata, dia menjadi pemimpin mereka saat ini. Dengan segera Kusni diobati dan dinaikkan ke kereta kuda. Setelah itu mereka kembali lagi, seolah menanti apa perintah selanjutnya.
Pranata mengangguk.
"Kita lanjutkan perjalanan ini. Daerah menuju ke desa Pacitan belum kita lalui. Kali ini kalian harus bersiap. Mungkin gerombolan orang merampok itu berjumlah sangat banyak."
Setelah tidak bertemu dengan orang yang dicarinya, Ambarwati bermaksud pulang. Dia agak kesal karena si Kedok Putih maupun Pranata tidak muncul kembali. Sudah dicarinya ke sana kemari, tetapi tidak kelihatan.
Di barat sana, matahari sudah hendak kembali ke peraduan. Cahaya merahnya membiasi langit dengan indah. Sejenak Ambarwati memperhatikan keindahan alam itu. Betapa besarnya Tuhan menciptakan semua itu. Sangat indah dan sedap dipandang.
Tanpa terasa makin lama matahari itu makin menghilang dan malam mulai datang. Ambarwati segera menjalankan kudanya untuk kembali ke rumah.
Entah kenapa dia sangat kesal karena tidak bertemu dengan salah seorang dari kedua pemuda yang di kaguminya. Kedok Putih dan Pranata Kumala.
Ah, ingatannya kembali kepada Pranata Kumala. dia yakin, dirinya jatuh cinta pada pemuda tampan itu. Kalau ingat akan luka di lengan kanan pemuda itu akibat goresan pedangnya, dia menjadi menyesal sendiri. Tidak seharusnya tangan pemuda itu terluka. Dua hari yang lalu pun, ketika bertemu dengannya, Ambarwati melihat luka itu masuk menggores di tangan Pranata, walau ditutupi saputangan putih.
"Maafkan aku, Pranata...." desisnya kepada angin, karena hanya angin saja yang berada di sekitar sana. Tidak ada siapa-siapa.
Tetapi kalau ingatannya kembali kepada si Kedok Putih, dia menjadi agak iba. Ambarwati yakin, si Kedok Putih mencintainya. Buktinya dia selalu muncul kalau dirinya dalam kesulitan.
Pemuda yang selalu membantu seorang gadis, pasti ada apa-apanya. Kalau tidak suka, ya, cinta! Cinta, sebenarnya apa sih cinta? Ambarwati sendiri menjadi bingung. Lalu apa nama perasaan sukanya kepada Pranata Kumala? Apa itu cinta.
Dan mendadak Ambarwati menjadi berdebar sendiri. Apa dia sudah pantas untuk mengenal cinta? Ih, cinta! Apa sih maksudnya? Pokoknya bagi Ambarwati, dia selalu ingin bertemu dengan Pranata Kumala, pemuda tampan yang tidak sombong itu.
Ambarwati pasti yakin, itu yang namanya cinta. Cinta juga perlu pengorbanan. Buktinya? Si Kedok Putih itu. Dia selalu menolongnya dalam kesulitan, berarti dia berkorban tenaga bahkan nyawa kalau suatu saat dia terbunuh ketika menolongnya.
Tetapi si Kedok Putih kelihatan tangkas dan hebat. Ilmunya tinggi. Mungkin lebih tinggi dari Pranata Kumala? Ah, pemuda itu pun hebat Ambarwati tidak mau kalau-kalau pemuda pujaannya di kalahan orang. Pasti Pranata Kumala mampu mengimbangi kesaktian Si Kedok Putih.
Karena berjalan sambil melamun, tanpa terasa, kudanya sudah tiba di daerah yang tak jauh dari rumahnya. Barulah Ambarwati sadar, kalau dia sejak tadi melamun. Dengan bergegas dia memacu kudanya, karena hari sudah malam. Tetapi baru beberapa ratus meter dia melarikan kudanya, dia melihat serombongan orang berkuda keluar dari balik bukit. Orang itu sangat banyak. Berjumlah lebih dari dua puluh orang. Dan yang membuat Ambarwati terkejut, dia mengenali semua orang itu. Pelayan-pelayannya di rumah.
Dan lebih terkejut lagi ketika melihat seorang penunggang kuda yang memakai jubah di belakangnya. Ayahnya! Penunggang kuda itu pasti ayahnya. Ambarwati yakin, itu Bapa!
Mau apa Bapa malam-malam begini keluar dengan sebanyak itu para pengawalnya. Hei, baru kali ini dia melihat ayahnya keluar malam. Apa yang hendak dilakukan ayahnya malam-malam begini?
Dengan perasaan penuh tanda tanya dan ingin tahu, Ambarwati mengikuti rombongan itu dari belakang, agak mengatur jarak karena kuatir ketahuan oleh mereka.
Memang, saat ini Jedangmoro hendak beraksi lagi, karena menurut mata-matanya, ada sebuah kereta barang yang dikawal oleh enam orang hendak berangkat menuju desa Pacitan.
Sebenarnya Jedangmoro tidak ingin pergi menjegal sekarang. Biarlah rombongan itu lewat dengan selamat. Dia kuatir, putrinya akan datang malam ini. Tetapi ketika ingat, kalau putrinya suka ngelayap lewat dari izin perginya, Jedangmoro segera memerintahkan anak buahnya untuk bersiap. Malam ini mereka harus membuat persiapan jebakan dan paginya mereka akan garap orang-orang itu.
Jedangmoro tidak tahu, kalau kali ini putrinya patuh, kembali sesuai dengan izinnya sebanyak tiga hari. Dan putrinya kini berada di belakang rombongan mereka, yang terheran-heran hendak berbuat apa ayahnya dengan pasukan sebanyak itu.
Ambarwati juga melihat, kalau pelayan-pelayan yang biasa di rumah sopan dan baik, kini kelihatan mereka sangat beringas dan di pinggang mereka masing-masing, tercantel sebuah golok besar.
Hendak ke manakah mereka itu?
Ambarwati terus membuntuti dengan hati-hati, masih tetap mengatur jarak. Tak berapa lama kemudian, dia melihat pasukan itu berhenti dan ayahnya memberi perintah untuk membuat rintangan yang berupa susunan bambu di tengah jalan.
Dan anak buahnya serentak melaksanakan tugas itu. Lagi-lagi dalam hati Ambarwati bertanya-tanya kebingungan. Bapa sedang melakukan apa? Apakah Bapa akan menyerang musuhnya dengan mencegat perjalanan mereka. Atau... ah, Ambarwati tidak menemukan jawabannya lagi.
Dia bersembunyi di atas pohon, sedangkan kudanya diikat jauh dari tempatnya mengintai.
Malam semakin larut. Ambarwati melihat orang-orang yang ditugaskan ayahnya sudah selesai menjalankan tugas. Kini lima buah batang pohon dijajarkan di jalanan. Memang bisa menghambat perjalanan, karena batang pohon itu besar dan harus disingkirkan lebih dulu.
Setelah itu mereka semua bersembunyi di balik batu-batu besar. Lho, kenapa mereka bersembunyi. Ada apa sebenarnya. Mungkin dugaannya benar, ayahnya mempunyai musuh dan kali ini akan melakukan penyerangan. Wah, tentu asyik sekali melihat pertempuran itu. Dia akan melihat kegagahan ayahnya dalam bertempur nanti.
Ayah pasti jago dan hebat memainkan golok. Siapa sih yang menjadi musuh ayahnya? Selama ini ayah tidak mau menceritakan tentang musuhnya. Bahkan Ambarwati sendiri tidak pernah mendengar kalau ayahnya punya musuh. Jadi siapa musuhnya itu?
Malam terus merambat dan pagi pun datang. Matahari perlahan-lahan keluar dari peraduan-
nya. Dia tidak pernah telat sedetik pun. Selalu siap siaga menjalankan tugasnya. Tugas yang rutin dan dia tidak pernah mengeluh dengan tugasnya.
Diam-diam Ambarwati ingin seperti matahari, yang selalu tepat pada apa yang dikerjakannya.
Semalaman dia tidak tidur. Ambarwati melihat ada beberapa anak buah ayahnya yang tidur dan ada yang tidak. Seolah mereka menjaga jangan sampai jejak musuh sudah terlewat.
Kira-kira matahari sepenggal, dari kejauhan terlihat debu mengepul. Dan sebuah kereta kuda dengan lima orang pengawalnya melaju ke arah rintangan kayu itu. Memang hanya itu jalan satu-satunya menuju desa Pacitan. Pasti mereka akan menuju desa Pacitan.
Tetapi, apakah orang-orang itu yang ditunggu ayahnya? Kalau hanya lima orang, mengapa ayahnya membawa pasukan sebanyak itu.
Ah, pasti bukan mereka.
Tetapi dugaan Ambarwati salah. Salah besar.
***
8
Secara tiba-tiba saja dia mendengar suara ayahnya berseru, "Serbuuuu!" Serentak orang-orang yang bersembunyi itu keluar berhamburan dengan suara kuda yang meringkik dan derap langkahnya yang cepat.
Kereta kuda itu berhenti secara mendadak. Seorang pemuda yang tampan dan agaknya pemimpin rombongan kecil itu menghentikan kudanya, bersiap dengan mencabut serulingnya. Yang lain pun segera mencabut sepasang pedang mereka masing-masing.
Rupanya mereka adalah Pranata Kumala dan sisa empat orang murid perguruan Topeng Hitam. Mereka baru melanjutkan perjalanan setelah menginap semalam di sebuah penginapan.
Orang-orang itu segera mengurung dan Jedangmoro seperti biasa membentak, " Cepat serahkan barang yang kalian bawa itu kepada kami! Kalau tidak "
"Kalian yang akan kami bunuh!" Pranata Kumala sudah memotong, membuat wajah Jedangmoro agak memerah.
Ia menjadi gusar. Pemuda ini terlalu berani. Dan yang sangat terkejut adalah Ambarwati, pemuda yang dibentak ayahnya itu adalah pemuda tampan yang dicintainya.
Hei, ayah rupanya ingin mengambil barang yang dibawa oleh pemuda dan rombongannya itu. Mengambil? Hah, lalu apa kerja ayah sebenarnya?
Ambarwati menunggu kejadian selanjutnya, tetapi dia sudah memekik, karena ayahnya tengah mengayunkan goloknya ke arah Pranata yang cepat menangkis dengan serulingnya dan membelokkan kudanya ke samping kiri.
"Traakkk...!"
Serentak yang lain segera menyerang dengan pekikan keras. Empat orang murid perguruan Topeng Hitam bertahan mati-matian menghadapi serangan yang beruntun dari jumlah penyerang yang sangat banyak.
Suara bunyi senjata beradu sangat ramai dan nyaring. Ditimpali oleh jeritan yang terluka sangat keras, bahkan mengalahkan kerasnya bunyi benturan senjata.
Criing..! Aaah...!"
Suara-suara itu bersatu dengan galau. Karena didesak oleh puluhan orang, keempat murid perguruan Topeng Hitam itu tidak mampu bertahan, hanya sebentar saja mereka semua roboh bermandikan darah. Dan orang-orang itu menyerbu ke arah kereta kuda. Tetapi betapa marah dan terkejutnya mereka, karena di kereta kuda itu tidak terdapat apa yang mereka cari. Mereka hanya menemukan seorang murid perguruan Topeng Hitam yang mengerang karena terluka.
Dengan marah mereka menyeret orang itu keluar dan mengganyangnya ramai-ramai.
Sementara itu Pranata Kumala sudah mendesak Jedangmoro, namun dia segera bersalto karena tiga orang dari anak buahnya Jedangmoro sudah bergerak membantu.
Tidak hanya tiga, hampir seluruhnya, karena mereka kesal dan marah tidak mendapatkan apa-apa. Jelas-jelas Pranata mengerahkan seluruh kehebatannya. Jurus tangan Bayangan dan pukulan sinar merahnya berkelebat ke sana-kemari, membuat para pengeroyoknya menjadi kocar kacir.
Tetapi karena betapa banyaknya pengeroyok itu, akhirnya dia terluka juga di tangan sebelah kiri.
"Aaah...." Pranata terhuyung dan sebisanya menangkis golok-golok itu dengan serulingnya.
Di tempat persembunyiannya, Ambarwati terkejut. Benar, ayahnya ingin merampok. Kalau begitu selama ini yang dikerjakan ayahnya hanya merampok dan membunuh.
Pantas kalau pulang ayah selalu membawa harta yang banyak. Ambarwati sendiri sebenarnya ingin bertanya dari mana harta sebanyak itu, tetapi dia diam saja karena ayahnya pasti ingin menyenangkannya dengan harta itu.
Tetapi kali ini, dia melihat dengan mata kepala sendiri, kalau ayahnya merampok kereta kuda itu!
Dengan menahan marah dan tangis, Ambarwati melompat turun dan berlari ke kudanya. Dengan digeprak keras, kudanya meloncat ke depan dan berlari dengan kencang. Membawa Ambarwati yang menangis pilu, ke arah pertempuran.
Saat ini, nyawa Pranata benar-benar terancam. Dia masih berusaha bertahan dengan pukulan sinar merahnya. Tetapi lama kelamaan dia menjadi kewalahan. Kembali golok-golok itu menyambar tubuhnya.
Pranata bersalto ke belakang dan mengeluarkan seruling pemberian ayahnya. Seruling Naga, hanya ini satu-satunya yang bisa menghancurkan pasukan perampok itu,
Tetapi sebelum dia meniup seruling itu terdengar jeritan, "Bapaaa!!"
Semua menoleh ke arah itu. Seorang gadis remaja tengah memacu kudanya dengan cepat dan berhenti di dekat Jedangmoro. Ia turun dengan bergegas dan berkata-kata dengan sangat cepat, "Bapa, apa artinya semua ini Bapa? Kenapa Bapa melakukan perbuatan hina itu. Ambar sedih, Bapa. Ambar juga jijik! Jadi selama ini Bapa memberi makan Ambar dengan harta yang tidak halal. Bapa, katakan, kenapa Bapa melakukan semua itu?" Jedangmoro tergagap. Tidak bisa berkata apaapa. Dia terdiam lesu, tidak menyangka putrinya akan muncul dan memergokinya.
"Bapa, katakan, Bapa. Kenapa, kenapa? Ambar sedih, Bapa. Bapa yang selama ini Ambar banggakan ternyata hanya seorang perampok. Bapa... Ambar anak perampok! Ambar anak perampok...!"
Gadis itu berlari dan menangis tersedu-sedu. Jedangmoro tertegun hendak mengejar. Tetapi terdengar bentakan Pranata Kumala.
"Tak kusangka, orang macam kau mempunyai gadis se suci itu! Hatinya masih murni dan mulia, tetapi kau telah meracuninya dengan perbuatanmu yang busuk itu, yang sangat membuatnya terpukul!"
Jedangmoro menggeram marah. Dia harus melampiaskan kemarahannya itu kepada pemuda ini. Dengan marah dia berseru, "Bunuh pemuda itu...!"
Tetapi Pranata Kumala sudah bersiap. Gadis manis itu sudah menjauh, tidak mungkin terkena alunan seruling naga. Begitu mereka menyerang, Pranata cepat bersila dan mulai meniup Seruling Naga itu.
Terdengar suara yang lembut dan sahdu, tetapi terdengar amat menyentak di telinga para penyerangnya, dan terasa sangat menyakitkan. Penyerang itu serentak terguling sambil menutupi telinga mereka, berusaha menahan rasa sakit yang dialirkan oleh nada suara seruling itu.
Kuda-kuda mereka pun bergeletakan dengan ringkikan hebat. Sementara Jedangmoro sendiri duduk bersila dengan kedua telapak tangan bersatu di dada.
Mengerahkan tenaga dalam dan hawa murninya. Tetapi serangan suara seruling itu membuat tubuhnya gemetar dan mengeluarkan darah. anak buahnya yang lain sudah sekarat semua dan akhirnya tewas bergeletakan dengan mengeluarkan darah dari bibir dan telinganya.
Tubuh Jedangmoro bergetar hebat dan akhirnya ambruk dengan bibir dan telinga mengeluarkan darah. Sampai di situ Pranata Kumala menghentikan tiupan serulingnya dan beranjak menghampiri Jedangmoro yang nafasnya tengah putus-putus.
Mata Jedangmoro terbuka, perlahan-lahan, agak meredup dan seperti menahan rasa yang amat sakit.
"Kau... kau... sungguh hebat, Anak muda Ah,
tolong... tolong cari putri ku... katakan... a... aku...
minta maaf dan aaguhhh!"
Tubuh itu terkulai dan nyawanya terbang melayang. Pranata menghela nafas panjang. Keangkaramurkaan akan berakhir juga. Dia sedih melihat mayatmayat yang bergeletakan itu, tetapi tak ada jalan lain, mereka semua harus dibasmi kalau tidak ingin membuat keonaran lagi. Betapa banyak perbuatan dosa yang telah mereka lakukan dan semua itu harus dihentikan.
Tiba-tiba dia teringat kepada Ambarwati, dengan cepat dia berkelebat berlari mencari gadis itu. Pranata menemukan gadis itu berada sedang duduk termenung dan sekali-sekali terisak di tepi sungai yang alirannya bersih dan bening, suara gemerciknya enak didengar.
Gadis itu tidak menyangka akan perbuatan ayahnya selama ini dan bagaimana perasaannya ketika tahu siapa yang diserang ayahnya.
Pranata Kumala, pemuda yang dicintainya. Oh, pasti pemuda itu tidak akan menyambut rasa cintanya. Pasti dia malu mempunyai kekasih seorang anak perampok. Ambarwati menangis tersedu-sedu. Tiba-tiba dia mengangkat wajahnya. Terdengar suara lembut di belakangnya, "Ambar. "
Ambarwati cepat menoleh dan mengusap air matanya. Sejenak dia melengak. Yang memanggilnya pemuda yang dicintainya.
Ah, pasti dia akan memandang rendah kepadanya. Ambarwati menunduk, tak kuasa menatap wajah tampan itu. Tetapi tadi ketika dia menatap mata itu, tidak ada kesan mengejek dan memandang rendah kepadanya. Ah, itu hanya ilusinya saja agar hatinya tenang.
Pemuda itu beranjak mendekat. Berlutut dan tiba-tiba memegang dagunya, menaikkan agar dia menatap matanya.
Tubuh Ambarwati menggigil. Tak kuasa dia balas menatap.
"Kau menangis, Ambar...." suara pemuda itu lembut.
Ambarwati menunduk lagi tetapi Pranata mengangkat kembali wajah itu.
"Kau belum menjawab pertanyaanku, Ambar.
Kenapa?"
"Aku... aku... ah, aku takut dan malu pada mu " suara Ambarwati tersendat.
"Malu kenapa, Ambar?"
"Kau... kau pasti malu dan mengejek ku ter-
nyata, aku hanya anak seorang perampok, yang tidak patut berteman denganmu "
"Siapa bilang?" Pranata tersenyum dan memegang dagu Ambar lalu membelai pipinya. "Aku sedih kau menuduhku demikian, Ambar. Sampai kapan pun aku akan tetap berteman denganmu. ayahmu tetap ayahmu, dan kau tetap kau. Kau bukan ayahmu dan ayahmu bukan engkau. Ambar. " Ambar menatap mata yang redup itu. Dari sana nampak pancaran sinar mesra. Benarkah, benarkah? Pancaran mesra itu ditujukan kepadanya?
"Ya. " suara Ambar pelan dan tersendat.
"Aku... aku " Pranata ragu-ragu.
"Aku rela ayah mati di tanganmu, Pranata," kata Ambar memotong. Ayah sudah sepatutnya untuk meninggalkan dunia ini, sebelum dosanya semakin menumpuk "
"Bu... bukan itu, Ambar. "
"Bukan itu?" Kening Ambarwati berkerut.
"Ya, bukan itu. Aku... ah, Ambar... aku ingin bicara sesuatu, kau tidak marah mendengarnya?"
"Aku belum mendengarnya... jadi tidak tahu apa aku harus marah atau tidak...." Suara Ambarwati sudah agak tenang.
"Aku ah, aku pembunuh ayahmu Ambar," ka-
ta Pranata setelah menghela nafas panjang. "Pa. pa-
tutkah kalau aku... aku mencintaimu... ah...." Wajah Pranata bersemu merah sendiri.
Tetapi wajah Ambar pun bersemu merah pula. Dia menunduk dan mendadak dia terisak. Pranata menjadi kebingungan sendiri, selama hidupnya, baru kali ini dia mencintai seseorang dan mengatakan cintanya.
Melihat gadis itu menangis, tentu saja dia gugup. Dia menjadi serba salah sendiri.
"Ma... maafkan aku, Ambar. Aku... memang tidak pantas untuk mencintaimu... apa... apalagi aku yang... membunuh ayahmu sendiri.... Maafkan aku, Ambar."
Gadis itu mengangkat wajahnya. Matanya me-
merah.
"Pranata " "Ya," suara Pranata lesu. "Ka... kalau kau menolak, tidak usah kau katakan Ambar. Kau diam sajalah, agar aku tahu kalau kau menolak. Aku... aku takut sakit hati kau... tolak... lebih baik, jangan kau ucapkan, Ambar... dan maafkan aku "
"Pranata " sekali lagi Ambar memanggil dan di
bibirnya yang mungil tersungging sebuah senyuman yang amat manis.
Pranata menunggu apa yang hendak diucapkan oleh gadis itu, tetapi mendadak gadis itu menunduk tersipu, wajahnya kembali semburat merah.
Pranata menghela nafas panjang. Dia yang bodoh, gadis ini mencintainya. Dia memang belum pengalaman dalam hal ini. Untuk menyakitkan itu, perlahan-lahan dia memberanikan diri untuk memegang lengan gadis itu. Gadis itu diam saja, masih menunduk dan dadanya berdetak lebih keras.
Pranata perlahan memberanikan diri untuk berbuat lebih jauh. Dengan hati-hati dia merangkul gadis itu. Betapa enaknya merangkul seorang gadis. Tubuh yang padat dan dada yang kenyal menekan di dadanya. Ambarwati merebahkan diri di dadanya.
Ternyata dia tidak bertepuk sebelah tangan. Pemuda itu pun mencintainya, tetapi dia tidak tahu bagaimana cara mengucapkannya.
Pranata merasakan sesuatu yang hangat keluar dari tubuh gadis itu dan tubuhnya, bersatu dan menimbulkan rangsangan yang mulai naik.
Perlahan dia mengangkat dagu Ambarwati. Mata Ambarwati terpejam. Oh, betapa merekahnya bibir itu. Rupanya itu yang membuat rangsangan.
Dengan hati-hati Pranata mencium bibir yang kenyal itu. Dan mengulumnya perlahan. Ambarwati mengeluh dalam kecupannya dan perlahan-lahan membalas pula. Dia merasakan suatu aliran aneh mengalir dari bibirnya ke seluruh tubuhnya.
Betapa menggetarkan. Betapa sahdunya.
Ah, sayang Pranata sudah melepaskan bibirnya. Dia masih ingin lama-lama dikecup dan dikulum begitu. Pranata tersenyum. Mengecup pucuk hidung Ambarwati.
Ambarwati membuka kelopak matanya dan tersipu. Buru-buru dia meletakkan kepalanya di dada pemuda itu.
Pranata membelai rambut hitam Ambarwati dan mencium bau yang harum sekali.
"Sekarang kau hendak tinggal di mana, Ambar?" tanya Pranata perlahan.
Ambarwati menggeleng perlahan. Seolah tidak tahu, padahal di Laut Selatan di masih mempunyai sebuah rumah peninggalan ayahnya yang lengkap dengan segala isinya.
"Kau tidak tahu, Ambar?" "Ya."
"Bagai... bagaimana kalau kau tinggal di tempatku?"
Mendadak Ambarwati melepaskan rangkulannya. Ia menatap Pranata tajam.
"Aku tidak mau. Hidup serumah tanpa nikah, aku tidak mau. Kau harus menikahi ku dulu, baru aku mau tinggal di sana."
Pranata merangkul kembali kekasihnya. Menenangkan.
"Untuk sementara kau tinggal di sana. Ada ayah dan bundaku. Sebulan kemudian, kau akan ku nikahi. Kau mau menikah denganku, Ambar?"
Kembali Ambar tersipu. Disangkanya Prananta mengajaknya untuk tinggal serumah tanpa menikah. Dinikahi oleh pemuda yang dicintainya, sudah tentu dia amat setuju. Hatinya bahagia dan berbunga.
Ternyata Yang Kuasa masih memberinya kebahagiaan setelah kecewa melihat dan mengetahui perbuatan ayahnya. Bahkan Ambarwati tidak menyesali kematian ayahnya. Ayah lebih baik mati daripada hidup hanya akan menambah dosa.
Pranata mengajak gadis itu ke perguruan Topeng Hitam. Dia memperkenalkan gadis itu kepada ayah bundanya dan menceritakan asal usulnya. Ratih Ningrum hanya mengangguk setuju dengan pilihan putranya. Dia merangkul Ambarwati yang merasa aman dan bahagia dalam rangkulannya.
***
9
Selama tiga minggu tidak ada kejadian apa-apa yang menggemparkan. Kini daerah kekuasaan Gerombolan Golok Iblis sudah tidak ada gangguan lagi. Gerombolan itu sudah tumbang ke akar-akarnya. Dan gerombolan yang berada di bawah mereka segera pergi dari daerah ini, karena tidak ingin mengalami nasib seperti Golok Iblis.
Rombongan-rombongan pengiriman barang tidak takut untuk melalui daerah itu menuju ke daerah Pacitan.
Seminggu kemudian, secara resmi Pranata menikahi Ambarwati. Seisi perguruan Topeng Hitam berbahagia, karena mereka senang Pranata mendapat istri seorang gadis yang cantik dan lembut.
Mereka lalu minta izin berbulan madu. Tempat yang dipilih oleh Ambarwati adalah rumah nya yang hampir sebulan dia tinggali.
Rumah itu tak banyak berubah. Seperti dulu. Hanya sekarang agak kotor dan sepi sekali. Dengan semangat dan gembira Ambarwati membersihkan rumah itu dibantu dengan suaminya yang selalu setia, walau sekali-sekali teringat akan ayahnya.
Mereka menghabiskan waktu bulan madu itu selama seminggu di sana. Saat-saat yang paling berbahagia buat mereka. Seakan tak habis-habisnya mereka bergelut dan tak bosan-bosannya mereka tertawa dan bercanda.
Tetapi suatu hari, mereka dikejutkan oleh sebuah tongkat yang dilempar dari luar dan menabrak kaca hingga kaca itu berantakan.
"Praang...!"
Pranata dan Ambarwati yang sedang bercanda menjadi terkejut. Mereka segera bersiaga. Keduanya cepat mengambil senjata mereka masing-masing.
Pranata menyelinap ke depan. Mengintai apa yang sebenarnya terjadi.
Di sana, dia melihat puluhan orang pengemis telah mengepung rumah itu. Dan di tengah mereka berdiri pengemis yang bermata sipit, Sengkawung, pengemis yang dikalahkannya beberapa bulan yang lalu.
Dan mau apa sekarang mereka kemari?
"Hei, kalian berdua! Cepat keluar, kalau tidak ku bakar rumah ini!" terdengar bentakan keras Sengkawung.
Pranata kembali ke tempat istrinya yang juga mendengar seruan itu.
"Siapa mereka, Kakang?"
"Para pengemis yang akan balas dendam kepada kita, Rayi "
"Para pengemis?" Kening Ambarwati berkerut, tetapi kemudian ingat, pasti teman-temannya Ayasumo yang berhasil dibunuh oleh si Kedok Putih.
"Iya, Rayi. Orang yang berseru tadi, pernah bentrok denganku beberapa bulan yang lalu. Agaknya mereka ingin balas dendam kepadaku. Kita bersiap, Rayi."
"Iya, Kakang."
Terdengar bentakan lagi, "Cepat kalian keluar! Aku sudah tahu siapa kalian adanya! Kalian adalah orang-orang yang harus kami bunuh!"
"Kita keluar, Rayi?" tanya Pranata.
"Baik, Kakang," sahut Ambarwati mantap. Dengan sikap gagah keduanya keluar dan ber-
hadapan dengan puluhan pengemis itu. Sengkawung terbahak melihat keduanya.
"Ha... ha... kalian rupanya sudah menjadi suami istri sekarang.... Bagus, bagus, karena hari ini aku akan mencabut nyawa kalian!"
Pranata mendengus mengejek.
"Kau? Hhh, kau tidak sadar rupanya, berapa banyak anggotamu yang kau bawa! Jangan mimpi hanya kau yang bermaksud menaklukkan kami!"
Wajah Sengkawung memerah. Tetapi kemudian dia tertawa.
"Baik, baik, bukan aku, tapi kami yang akan membunuhmu! Bersiaplah kalian berdua, kami sudah muak dengan orang-orang macam kau!"
"Sengkawung... kau tidak sadar rupanya, beberapa bulan yang lalu pernah kubuat tunggang langgang. Dan sekarang kau ingin merasakan kembali rupanya. Baik, kami pun sudah siap menyambut kalian!" Wajah Sengkawung kembali memerah. Dia menggeram marah dan berseru memberi aba-aba, "Seraaang mereka! Bunuh!"
Dan serentak puluhan orang pengemis maju dengan tongkat mereka. Pranata dan Ambarwati pun bersiap. Pranata mengkhawatirkan keselamatan istrinya. Kepandaian pedang istrinya masih rendah sekali, menghadapi satu lawan satu dia juga belum tentu menang, apalagi dikeroyok demikian.
Pranata bergerak mendekati istrinya, sekaligus melindunginya. Punggung keduanya saling menempel dan menghalau setiap serangan.
Tetapi serangan-serangan itu betapa ganas dan banyaknya. Membuat keduanya agak kewalahan juga. Apalagi keadaan Ambarwati sudah agar terdesak. Tubuhnya sudah banyak luka.
Pranata pun demikian. Jalan satu-satunya dia harus menggunakan kembali seruling naga. Tetapi bagaimana dengan istrinya, istrinya bisa mati juga jika mendengar suara seruling itu.
Sambil melepaskan pukulan sinar merahnya secara beruntun, Pranata menyambar tubuh istrinya dan membawanya lari. Orang-orang itu mengejar, namun terhalang oleh pukulan sinar merah Pranata.
Ini kesempatan yang bagus, dia menurunkan istrinya dan dengan sekuat tenaga dia melancarkan pukulan sinar merahnya kepada orang-orang yang mengejar itu.
Tetapi Sengkawung tidak kehilangan akal, tidak bisa mendekati Pranata Kumala, dia memerintahkan anak buahnya untuk melempar tongkat-tongkat itu. Dan secara beruntun tongkat itu melesat menuju mereka.
Dengan susah payah mereka menghindari serangan tongkat itu dan kesempatan yang baik digunakan oleh para penyerangnya untuk maju bergerak.
Kembali keduanya sudah dikurung rapat. Kali ini para pengemis itu tidak memegang senjata, agak menguntungkan bagi Pranata dan Ambarwati.
Keduanya sudah menggerakkan senjata mereka dengan hebat. Pedang Ambarwati berkelebat ke sanakemari dan telah merobohkan lima orang pengeroyoknya. Begitu pula dengan Pranata Kumala. Dengan serulingnya dia pun telah menotok empat orang pengeroyoknya.
Tetapi orang-orang itu demikian banyaknya, akhirnya keduanya kewalahan dan secara terpaksa mereka memisahkan diri, tidak saling merapatkan punggung.
Pranata mengamuk hebat dengan serulingnya, tetapi keadaan istrinya terdesak hebat. Dengan tibatiba saja, Sengkawung bergerak dan menendang pergelangan tangan Ambarwati hingga terlepas pedangnya dan menotoknya hingga kaku.
Ambarwati tidak bisa bergerak. Dia memakimaki marah. Tetapi Sengkawung hanya terbahak saja. Dia memerintahkan anak buahnya untuk mengeroyok Pranata Kumala. Sedangkan dia sendiri membopong tubuh Ambarwati yang kaku sambil terbahak-bahak.
Pranata hendak membebaskan istrinya, tetapi pengeroyok itu telah mengepungnya dengan rapat. Tidak memberinya kelonggaran sedikit pun.
Terdengar suara Ambarwati menjerit-jerit diiringi tawa Sengkawung. Dia membawa tubuh Ambarwati ke balik semak dan merebahkannya hendak memperkosa. Pranata Kumala marah mendengar jeritan istrinya. Dia menerobos kepungan itu, tetapi kepungan itu sangat rapat sekali..
Dia ingin menggunakan seruling Naga, tetapi kuatir istrinya akan terkena pula serangan seruling itu.
Tubuhnya sudah menjadi bulan-bulanan para pengeroyoknya. Dia sudah mengerahkan seluruh kepandaiannya. Walaupun tangannya sudah dialiri pukulan sinar merah, tetap dia tidak bisa menghindar dan menangkis serangan dari belakang atau samping.
Jeritan istrinya terdengar panjang. Dan terdengar baju sobek. Sengkawung tertawa terbahak-bahak.
Tetapi tiba-tiba dia terguling, karena sebuah pukulan menerjang wajahnya.
"Des...." Sengkawung buru-buru bangkit dan melihat siapa yang telah memukulnya. Si Kedok Putih, orang yang selama ini dia cari. Tengah berdiri dengan gagah.
Sungguh kebetulan sekali. Dia tidak perlu lama-lama mencari si Kedok Putih. Si Kedok Putih membebaskan totokan di tubuh Ambarwati dan menghadapi Sengkawung.
"Rupanya kau pemimpin Partai Pengemis Sakti itu." Suara si Kedok Putih angker.
Sengkawung tidak takut dengan suara itu. Dia membentak, "Kau rupanya si Kedok Putih! Bagus, kau datang sendiri kepadaku! Hari ini. aku menagih nyawamu sebagai pembayaran atas nyawa anak buahmu yang kaubunuh!"
"Sengkawung, kau adalah orang Tiongkok yang datang ke tanah persada ini dan kau berani-beraninya membuat kekacauan di negeri kami!"
"Persetan dengan semua itu, sekarang kau bersiaplah hutang nyawa dibayar nyawa!"
"Sejak tadi aku sudah bersiap, Sengkawung!"
Setelah mendengar ucapan itu, Sengkawung segera bergerak. Sungguh cepat dan bertenaga penuh. Namun si Kedok Putih sudah sejak tadi siap, maka dengan ringannya dia menghindar ke samping. Serangan itu luput. Dan kaki si Kedok Putih sudah menyambar kaki Sengkawung hingga tubuh itu jatuh.
Sengkawung bangkit dengan mata berbinar merah. Tetapi belum dia menyerang, sudah terdengar alunan seruling yang amat merdu. Tetapi dirasakan oleh Sengkawung dan Si Kedok Putih amat menyakitkan telinga.
Rupanya Pranata sudah kewalahan sekali. Dia akhirnya meniup juga seruling naga itu. Pikirannya hanya satu, biarlah istrinya mati terkena seruling itu daripada ternoda oleh Sengkawung, nanti setelah itu dia sendiri akan membunuh diri.
Suara seruling itu membuyarkan para pengepungnya hingga jatuh berantakan.
Tubuh Sengkawung pun bergetar dan dia duduk bersila menghimpun tenaga dalam untuk menahan serangan seruling itu.
Si Kedok Putih pun berbuat yang sama, tetapi sedetik kemudian dia teringat akan gadis manis itu. Ambarwati. Dengan gerakan yang sangat cepat, Si Kedok Putih memukul leher Ambarwati hingga pingsan.
Dan dia sendiri ambruk ke tanah karena suara seruling itu. Buru-buru dia mengerahkan hawa murninya untuk menahan. Betapa hebat alunan suara seruling itu. Suara yang begitu kuat dan dahsyat.
Para pengeroyok Pranata Kumala sudah mampus kelojotan, begitu pula dengan Sengkawung yang akhirnya ambruk dengan tubuh kejang-kejang.
Hanya si Kedok Putih agaknya yang masih mampu bertahan. Sekuat tenaga dia kerahkan untuk menahan serangan suara seruling.
Tiba-tiba seruling itu berhenti. Si Kedok Putih menahan nafas lega dan menghembuskannya perlahan. Sesosok tubuh berkelebat.
Pranata Kumala yang memanggil-manggil istrinya, "Ambar, Ambar!"
Dia menemukan tubuh Sengkawung yang telah menjadi mayat dan tubuh istrinya yang pingsan. Ia merangkul dan menangisi istrinya. Disangkanya istrinya mati akibat suara seruling itu.
"Ambar... maafkan aku, maafkan aku. Aku terpaksa melakukan semua ini, Sayang.... Oh, Tuhan... betapa besar dosaku karena membunuh istriku sendiri " Pranata menangis tersedu-sedu.
Tiba-tiba dia merasakan bahunya dipegang seseorang. Dia menoleh, orang itu si Kedok Putih.
"Dia hanya pingsan, Nak. Sebentar lagi juga si-
uman."
"Kau... kau yang telah membuatnya pingsan?"
tanya Pranata terbata.
"Ya... suara seruling mu begitu keras sekali." "Te... terima kasih, Kakang. Kau telah menye-
lamatkan istriku "
Si Kedok Putih hanya mengangguk. Lima menit kemudian, Ambarwati siuman. Dia mula-mula bingung berada di mana, tetapi begitu melihat suaminya, dia langsung merangkulnya. Pranata membalas rangkulan itu dengan terharu. Istrinya masih hidup. Istrinya masih hidup.
Ambarwati menoleh kepada laki-laki yang berdiri di samping mereka. Si Kedok Putih, lagi-lagi orang itu yang telah menolongnya. Ah, pasti si Kedok Putih kecewa karena dia telah bersuami. Sudah seharusnya dia mengucapkan terima kasih sekarang.
"Kedok Putih....lagi-lagi kau yang telah menolongku.... Kuucapkan terima kasih kepada mu " "Tak perlu mengucapkan terima kasih, Nimas.
Sudah kewajiban kita untuk tolong menolong "
Pranata membimbing istrinya bangkit dan merangkulnya dengan mesra.
"Kedok Putih... kalau boleh, kami ingin sekali melihat wajahmu... biar kami tidak melewatkan kesempatan jika bertemu denganmu "
"Wajahku sangat buruk sekali, aku takut, kalian tidak mengenalku lagi," kata si Kedok Putih sedih sambil berbalik membelakangi mereka.
"Oh, maafkan kami, Kedok Putih," kata Pranata. "Seburuk-buruknya rupa mu, tapi hatimu baik. Biarpun bagaimana buruknya rupa mu, kami akan tetap menjadi sahabatmu. Kami tak akan pernah melupakan pertolonganmu "
"Kalian akan menyesal."
"Tidak," kali ini Ambarwati yang bicara. "Kami tak akan pernah menyesal bersahabat denganmu."
"Kalau kalian ingin melihat wajahku, baiklah. Tetapi jangan terkejut jika mengetahui siapa aku sebenarnya."
"Kami tak akan pernah menyesal," sahut keduanya berbarengan.
Si Kedok Putih perlahan mengangkat tangannya, siap membuka kedoknya. Ambarwati memegang kuat-kuat tangan suaminya. Sedikitnya dia ngeri jika melihat wajah buruk si Kedok Putih.
Dan kedok putih telah membuka wajahnya. Berbalik menghadap mereka. Keduanya terkejut dengan mata terbelalak.
"Ayah!" seru Pranata Kumala. "Ayah!" seru Ambarwati.
Si Kedok Putih tertawa, suaranya tidak lagi angker. Kini biasa suara yang sering didengar mereka. Suara Madewa Gumilang. Rupanya si Kedok Putih itu adalah Madewa Gumilang yang menyamar.
Dia tertawa.
"Kalian telah berjanji, tak akan terkejut melihat wajahku!" katanya masih tertawa.
"Bagaimana kami tidak terkejut, kalau ternyata wajahmu, Ayah. Oh, terima kasih Ayah... kau selalu membantu kami!" kata Pranata sambil menjura yang diikuti istrinya.
Madewa merangkul keduanya dan mengajak mereka kembali ke perguruan Topeng Hitam.
Perguruan yang berdiri dengan tegar sampai menembus ke langit ketenarannya.
Di bawah pimpinan Madewa Gumilang dan istrinya, perguruan itu semakin memuncak.
***
SELESAI
No comments for "Serial Pendekar Bayangan Sukma: 07 Pendekar Kedok Putih"
Post a Comment